logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bakso Ular

Bakso Ular

Umi Ghani


Chapter 1 Kejahatan Bang Kumis

POV Gita
Siang ini terik matahari terasa membakar kulitku. Keringat pun tanpa permisi keluar dari pori-pori, begitu derasnya membanjiri sekujur tubuh. Rasa lapar menambah derita di siang hari ini, sepertinya makan yang pedas-pedas terasa segar. Ditambah dengan minum yang dingin, akan semakin lengkap memanjakan lidah dan cacing-cacing dalam perutku.
“Hei, Git!” Seseorang dari arah belakang memanggil seraya menepuk pundakku. Seketika aku menoleh, ternyata Peni—rekan kerjaku.
“Apaan?” jawabku malas sembari mengelap keringat.
“Makan, yuk? Laper, nih, di ujung jalan ada pondok bakso. loh. Baru buka, katanya enak,” ajaknya.
Seketika aku setuju, kebetulan sekali lagi ingin makan yang segar-segar.
Tiba di pondok bakso yang dimaksud Peni. Tempatnya bersih, tidak terlalu besar. Namun, tidak juga terlihat kecil. Cukup ramai, padahal baru beberapa hari buka. Mungkin rasanya memang enak, harganya yang relatif murah, tentu bagi para pekerja kuli seperti kami pas di kantong.
Setelah kami memesan dua bakso dan dua es teh manis, kami duduk menunggu sembari ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas.
“Git, kamu tahu gak berita yang lagi hits sekarang?” ungkapnya seraya mencondongkan tubuhnya di atas meja, kami saling berhadapan.
“Gak tahu, apa emang?” jawabku tanya balik.
“Lagi banyak ular di mana-mana. Hiiy ... serem!” ujarnya bergidik. Entah dia takut atau jijik.
“Biarinlah, mungkin tu ular lagi pen piknik.” Aku terkekeh. Tak terlalu menanggapi obrolannya.
Tak lama pesanan kami datang. Buru-buru kami menyantap hidangan yang sudah di depan mata. Terlihat menggoda, aromanya menusuk rongga hidung. Membuat air liur ini terasa banjir di dalam mulutku.
“Enak, ya? Pantes rame,” ucap gadis berambut lurus itu. Sembari menyesap kuah bakso yang terlihat masih berasap.
“He’em,” jawabku singkat. Aku pun begitu menikmati, tak perduli keadaan sekitar. Sekalipun mungkin ada ular lewat, saking khusyuknya makan bakso. Ini bener-bener enak!
Setelah kami kenyang menghabiskan semangkuk bakso tanpa sisa, aku dan Peni segera undur diri. Tak lupa membayar, lalu kembali ke pabrik, bersiap untuk mulai lagi bekerja. Kami bekerja di salah satu pabrik sepatu terbesar di Ibu Kota. Jam istirahat tinggal sebentar lagi, kusempatkan sholat zuhur terlebih dahulu.
Pukul 17:15 sore—seperti biasa, aku sudah standby di depan TV. Waktunya leyah-leyeh setelah seharian bekerja.
Beberapa kali mengganti chanel, semua acara begitu membosankan. Hingga kutemukan salah satu chanel yang menayangkan sebuah berita, di situ terlihat jelas sedang menayangkan kabar yang sedang viral, apa lagi kalau bukan tentang ular. Beberapa daerah merasa resah dengan kemunculan banyak ular secara tiba-tiba. Tak sedikit warga menjadi korban karena dipatuk ular, bahkan ada juga yang kehilangan beberapa hewan peliharaannya. Seperti; ayam dan juga kelinci. Serem!
Lama aku menatap layar LED berukuran 21 inchi itu, masih tentang ular. Kengerianku bertambah saat justru banyak orang yang malah memanfaatkan ular tersebut.
Indentiknya ular mempunyai kesan menakutkan dan berbahaya karena memiliki bisa yang mematikan. Tidak sedikit pula yang merasa geli melihat ular. Apalagi bila harus memakan daging dan meminum darahnya. Namun, menurut berita. Ternyata hampir semua bagian tubuh ular seperti daging, darah, dan empedu sangat bermanfaat.
Karena mengetahui manfaat ini, salah seorang warga membuka lapak yang khusus menjual ular. Bahkan menyediakan daging ular yang diolah menjadi abon, kapsul, empedu, bahkan minyak dari lemak ular. Ia juga memperdagangkan ular segar siap saji dengan harga Rp.50.000; per ekor. Meski terbilang mahal, penikmat ular di warungnya cukup banyak.
Seketika perutku mual, terasa diubek-ubek, rasa jijik menjalar ke seluruh tubuh kala melihat ular-ular itu sedang diolahnya dan beberapa orang menyantap hidangan itu. “Hueeeekk!”
Buru-buru kuganti tayangan itu.
“Kenapa, sih, lu? Ngidam, ya?” tanya Peni, yang tiba-tiba nyelonong masuk. Jangan ditanya kenapa Peni ada di kamarku, kami ngekost berdua. Di samping lebih ringan membayarnya, juga buat temen curhat.
“Jijik aku liat orang makan ular,” jawabku sembari mengoleskan minyak angin pada hidungku. Seketika gadis itu tertawa puas.
“Nah, loh, baru liat, kan, beritanya? Makanye, Non, jangan nonton sinetron mulu,” ledeknya. Masih terkekeh, aku memutar bola mata malas. Lalu melirik kresek yang dibawa Peni.
“Apaan, tuh?” tanyaku penasaran, masih mengoles minyak pada hidungku yang mancung ini.
“Aku beli nasi bungkus, sama abon di warung tadi. Lauk alternatif kalau lagi boke. Hehehe ....” Gadis itu memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.
“Ih, mending jangan makan abon-abon gitu, deh, Pen,” pintaku.
“Memang kenapa?” tanyanya begitu penasaran. Alisnya terlihat berkerut.
“Takut pake daging ular.”
“Hahaha ... apaan, sih, lu? lebay amir. Ini abon sapi, Neng!” Ia melenggang pergi, meletakan kresek yang ia bawa di sampingku.
“Ya mana tahu kita, tulisannya doang sapi. Ternyata daging ular. Hiiiy ....” Terdengar suara tawanya dari arah belakang. Dasar keras kepala! rutukku dalam hati.
Gara-gara ular nafsu makanku jadi berkurang, jadi milih-milih kalau mau makan. Entah kenapa melihat berita itu aku jadi parno begini, setiap kali mau makan yang komposisinya diolah dengan daging jadi mikir-mikir. Takut dicampuri dengan daging yang tidak layak atau tidak lazim untuk dimakan.
***
Sudah hampir sebulan aku tak makan bakso di ujung jalan, beberapa kali Peni mengajakku makan di sana. Langsung kutolak mentah-mentah. Walaupun sesekali tergiur, karena bakso adalah makanan favoritku. Tapi, lagi-lagi jika membayangkan ular-ular itu jadi tak berselera. Mending makan di warteg, sayur asem sama tempe dan sambel. Lebih aman.
Suatu hari, warteg dan beberapa warung nasi tidak buka. Hanya pondok bakso di ujung sanalah yang tetap buka, entah kenapa bisa serempak itu. Mogok jualan mungkin, harga sembako tambah naik.
Namun, anehnya pondok bakso itu semakin hari semakin ramai. Apalagi semua warung tutup, bukannya ikut mogok malah terlihat santai, bahkan harga baksonya masih murah. Padahal harga daging sapi juga cukup mebludak.
Peni mengajakku makan bakso, awalnya kutolak. Namun, berbagai rayuannya mampu membuatku luluh. Akhirnya kami pergi makan bakso Bang Kumis.
Saat pesanan sudah di depan mata, aku menelan saliva berat. Bayangan tentang ular menari-nari di atas mangkuk bersama bakso itu.
“Woy! Dimakan, bukan diliatin doang! Keburu dingin,” ucap Peni. Ia terlihat begitu bersemangat untuk melahap makanan di hadapannya itu.
“I-iya,” jawabku ragu-ragu. Pelan kugeser mangkuk lebih dekat. Baru saja akan menyendok, kulihat sesuatu yang aneh pada kuah bakso. Dengan ragu kusendok sesuatu yang aneh itu, seperti ... sisik ular. Degh!
Bukannya aku jijik dan takut, justru rasa penasaran menghampiri. Kenapa bisa ada sisik ular di baksonya? Mungkinkah ini bakso pakai daging ular? Astaghfirllah! batinku.
“Pen, kebelet nih,” ucapku pura-pura. Ingin sekali aku mengecek sendiri ke belakang, siapa tahu Bang Kumis memang meracik pengolahan bakso di sini juga.
“Yaudin sono ke belakang, masa mau pipis di sini!” ujarnya tanpa menoleh ke arahku. Seketika aku mengangguk, lalu beranjak dari tempat dudukku.
Perlahan aku masuk. Kemudian meminta izin pada salah satu karyawan untuk numpang ke toilet. Ia menunjukkan letak toilet tersebut. Saat aku masuk, tempatnya sangat bersih, tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Mungkin ini perasaanku saja, mengira kalau Bang Kumis memakai daging ular untuk diolah menjadi bakso.
Baru saja akan masuk ke kamar mandi, kudengar suara desisan. Suara apa itu?
Tiba-tiba keringat dingin mengucur. Aku celingukan, mencari sesuatu. Semoga itu bukan suara desisan ular. Kuperhatikan keadaan sekitar, nihil. Tidak ada apa pun. Hanya satu yang kini membuatku penasaran, tak jauh dari kamar mandi, ada pintu yang tertutup. Aku berpikir kalau di sana ada ruangan lagi.
Setelah mengecek situasi, beberapa karyawan tengah sibuk melayani pembeli. Rasa penasaran kian membuncah, lalu melangkah ke arah pintu itu. Mendekatkan kuping kanan pada daun pintu, berharap aku bisa mendengar suara aneh tadi.
Suaranya semakin jelas, dan hanya itu yang aku dengar. Perlahan aku membuka pintu. Yes! Tidak dikunci. Aku mulai melangkahkan, aroma tak sedap mengganggu rongga hidung. Bau anyir dan bangkai begitu menyeruak. Dengan menutup hidung, aku masih bertahan di sini. Demi menuntaskan rasa penasaran, ruangan ini agak gelap jadi penglihatanku masih belum jelas menyisir seisi ruangan.
Lalu mengeluarkan ponsel dan menyalakan center, betapa terkejutnya diriku, saat cahaya yang keluar dari ponselku langsung memperjelas keadaan yang ada di dalam ruangan pengap ini.
“Astaghfirllahaladzim, ya Allah ... apa ini?” Aku mematung, menelan saliva berat, napasku memburu dan keringat dingin semakin deras membanjiri tubuh. Jantungku berdegup lebih cepat, mataku tak berhenti melotot demi menatap sesuatu yang mengerikan di hadapanku.
Begitu banyak jenis ular melikar di dalam sebuah kandang, suara desisannya saling bersahutan. Beberapa ular yang sudah dipotong-potong dan dicincang pun terlihat di dalam sebuah baskom besar. Demi Tuhan tubuhku seketika kaku, bahkan aku tak bisa berteriak.
Allah ... Allah ....
Dalam hati aku hanya bisa menyebut-Nya. Cukup lama mematung, perlahan tubuh ini sedikit bisa digerakkan. Seketika aku membalikkan badan hendak berlari meninggalkan tempat mengerikan ini. Namun, saat aku membalikkan badan seseorang tangah menatapku. Bang Kumis! Dia terlihat menyeringai.
“Sedang apa kau di sini anak manis? Hehehe ....” Laki-laki berKumis itu terlihat menyeringai.
Aku gemetar hebat, tak mampu menjawab pertanyaannya.
“Apa kau sudah tahu, kalau bakso yang kujual adalah bakso ular?” Ucapannya seperti orang yang tidak sedikitpun merasa bersalah, atau merasa khawatir jika rahasianya kini diketahui orang lain.
“Me-mengapa Bang Kumis melakukan ini!? A-a-apa Bang Kumis tidak takut jika aku melaporkannya pada polisi!?” ucapku sedikit berani. Namun, tak mengurangi rasa takutku.
“Hahaha ... sebelum kau melaporkannya pada polisi, aku sudah terlebih dulu mencincang tubuhmu menjadi olahan bakso anak manis. Hehehe ...,” terangnya lagi.
“A-apa maksudmu?”
“Sebelum kau beberapa orang juga sudah mengetahui rahasiaku. Tapi, sayang, Mereka berakhir mengenaskan, sama seperti ular-ular itu.” Gelak tawanya membuatku semakin takut.
Degh! Jantungku seperti berhenti berdetak. Ternyata aku juga berhadapan dengan seorang pembunuh.
“Lihat ini!” Bang Kumis menunjukkan sesuatu di dalam ember.
Mataku seketika melotot. Beberapa potongan tangan dan kaki manusia tertumpuk di dalam ember. Juga beberapa daging yang sudah dipotong terpisah di dalam ember yang lain.
Tubuhku lemas, pusing dan kepala terasa berat. Penglihatanku semakin kabur, tak lama tubuhku ambruk. Gelap, aku tak sadarkan diri. Mungkin setelah ini aku akan menjadi campuran bakso Bang Kumis.

Book Comment (523)

  • avatar
    LeongNancy

    Bab 1 , karangan yang sangat luar biasa !

    23d

      0
  • avatar
    AngelaAngela

    cerita ya bagus

    27d

      0
  • avatar
    bang joker

    woww ceritanya sngt baguss🥰

    06/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters