logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7: Pernikahan Fattah dan Fitri

Pernikahan Mas Fattah dan Fitri tetap 'kan berlangsung. Besok, secepatnya sesuai rencana. Kelegaan tercermin di wajah Fitri, ternyata Mas Fattah masih memilih dan mempertahankannya. Ijab kabul akan dilangsungkan di masjid yang ada di pesantren, satu penghulu hadir, dan ratusan santri yang muat di masjid hadir sebagai saksi.
Awalnya Mas Fahmi melarangku untuk ikut menyaksikan, tapi aku mendesak. Dan Mas Fahmi tak bisa memaksaku. Di dalam masjid, aku menjadi sorotan. Banyak yang menatapku sinis, dan bisik-bisik. Mengingatkan pada isu dan kejadian beberapa Minggu yang lalu.
 Aku berusaha untuk tidak mengambil pusing, apalagi Mas Fahmi yang berada di barisan depan yang menghadapku dari kejauhan, terlihat mencemaskanku. Aku tidak mau kecemasannya menjadi nyata.
Karena Fatimah ada di sebelahku, dia selalu menyabarkanku dengan menggenggam erat tanganku. Tanpa memikirkan pemikiran orang tentangku, aku bisa hadir tanpa perlu mengambil hati apa kata hati dan pandangan sinis mereka.
Bukan hanya terdiri dari santri yang hadir sebagai saksi. Tentunya keluarga Mas Fattah dan Mas Fahmi. Beberapa kenalan Mas Fattah, dan pemuka agama yang turut diundang. Mbak Annisa bersama Razaq suaminya, dan keluarga Razaq.
Aku menyadari Razaq yang terus menyorotku datar dari barisan sebelah, duduk bersebelahan dengan istrinya. Aku berusaha mengabaikannya, barangkali aku salah menduga dan bisa jadi sebaliknya dia cuma memperhatikan seseorang di belakangku. Atau sama halnya seperti orang lain, mungkin dia terkejut melihatku berani hadir di pernikahan Mas Fattah.
Sepasang calon pengantin didudukkan bersebelahan, tudung dijatuhkan di dua kepala mereka. Mas Fattah terlihat gelisah dari gerak tubuh dan matanya, sedangkan Fitri tersenyum malu-malu. Dia sangat cantik dengan bungkusan kebaya dan hijabnya, sedangkan Mas Fattah jangan salahkan aku jika mengakuinya, dia terlihat menawan dengan setelan kemeja dan kopia hitam.
Tangan penghulu terulur, Mas Fattah tak kunjung menyambutnya.
"Mas," Fitri menegurnya.
Mas Fattah tak kunjung meraih tangan penghulu.
"Nak Fattah," tegur sang penghulu, ikut menyadarkan Mas Fattah yang malah melamun.
Mas Fattah sontak tersadar. Tidak spontan meraih tangan penghulu, pandangannya beralih ke wajahku yang ada di barisan para saksi. Mas Fattah membelalak mendapati kehadiranku, lalu menunduk letih, menghembuskan napas frustrasi. Tubuhnya bangkit berdiri, lalu berkata tegas. "Maaf, saya tidak bisa menikahi Fitri."
Sontak satu masjid riuh, banyak orang saling pandang dan kebingungan. Kulihat Mas Fahmi yang menghadapku dari kejauhan bangkit berdiri lalu menghampiri Mas Fattah yang masih berdiri di tempat. BUGH! Kepalan tangan melayang ke rahang Mas Fattah, penghulu dan beberapa orang berusaha menghentikan Mas Fahmi yang ingin mengamuk.
Sedangkan Fitri, sudah menangis tersedu.
Mas Fahmi berhasil dilerai dari Mas Fattah. Mas Fattah berbalik dan berjalan menujuku, mendapatkan perasaan buruk, aku berusaha menghindar. Tapi langkah Mas Fattah tercegat saat dihadapkan dengan Ayahnya, Pak Kyai. 
PLAK! Tamparan menyengat di pipi kanan Fattah. Nadanya terdengar tajam, "Abi kecewa denganmu, Fattah." PLAK! Tamparan kedua dipipi kiri, "Bisa-bisanya kamu mempermalukan Abi, keluargamu, dan pondok pesantren ini! Di depan banyak santri, didepan para tamu yang kamu undang!" 
PLAK!
Sebuah tangan menahan dan berusaha menenangkan Pak Kyai. Lelaki jangkung dengan wajah yang menyerupai Mas Fattah, besar kemungkinan dia Mas Fatih yang jauh-jauh dari luar Indonesia kembali untuk menghadiri pernikahan kedua adiknya. Meskipun, dia tidak sempat hadir di pernikahanku dengan Mas Fattah sebelumnya.
"Sabar, Bi. Maafkan Fattah." Ujar Mas Fatih lirih.
Sedangkan Mas Fattah terdiam, ingin menyingkir dari hadapan Ayahnya. Matanya kembali mencari-cariku, tapi aku sudah menghilangkan diri ke kerumunan santri. Banyak yang bersenggolan denganku, para santriwati yang menoleh kearahku langsung mengenaliku.
Mendadak aku mual, kubekap mulut dengan sebelah tangan lalu berlari ke pojok sebuah gedung di pondok pesantren. "Hoek, hoek." Aku berjongkok, memuntahkan makanan yang menjadi sarapanku tadi pagi. Aku meratapinya, nasi dan lauk yang diambilkan Mas Fahmi untukku. Kini terbuang dan terlihat menjijikkan di atas tanah.
"Jangan-jangan kamu hamil?"
Sebuah suara membuatku menoleh.
°
°
“Jangan-jangan kamu hamil?”
Sedaritadi aku tidak menyadari kehadirannya. Saat aku menoleh, aku dapati Razaq tengah berdiri sambil bersender di ujung tembok gedung. Dari jaraknya, cukup berjauhan denganku.
Aku memikirkan ulang tuduhannya. Hamil? Kudekap perutku sendiri. Bisa jadi.
Saat tahu aku tidak perawan Mas Fattah memang marah besar dan langsung menalakku saat itu juga. Saat aku menangis sampai tengah malam dan dia pisah ranjang denganku, tengah malamnya dia mendekatiku dan merujukku. Sempat kupikir awalnya dia berubah pikiran dan menerimaku, tapi keesokan harinya dia malah menalakku lagi. Berkata, "setelah dipikirkan ulang, aku tidak bisa menerimamu yang seperti itu Nadia." 
Tapi talak kedua yang dijatuhkan Mas Fattah tak dibenarkan, makanya orangtuanya memaksanya untuk merujukku dan mempertahankanku sebagai istri.
Tapi setelah talak tiga dijatuhkan. Mas Fattah tak bisa lagi merujukku.
Kalau nyatanya aku benar hamil, aku harus bagaimana? Tak mungkin kembali dengan Mas Fattah karena dia menjatuhkan talak tiga padaku. Dan sebenarnya, aku enggan kembali kepadanya. Apalagi, itu hanya akan menyakiti Fitri.
Jika aku hamil. Inilah yang tidak dibenarkan agama menalak setelah berhubungan, karena akan menjadi penyesalan bagi pasangan pria itu sendiri yang sudah menalak.
“Coba cek ke dokter kandungan, sudah berapa minggu?” Razaq masih menyambung kalimatnya. “Kalau lebih dari dua minggu, ternyata itu anak haram hasil kamu berzina dengan lelaki lain sebelum menikah dengan Fattah.”
Aku menolak menjawab. Menjawabinya hanya akan membuatku semakin tersudut dan kembali dicemooh.
“Aku paling tidak suka, kamu mendiamiku seperti ini, Nadia.” 
Razaq melangkah mendekat, dari jarak dua meter dia kembali bersender di dinding dan membelakangiku.
“Rujuklah lagi dengan Fattah, jika kamu hamil. Mumpung, Fattah urung menikah dengan Fitri.”
Aku menggeleng, “Tidak bisa. Dia menjatuhkan talak tiga.”
Razaq terkesiap, lalu menggaruk tengkuk. “Oh, benar. Aku baru ingat.”
“Kalau begitu, jika ingin kembali dengan Fattah. Menikahlah dulu dengan orang lain, bercerai dan kembalilah dengan Fattah. Mudah.”
Aku diam, tak tahu harus menggunakan kalimat apa untuk menjawabinya.
“Aku paling benci diabaikan, Nadia.” Razaq sedikit meninggikan suara.
Aku bangkit berdiri, dan berpamitan untuk undur diri. “Maaf. Aku harus pergi.”
Sebelum beranjak, Razaq menahan lenganku yang segera ditariknya kembali saat mendapatiku melirik tangannya tajam. “Jangan dulu menampakkan diri, Fitri pasti mencarimu. Dia pasti sangat marah kepadamu sekarang. Setidaknya, kalau kalian adu jambak, kamu bisa keguguran.”
“Belum tentu aku hamil.” Aku menjawabinya. Meskipun ketakutan yang sama bernaung dikepalaku. Kemungkinan besarnya, Razaq benar, aku hamil.
“Tapi ada kemungkinan untuk itu.” Razaq menegaskan.
“Kamu mengingat kali pertama aku mengajakmu menikah?” Razaq mengungkit masa lalu. Dia bertanya, menatapku, berharap aku mengingatnya.
Aku malas menanggapinya apalagi diajak bernostalgia. “Maaf, aku harus pergi. Kita hanya berdua disini, bisa mengundang fitnah.” Aku ingin pamit undur diri, Razaq menahanku sekali lagi. Kini, maniknya yang tadinya menatapku sinis balik menatapku dingin, banyak cerminan yang tergambarkan dari sana.
“Kali ini saja, tanggapi aku dengan serius.” Mohonnya, meskipun tidak terlihat mengiba.
“Ya, aku ingat.”
Jika dihitung, ditahun ini, Razaq mengajakku menikah sebanyak empat kali. Tapi hanya pembicaraan santai yang tak ada istimewanya samasekali. Dan tak terkesan begitu serius.
Dikali pertama dia mengajakku menikah, saat di perpustakaan. Rak buku yang menjadi pembatas kami saat mencari buku referensi di kumpulan buku di rak sedikit bercela karena dua buku tebal diambil sekaligus, satu olehku dan satu oleh Razaq. Kami bertemu pandang, aku langsung membuang muka dan berjalan menjauh. Tahunya langkahku ditahan saat dia memutari rak dan menghadapku.
“Kamu ada niat untuk nikah muda?”
Aku mengernyit, “Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Aku hanya menanyakannya.”
“Tergantung,” aku membalas ragu.
“Kalau begitu, menikahlah denganku.”
Aku membelalak, lalu tersenyum tipis. Tanpa menjawabinya, aku menjauh darinya. Kukira Razaq hanya main-main. Hingga ajakan kedua. Dia mengechat akun media sosialku. Karena tidak boleh membawa ponsel ke pesantren, aku hanya bisa mengecek akunku sesekali. Beberapa pesan dari Razaq yang dikirimkannya saat aku off, saat itu chatnya dikirim 5 hari yang lalu.
‘Assalamualaikum, Nadia. Aku tengah mencari jodoh untuk menunaikan sunnah rasul untuk menikah. Meskipun ini terlalu cepat. Tapi aku rasa kamu perempuan yang tepat.’
Saat itu aku kurang terkesan, dan membalasnya singkat.
‘Walaikumsalam, cari saja perempuan lain, Zaq.’
Hanya diread dan tidak dibalas.
Jika Razaq mau, dia bisa beristri empat sekaligus. Selaku anak pemuka agama terkenal, dia lebih dikenal. Apalagi Kakeknya juga pengusaha sukes. Prestasinya menyimbangi Ayahnya dan memiliki pesona yang juga setara, paras bak para bidadara. Tentu, selain aku, banyak perempuan yang mendambakannya.
Sebenarnya yang ketigakali, mungkin tidak bisa dikategorikan ajakan atau lamaran. Sebelum Razaq mengutarakan niatnya waktu itu untuk ketigakali, aku sudah berlalu keluar dari aula. Didepan banyak santri, setelah menerima penghargaan sebagai santri yang memiliki nilai terbaik, dan diperkenankan memberikan pidato singkat. Dalam ungkapan terimakasih, namaku ikut disebutkan di sana.
“Sebenarnya, ada niat lain yang ingin saya utarakan. Nadia Alfanah,” dia menyebut namaku. Saat itu juga aku menyerobot barusan santri dan berlalu keluar dari aula. Razaq meringis, lalu mengganti kalimatnya. 
“Terimakasih juga kepada teman saya Nadia Alfanah, dia banyak memberikan motivasi untuk menjadi yang terbaik, begitu pula teman-teman saya yang lain. Iqbal, Rahman dan saudari kembarnya Rahmah, Anton, Haikal, Abraham, Nindin. Dan semuanya.”
Sekian pidatonya, Razaq terkesan terburu mengakhiri pidato dan menaruh kembali mic-nya. Setelah itu beranjak turun dari panggung dan meninggalkan aula. Saat itu aku mendengar isu, ada saksi mata yang melihat Razaq membakar piagam penghargaannya dengan korek.
Terakhirkali. Waktu itu dia dijemput oleh suruhan Ayahnya untuk pulang kaena Kakeknya masuk rumah sakit. Razaq urung masuk ke dalam mobil dan balik mencari-cariku, mengabaikan suruhan Ayahnya yang kewalahan menunggu. “Nadia,” dia memanggil, waktu itu aku tengah membuang sampah.
“Ada apa?” Kataku cuek sambil menjatuhkan korek api menyala ke tumpukan sampah. Dan kobaran apipun menyala seperti gambaran api neraka yang selalu membuatku bergidik.
“Menikahlah denganku.”
Aku menoleh kaget, “Kenapa harus aku?”
“Karena perasaanku tenang jika orang itu kamu.”
“Cari perempuan lain saja, Zaq.”
“Kenapa harus perempuan lain?” Razaq menyahut tersinggung.
“Karena aku nggak siap.”
Razaq menghembuskan napas, “Baiklah. Aku pergi.”
Razaq berbalik dan meninggalkanku begitu saja tanpa salam.
Jadi kupikir saat itu dia tidak serius.
Hingga ujarannya saat ini, membuatku tegang. “Kenapa aku waktu itu buru-buru mengajakmu menikah, sampai 4 lamaranku ditolak begitu saja olehmu?” Razaq terkekeh.
“Karena aku harus membawamu ke hadapan orangtuaku, agar aku tidak dinikahkan dengan Annisa. Karena ‘mereka’--orangtuaku--tidak pernah membiarkanku untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Dari dulu yang kudambakan kamu, tapi mereka memaksaku melamar Annisa.”

Book Comment (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters