logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

CHAPTER 7 : BUKTI

Badan Aluna masih gemetaran. Mobil yang dikemudikannya meluncur perlahan meninggalkan halaman parkir di seberang kantor Bayu. Dia terus melajukan mobilnya tak tentu arah. Berkeliling tanpa tujuan. Hatinya saat ini dalam kondisi hancur berantakan.
‘Tenang Aluna, coba untuk tenang! Siapa tahu, mereka bertemu untuk suatu kepentingan.’
Otaknya mencoba berpikir positif, mencoba bernegosiasi dengan hatinya yang sedang kacau.
Aluna menepikan mobilnya. Mengatur nafas yang terasa sesak dan berat. Perlahan, dia memukuli dadanya sendiri. Lebih baik dia merasakan nyeri secara nyata daripada sakit yang tak kasat mata.
Setelah beberapa saat. Kesadaran Aluna mulai kembali, tapi dalam hatinya tetap tidak tenang. Padahal Aluna sudah berlatih untuk tetap tenang jika skenario terburuk terjadi, tapi nampaknya latihan itu tidak berhasil. Aluna terbukti gagal mengatur emosinya.
~~
Hari kedua pengintaian.
[Na, kamu ambil cuti tiga hari, kan? Usahakan hari ini kamu dapat bukti lebih dari sekadar bertemu di pinggir jalan. Kamu jangan maen kabur dari TKP, tunggu sampai ada adegan yang memastikan bahwa mereka benar-benar ada sesuatu.]
Usai membaca pesan dari Marisa, Aluna melempar ponselnya ke ujung kasur.
Rasanya begitu malas untuk memulai hari.
Dia memilih kembali bergelung dalam selimut, merasa tak bersemangat melakukan apa pun.
"Lunaaaa, bangun! Kamu nggak kerja? Luna!" suara mamanya membuat Aluna terkesiap.
‘Aah! Jangan sampai Mama tahu kalau dia mengambil cuti.’
Secepat kilat Aluna bangkit dari atas ranjangnya. Menyambar handuk bersih di dalam keranjang baju lalu bergegas ke kamar mandi.
"Idih, dalam rangka apa kamu pake rambut palsu kayak begitu?" Surya mencebik.
Aluna melengos, "suka-suka. Iri? Bilang boss!"
"Yee, sapa yang iri! Abang heran aja kenapa mendadak kamu pake rambut palsu Jangan-jangan ... kamu botak gara-gara stress, ya?" tanya Surya polos.
Aluna hampir saja melempar sendok yang sedang dipeganya, "ngaco! Apaan sih, Bang!"
"Yaa, kirain, biasanya kan suka gitu. Orang yang lagi stress, mendadak berubah nggak jelas, suka marah-marah, Ya, kayak kamu gitu...."
"Apaan, sih. Teori ngawur!" mata Aluna membulat.
"Loh, bener kata Abangmu, Na. Stress bikin orang berubah. Buktinya dia mendadak berubah jadi jorok dan males sejak ditinggal Sarah nikah." Mama yang baru saja dari dapur, meletakkan sepiring besar nasi goreng di atas meja.
"Yah, Mama curang! Ngebela Luna terus! Nggak adil." Surya menyendok nasi goreng, hampir separuh isi di dalam piring saji berpindah ke piringnya.
"Maaah ... lihat nih, Abang, nggak aturan banget ngambil nasi gorengnya!"
Aluna merebut paksa sendok nasi dari tangan abangnya.
"Kasih kelek, nih!" Surya sudah bersiap mengeluarkan jurus sakti miliknya.
"Huweek, Abaaaang! Jorok tahu, nggak sih!" Aluna melepas sendok nasi yang berhasil direbutnya. Sementara Surya terbahak-bahak melihat adiknya yang mengomel.
Untuk sejenak, Aluna bisa melupakan rasa sakit yang membuatnya hampir terjaga semalaman.
~~
Pengintaian kali ini tidak boleh gagal!
Aluna duduk sendirian di kafe kopi di seberang kantor Bayu. Sengaja dia memilih duduk di bagian luar ruangan. Supaya lebih mudah untuk melakukan pengintaian.
Drrrt ... drrrt
Sebuah pesan masuk, jarinya cekatan membuka kunci layar ponsel.
[Lagi apa, Beb?]
Ah,ternyata dari Bayu. Padahal Aluna sedang tak ingin menerima pesan darinya.
[Biasa, ngerjain laporan. Kamu sendiri?]
Luna mengirim pesan balasan.
[Lagi mikirin kamu. Kangen udah seminggu nggak ketemu.]
Halah! Prett!
Aluna memutar bola matanya. Awas saja kalau sampai aku menemukan bukti lebih valid!
[So swit. Kalo gitu, gimana kalo abis ini kita ketemu.Kamu mau makan siang bareng, Bay?] Aluna sengaja mengajak Bayu bertemu.
Senyum tipis menghias bibir Aluna. Teringat strategi yang Marisa ajarkan padanya, "pancing dia untuk bertemu, kalau dia menolak dengan alasan sibuk, itu kesempatan untuk membuktikan perkataannya. Jika benar sibuk, dia akan tetap bekerja seperti biasa, tapi jika sebaliknya, dia berkata sibuk tapi meninggalkan pekerjaannya di kantor. Siapkan mentalmu untuk bukti yang mungkin lebih menyakitkan!"
[Aku nggak bisa, Beb. Abis ini ada meeting sama klien.]
Gotcha!
Aluna hampir bersorak.
Berhasil!
Bayu menangkap umpannya.
[Yaaah ... padahal aku juga kangen. Kalo gitu besok ya kita makan siang barengnya.]
[Siap. Besok kamu yang milih tempatnya, ya.]
Setelah selesai membaca pesan dari Bayu.
Aluna meletakkan ponselnya.
Aluna mendadak termenung. Memikirkan,
bagaimana jika setelah ini dia benar-benar menemukan bukti yang jauh lebih menyakitkan?
Jemarinya meremas-remas ujung kemeja yang dikenakannya. Kebiasaannya semakin memburuk, setiap kali rasa cemas berlebih menghampirinya.
Aluna memejamkan mata, lalu mulai menghitung satu sampai seratus. Berharap bisa membantunya untuk lebih tenang.
~~
Dua jam berlalu. Jantung Aluna berdebar-debar, tak sabar. Buru-buru diteguknya latte yang tersisa di dalam cangkirnya, latte itu sudah dingin sejak beberapa saat lalu.
Sebentar lagi waktunya istirahat makan siang. Waktunya pembuktian, apakah Bayu benar-benar sibuk meeting dengan klien.
Sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan gedung kantor milik Bayu.
Aluna mendadak tegang, meraih kamera miliknya yang sedari tadi diletakkan di atas pangkuan, segera mengatur posisi fokus kameranya. Tak ada salahnya bersiap siaga, agar bisa maksimal mengabadikan moment yang tak terduga.
Tak lama setelah mobil merah berhenti. Bayu terlihat keluar dari dalam gedung. Bayu berjalan menghampiri mobil merah yang terparkir di sisi jalan.
Seorang wanita keluar dalam mobil itu, kemudian memeluk Bayu dengan manja.
Aluna, kamu pasti kuat dear! Semangat Aluna! Suara dalam kepalanya memberinya dukungan.
Aluna mengambil nafas panjang.
Kamera dalam genggamannya sudah mengambil beberapa gambar.
Bukti-bukti itu sudah dia dapat.
***
Esok harinya. Sesuai janji, Aluna bertemu dengan Bayu. Dia memilih sebuah restoran yang tidak terlalu ramai. Sengaja. Supaya dia bisa leluasa bicara dengan Bayu.
Bayu menengadah. Ia melihat telaga mata Aluna mulai berkaca-kaca. Sungguh, Bayu sama sekali tak paham apa yang sedang terjadi. Bayu menatap telaga bening itu kini mulai bersimbah air mata. Kontan ia menunduk sambil mengetuk-ngetuk meja, kebingungan? Atau ketakutan?
"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?"
Aluna membiarkan air matanya luruh lebih dulu. Dia tak mau jika harus bicara sambil menangis. Setelah beberapa saat, Aluna mengambil tisu dan menghapus air matanya.
"Bay, ada yang ingin kutanyakan. Ku mohon jawab dengan jujur." Aluna akhirnya bicara. Waktu untuk menangis sudah cukup. Masalahnya dengan Bayu harus selesai secepatnya.
"Ya? J-jujur? Soal apa?" Bayu tergagap. Seolah tahu arah pembicaraan yang dimaksud Aluna.
"A-Aluna?" seseorang memanggil, suara yang mendadak membuat Bayu berubah pias.
"Duduklah, Rin." Aluna tersenyum. Arindi nampak kikuk.
"Jawab jujur. Ada apa hubungan apa kalian berdua?" suara Aluna terdengar datar, tanpa emosi.
Bayu menghela nafas, mengacak kasar rambutnya, melepas kacamatanya lalu menatap Aluna, "a-aku bisa jelasin--" Bayu menjeda kalimatnya.
"Lalu, tunggu apalagi? Jelaskan ..."
"Luna,ehm, ituu ... maafin aku, aku nggak bermaksud--" Arindi yang masih berdiri tak kalah pucat dari Bayu.
"Aku belum memberimu izin bicara. Diamlah! Aku ingin Bayu bicara lebih dulu."
"Lunaa..., aku khilaf. Maaf. Maafin aku...."
"Aah, khilaf." Aluna menyeringai, "cukup. Aku tak perlu penjelasan jika alasanmu khilaf. Giliranmu, Rin. Bicaralah."
"Sebenarnya, aku jatuh cinta pada Bayu sejak kamu mengenalkannya padaku. Aku sudah menyukainya sejak saat itu. Aku tahu aku salah, Rin. Aku tahu...."
"Kamu tahu itu salah, tapi tetap melakukannya? What a shame, dear! Aku kira kamu sudah berubah, ternyata masih doyan mengambil milik orang lain!" Aluna tertawa.
Aluna mengeluarkan amplop dari balik meja, lalu mengeluarkan seluruh isinya ke atas meja. Berlembar-lembar foto berserak di atas meja.
"Syukurlah, aku tidak perlu barang bukti foto-foto ini lagi. Aku takut kalian menyangkal, makanya sengaja aku mencari bukti, tapi ternyata kalian berdua berkata apa adanya, mau gimana lagi, semua sudah terjadi," Aluna berdiri, "ambillah! Anggap foto-foto ini hadiah dariku untuk kalian berdua. Pose kalian nampak romantis. Silahkan kalian lanjut makan siang. Aku pamit duluan."
Aluna tersenyum lalu berjalan meninggalkan kursi tempatnya duduk. Bayu tergesa, segera berdiri berusaha menahan langkah Aluna.
"Luna, Beb, dengerin aku dulu, please!"
"Aku tidak mau," jawab Aluna. "Aku bisa memaafkanmu, tetapi tidak untuk melupakan kesalahanmu," katanya lagi. Aluna berkata dengan mata berkaca-kaca. Ketika kata-kata mengalir dari bibirnya, ia merasa ada yang berderak di dalam dadanya. Rasa sakit menjalar ke seluruh rongga dadanya.
"Jadi kamu mau aku gimana?"
Bayu menatap Aluna.
"Kita putus. Aku nggak butuh laki-laki pengkhianat." Aluna melepaskan pegangan tangan Bayu dari lengannya.
"Maafkan aku ... aku nggak berniat menyakiti hatimu, Luna." Bayu berkata lirih dengan suara yang patah-patah.
Percuma, Aluna sudah terburu-buru keluar dari dalam kafe.
***

Book Comment (57)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus 💖🥰

    18d

      0
  • avatar
    Haqim Azmi

    best untuk di baca

    07/07

      0
  • avatar
    LizaArna

    ini sangat bagus

    03/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters