logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 PERJALANAN WISAKA

Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur.
Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam.
"Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka.
"Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut.
"Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir.
"Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu saja masih ada ilmu yang lebih tinggi lagi," jawab Pak Amir.
"Iya, Pak," kata Wisaka sambil manggut-manggut.
"Sebaiknya kamu mempelajari sedikit ilmu dari Bapak. Bukan perjalanan mudah untuk mencapai tempat itu. Banyak sekali rintangan di jalan, kamu akan bertemu dengan berbagai demit penghuni hutan yang akan menjahili kamu. Bukan tidak mungkin, kamu tidak bisa mencapai tujuan," kata Pak Amir.
"Saya setuju sekali, Pak," ujar Wisaka.
Hari itu juga, Wisaka belajar ilmu kanuragan yang baru dari Pak Amir. Hilang sudah kecurigaannya selama ini kepada pak tua itu, sebagai penebar teror di kampung. Pak Amir mengajarkan, bagaimana cara melawan mahluk halus yang menyamar menjadi mahluk lainnya.
"Ia akan menjadi apa saja sekehendak hatinya. Bisa menyerupai orang-orang yang kita kenal. Baik yang dekat ataupun yang jauh, berusaha agar kita mengikutinya. Nah, jangan sampai kamu terperdaya oleh kelicikan mereka," kata Pak Amir.
"Baiklah, Pak, aku mengerti," ujar Wisaka.
"Hapalkan doa-doa ini sebelum berangkat, dan ini jadikan senjata kalau kepepet," kata Pak Amir sembari memberikan sebuah tasbih kayu yang sudah licin.
"Terima kasih, Pak," kata Wisaka. Dia kemudian menyimpan tasbih itu baik-baik di balik bajunya.
Wisaka pulang dan kembali mempelajari apa yang baru saja diajarkan Pak Amir. Begitu sungguh-sungguhnya dia ingin menumpas sang penebar teror. Beruntung ia sudah mempunyai sedikit ilmu silat. Karena terbiasa, dengan mudah ia menghafal doa-doa pendek yang diberikan Pak Amir.
Tiba saatnya Wisaka pergi, setelah berpamitan kepada kedua orangtuanya. Dia pergi menyusuri jalan seperti yang ditunjukkan oleh Pak Amir. Semakin lama semakin masuk ke dalam hutan. Wisaka merinding melihat lebatnya hutan, di kiri kanan jalan setapak yang dilewati.
Monyet-monyet menguik di atas kepala Wisaka, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Sambil mengunyah makanan mereka memperhatikan Wisaka dari atas pohon. Ada pula yang iseng, sambil bergelantungan mencolek dan mencebik kepada Wisaka.
"Apakah kau mau berkenalan denganku," kata Wisaka sambil mengulurkan tangannya.
Salah satu monyet itu memandang Wisaka, tiba-tiba dia meloncat ke bahu Wisaka. Bertengger di bahunya dan memegang kain ikat rambutnya. Wisaka terlonjak karena kaget, refleks menyentuh monyet tersebut, tapi monyet itu malah memegang tangan dan menciumnya.
"Eh, kamu mau ikut denganku?" tanya Wisaka sambil tersenyum.
"Uk uk uk uk ... ngik ... ngik," monyet menjawab sambil menyeringai seolah-olah mengerti.
"Ayo, mulai sekarang kamu ikut ya," ajak Wisaka.
Wisaka melanjutkan perjalanan dengan disertai monyet jantan kini. Ia nangkring di pundak Wisaka. Sesekali mendahului meloncati ranting pohon yang menjuntai menghalangi jalan.
"La la la la ...." Wisaka bernyanyi riang.
Hari menjelang sore. Sayup-sayup terdengar suara orang menangis yang samar-samar terbawa angin. Wisaka menghentikan langkahnya. Suara tangis itu turut hilang.
Suara apa yang terdengar barusan, apa bunyi dedaunan yang tertiup angin, batin Wisaka berkata.
"Onet, apa kamu mendengar, suara apa barusan?" Wisaka bertanya kepada monyetnya yang ia beri nama Onet kini.
Onet melompat-lompat, menarik-narik tangan Wisaka. Seolah-olah mengajaknya segera berlalu, tanpa memperdulikan suara tersebut. Onet bersuara dengan ributnya, mencegah Wisaka untuk perduli.
Angin yang sepoi-sepoi bertiup, kembali menghantarkan bunyi tangisan tersebut. Wisaka kembali menghentikan langkahnya. Dia merasa penasaran, mengapa ada suara perempuan menangis di tengah hutan seperti ini. Walaupun Onet sudah memperingatkan, Wisaka tetap mencari asal suara tersebut.
Di sebuah batu datar, terlihat seorang perempuan duduk sambil menutup mukanya. Rambutnya yang panjang sebagian menutupi wajah. Bahunya berguncang-guncang, menandakan kalau ia sedang menangis.
Onet berteriak-teriak dengan gelisah, ia menarik-narik ikat rambut Wisaka, tapi Wisaka tidak memperdulikannya. Pemuda itu tetap berjalan mendekatinya, kemudian menyapa.
"Nisanak, siapakah dirimu, mengapa kau berada di tengah hutan sendirian?" tanya Wisaka.
Perempuan itu menghentikan tangisnya, tapi tetap menutupi wajahnya. Onet semakin ribut. Perlahan-lahan perempuan itu melepaskan tangan dari mukanya. Ia memandang tajam ke arah Onet, Onet seketika terdiam, mengkeret ketakutan.
Wisaka maklum dengan pandangan perempuan itu, mungkin ia merasa terganggu dengan suara Onet.
"Maafkan dia, Nisanak, Onet namanya, namamu siapa?" tanya Wisaka lagi.
"Namaku Sari," jawab perempuan itu dengan suara bindeng.
Wisaka heran dengan suara perempuan itu. Mungkin karena baru nangis, suaranya menjadi sengau begitu. Perempuan itu cantik dengan usia kira-kira dua puluh tahun. Dengan mata bening yang berkilat, tapi bibir atasnya tanpa lekukan.
"Mengapa kamu ada di hutan, apakah kamu sendirian, di mana orang tuamu?" Wisaka memberondongnya dengan pertanyaan.
Perempuan itu mengusap ingus yang keluar, lalu berkata, "Aku tinggal di sana bersama orangtuaku, tapi sekarang mereka pergi tanpa mengajakku."
Perempuan itu menunjuk ke arah semak-semak. Terlihat ada sebuah gubuk sederhana di sana. Sari mengajak Wisaka untuk mampir ke rumahnya. Onet seperti tidak setuju, ia berisik lagi.
"Tenanglah, Onet, kita mampir cuma sebentar," kata Wisaka sambil mengikuti langkah Sari.
Sebuah gubuk kecil yang nyaman dan bersih. Wisaka mengempaskan tubuhnya yang terasa penat sekali, karena berjalan seharian. Onet meloncat ke tiang gubuk. Memandang kiri-kanan seolah-olah bersikap waspada.
Sari menyuguhkan minum buat Wisaka, lalu menawarkan untuk menginap di gubuknya.
"Menginaplah di sini, Kakang, malam ini aku takut sendirian," kata Sari masih dengan suara sengaunya.
Wisaka memandang Onet seolah minta persetujuan, Onet menggeleng seperti tidak setuju. Namun, hari yang sudah gelap memaksa Wisaka untuk menginap di gubuk Sari. Dia setuju untuk menemani Sari.
"Baiklah, Sari, aku akan menginap, tetapi aku akan tidur bersama Onet di luar," ujar Wisaka.
"Baiklah, Kakang."
Malam semakin larut, hawa dingin mencucuk kulit. Wisaka masih terjaga untuk memastikan semuanya aman. Malam kian ramai dengan suara-suara binatang malam. Sesekali terdengar lolongan serigala dari kejauhan. Membuat suasana kian terasa mencekam.
Rasa lelah bekas perjalanan membuat kantuk menyerang Wisaka, perlahan-lahan dia terlelap. Sementara dari sebuah lubang di gubuk tersebut, sepasang mata berkilat mengawasi Wisaka yang tertidur.

Book Comment (83)

  • avatar
    FirmansyahLukLuk

    😯 enak sekali dibaca

    9d

    Β Β 0
  • avatar
    irfanmohd

    best sangat😍😍😍😍😍

    12d

    Β Β 0
  • avatar
    RiskiMustofa

    bagus

    21d

    Β Β 0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters