logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 WISAKA, AWANG DAN BARSHI

Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi.
"Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu.
Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja.
"Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa.
"Ayo diminum!" suruhnya.
"Masih panas," jawab Wisaka.
"Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir.
"Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya.
"Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan mereka, mereka terserang penyakit aneh, kalau terkena sinar matahari, kulit mereka merah, gatal luar biasa, badan mereka penuh bilur-bilur merah," kata Pak Amir sambil pandangannya tertuju ke langit-langit rumah yang banyak terdapat sarang laba-laba.
"Masih teringat di benak saya, suatu pagi menjelang siang, Mak Eroh datang minta tolong kepada saya untuk mengobati anak dan menantunya."
Pak Amir mulai bercerita.
"Pak, tolonglah, anak dan menantu saya badannya gatal terkena sinar matahari," kata Mak Eroh memohon.
"Lho, bukannya dari kemarin sudah biasa kerja di kebun, pasti terkena sinar matahari, mereka baik-baik saja, kan?" tanya Pak Amir.
"Iya, tapi sudah dua hari ini, mereka seperti itu," jawab Mak Eroh.
"Baiklah, ayo kita ke sana," kata Pak Amir.
Pak Amir mendapati Awang dan Barshi tengah menahan rasa gatalnya. Wajah mereka pucat karena tidak tahan dengan penyakit aneh ini. Dengan memelas mereka memohon disembuhkan.
Dengan ilmunya, Pak Amir mencoba untuk menyembuhkan penyakit mereka. Dia memberikan air yang sudah dibacakan doa. Segera pasangan suami-istri itu meminumnya. Beberapa saat kemudian mereka nampak tenang. Rasa gatalnya perlahan menghilang.
Sejenak Pak Amir menghentikan ceritanya, menyesap kopi dan menyalakan rokok. Dikepulkan asap rokok ke atas sembari diikuti oleh pandangannya. Pak Amir seperti mempunyai beban berat di benaknya saat akan memulai kembali bercerita. Dia seperti menyesali sesuatu.
Wisaka ikut memandang ke arah langit-langit. Pemuda itu terdiam, pikirannya juga terhanyut oleh cerita Pak Amir. Dia menunggu kelanjutannya. Hatinya merasa penasaran.
"Kopinya ayo diminum," suruh Pak Amir.
"Ooh, iya Pak," kata Wisaka sambil tangannya mengambil cangkir berisi kopi.
"Saat itu juga, aku merasakan ada sesuatu yang ganjil dengan penyakit mereka." Pak Amir meneruskan ceritanya.
"Lalu," kata Wisaka.
"Aku menyuruh mereka untuk menemui guruku yang bermukim di sebuah dusun di kaki Gunung Bengkok yang jauh dari sini," kata Pak Amir sambil menunjuk ke arah sebuah gunung yang terletak jauh dari desa mereka.
"Tapi entah apa yang terjadi, saat mereka datang kembali setelah mengembara sebulan lamanya, mereka memang sembuh, tapi keadaannya seperti berubah, seolah-olah tak mengenali orang-orang yang pernah dekat dengan mereka, seperti lupa, tapi syukurlah lambat laun mereka kembali menemukan kembali ingatannya.
Mak Eroh pun pernah bercerita mengeluhkan keadaan anak dan menantunya tersebut, ia merasa seolah-olah mereka bukan orang yang selama ini tinggal bersamanya. Entah apa yang terjadi dengan perjalanan mereka," Pak Amir seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
"Pada suatu kesempatan, saat mengunjungi guruku, aku bertanya tentang mereka, guruku bilang, beliau tidak pernah kedatangan mereka, tentu saja aku kaget, kemana mereka pergi selama ini?"
"Awang dan Barshi sejak saat itu jarang keluar rumah, apalagi untuk bersosialisasi dengan para tetangga, mereka seperti menutup diri, para tetangga pun akhirnya maklum dengan keadaan mereka." Pak Amir menutup ceritanya.
Wisaka hanya manggut-manggut saja, dia mengerti sekarang, mengapa badan kedua tetangganya itu putih bersih, itu mungkin karena mereka tak pernah terkena sinar matahari.
Karena hari sudah malam, Wisaka berpamitan pulang. Menelusuri jalan di tengah dinginnya malam karena kabut mulai turun. Hatinya mulai ragu dengan praduganya tentang keterlibatan Pak Amir dalam kematian Dayat.
******
Wisaka, seorang pemuda kampung yang berfikiran maju. Memilih berguru ilmu, walau teman sebayanya lebih memilih membantu orang tua di sawah dan ladang.
Pemuda itu cerdas dan cepat tanggap, tapi terkadang sifat ragu-ragu masih suka mengganggu saat mengambil suatu keputusan. Maka dari itu dia akan memikirkan baik-baik segala keputusannya. Termasuk memikirkan masalah pembunuhan ini. Kali ini harus menunda kepulangannya kembali ke pondok.
Akhir-akhir ini dirinya dekat dengan seorang gadis di kampungnya, Cempaka. Gadis ayu dengan lesung pipi. Tidak banyak tingkah serta setia menunggu Wisaka selesai menimba ilmu. Mereka berencana menikah tahun ini.
Orang tua kedua belah pihak sudah menyetujui dan mempersiapkan segala sesuatunya. Maklum bagi mereka ini adalah kali pertama mengadakan pesta pernikahan, karena Cempaka dan Wisaka sama-sama anak pertama.
Persiapan yang hampir mendekati selesai ini rupanya harus dipikirkan ulang kembali. Orang tua tidak mau kalau anak-anaknya menjadi korban mahluk misterius itu. Mereka mencoba meminta pendapat calon pengantin.
Wisaka dan kedua orang tua Cempaka sengaja mengadakan suatu pertemuan untuk membahas kelanjutan rencana pernikahan mereka. Bertempat di rumah Cempaka, orang tua Cempaka mengajukan keberatan apabila putrinya disunting Wisaka tahun ini.
"Abah, gak mau kalau kalian tetap menikah," kata Abahnya Cempaka.
"Iya, Bah, aku juga setuju, bahkan aku berniat untuk mengungkapkan misteri ini," ujar Wisaka.
"Harus punya ilmu yang mumpuni, jangan sembarangan," kata Abah.
"Iya, Bah, rencananya aku ingin berguru kepada seorang Kyai, nanti aku akan bicarakan lagi dengan Pak Amir, beliau mempunyai seorang guru yang berdiam di Gunung Bengkok," kata Wisaka.
"Baguslah, cobalah tanya lagi, selidiki juga, itu ilmu putih atau ilmu hitam, salah berguru akan fatal nanti akibatnya buat dirimu," ujar Abah memberi saran.
"Baiklah, Abah, besok aku datangi lagi rumah Pak Amir," kata Wisaka.
Abah menoleh kepada Cempaka yang sejak tadi duduk terpekur, tanpa berkata apa pun.
"Kamu setuju, Nyi?" tanya Abah kepada Cempaka, Nyi adalah panggilan untuk perempuan Sunda, Nyai.
"Aku setuju saja, Bah," jawab Cempaka malu-malu.
"Ya sudah, Abah sambung doa saja, mudah-mudahan kamu dimudahkan untuk keinginan yang mulia ini, Wisaka," kata Abah.
"Ya,Bah, terima kasih, kalau begitu sekalian aku pamit, besok pagi rencananya mau menemui kembali Pak Amir," Wisaka berpamitan.
Wisaka kembali ke rumah, sampai di kamarnya, dia kembali membuka gambar mahluk yang dilihatnya kemarin malam. Dipelajarinya dengan detil. Wisaka tidak tahu persis, gambarnya sama persis dengan mahluk yang dicurigai, berada di belakang kematian demi kematian pengantin tersebut.
Namun, memang seperti itulah adanya. Sesosok makhluk tak biasa dan belum pernah Wisaka lihat, bentuk binatang sekalipun.
Benarkah binatang tersebut yang membuat keonaran ini?

Book Comment (83)

  • avatar
    FirmansyahLukLuk

    😯 enak sekali dibaca

    10d

    Β Β 0
  • avatar
    irfanmohd

    best sangat😍😍😍😍😍

    13d

    Β Β 0
  • avatar
    RiskiMustofa

    bagus

    21d

    Β Β 0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters