logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Lantai Dua Puluh

Keesokan hari...
Aku sengaja ke lantai lima belas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan.
"Hai Bro, penghuni lantai dua puluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you."
"Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?"
"Nggak mungkin dan nggak mau."
"Teman macam apa lo?"
"Teman yang menyayangi nyawanya."
"Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan."
Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?"
Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya.
Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas.
"Gue naik, Bro," kataku pada Wahyu.
"Oke, jangan lupa makan siang ya."
Aku memilih untuk naik dari tangga darurat. Cuma lima lantai ke atas. Hitung-hitung membakar kalori.
"Pagi, Hazel," sapa Bernard dengan senyuman ramah.
"Pagi, Bernard. Sekarang kita sekantor nih," kataku.
"Iya, betul. Kamu sudah tahu ruangan mana yang ditempati?"
"Belum."
"Ruanganmu tepat berhadapan dengan ruangan Pak Richard. Ayo kutunjukkan." Bernard bangkit dan mendahuluiku berjalan ke dalam.
Benar kata Bernard. Pintu ruanganku dan ruangan Richard berseberangan. Ruanganku luas dan satu sisinya terbuat dari kaca yang memperlihatkan langit. Aku berdiri di depan kaca dan melihat ke bawah.
"Wow, keren banget," desahku.
"Semua barangmu sudah dipindahkan semalam. Kalau masih ada yang diperlukan beritahu aku atau Pak Richard ya."
"Oke."
"Baiklah. Aku kembali." Bernard meninggalkanku.
Aku menyimpan tas di laci. Mataku tertarik pada sebuah sofa besar berwarna oranye dengan bantal-bantal besar di atasnya. Aku melempar tubuhku ke atas sofa. Empuk sekali!
Suara ketukan di pintu membuatku duduk tegak. Richard berdiri di ambang pintu. Wajahnya tersenyum melihat tingkahku. Aku bisa merasakan pipiku menghangat.
"Pagi, Hazel. Aku baru saja mau bertanya apakah kamu merasa nyaman, tapi sepertinya nggak perlu." Richard ikut duduk di sofa.
"Sofanya nyaman," sahutku.
"Aku tahu."
"Jadi alasan sebenarnya aku dipindahkan kemari?" tanyaku penasaran.
"Mempermudah pekerjaan."
Aku menggigit bibir. Apa hanya itu alasannya?
Pandangan Richard sekilas mengarah ke bibirku, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku pura-pura melihat ke kaca.
"Baiklah. Aku ada di ruanganku." Richard bangkit dan pergi.
Aku bernafas lega. Apa itu tadi? Kenapa atmosfernya mendadak jadi aneh? Apakah karena sofa ini? Aku membayangkan sofa yang besar ini cocok untuk tempat bermesraan.
Aku menampar diriku.
Sadar, Hazel! Pagi-pagi sudah mesum!
Hari ini aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Aku hanya meninggalkan meja untuk urusan ke kamar mandi. Tidak terasa jam istirahat pun tiba. Aku menggeliat seperti kucing. Tulang punggungku berbunyi.
'Bro, lo udah di kantin?' aku mengirim pesan singkat untuk Wahyu meskipun ragu akan dibalas.
'Ayo turun buruaaaannn!!!' balas Wahyu.
Aku tersenyum geli membaca balasan Wahyu yang lantang. Aku mengambil dompet dan handphone. Richard keluar dari ruangannya. Kami saling berpandangan selama sedetik. Cukup, jangan lama-lama.
"Makan siang di mana?" tanya Richard.
"Di kantin. Mau ikut?" Aku berbasa-basi.
"Aku makan di atas. Mau ikut?"
Kenapa ajakannya terdengar lebih menggoda dibanding ajakanku? Aku mematung. Kakiku seperti menginjak lem super, melekat di lantai.
"Hei, jangan suka bengong."
Aku menggelengkan kepala, "Aku turun."
Richard terlihat sedikit kecewa. Aku cepat-cepat berlari ke lift sebelum hatiku memberontak. Kenapa wajahnya harus seperti itu sih? Membuat orang tidak tenang saja.
Aku duduk di meja bersama Wahyu, berharap semoga temanku punya hal konyol untuk diucapkan.
"Tau nggak, Bro?" Wahyu mencondongkan tubuhnya, "Gebetan gue ngajak hang out Sabtu besok."
"Oh ya? Bagus dong? Selamat bersenang-senang." Aku menyeringai, turut senang, "Sabtu? Besok kan?"
"Ikut ya? Gue butuh beking."
"Beking vokal?" Aku tertawa.
"Ih, serius gue! Bantu gue lihatin orangnya kayak apa!"
"Hah? Lo bukannya udah lama kenal dia?"
"Iya sih, tapi gue pingin pastiin aja orangnya benaran tulus atau nggak. Ya? Mau yaaa?" Wahyu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Ampun deh... Lo kira gue paranormal?"
"Pleaseee Brooo?? Lo nggak mau lihat teman lo yang bohay ini diapa-apain orang kaaann??"
Aku tergelak melihat ekspresi Wahyu. Dia benar-benar jago berekspresi!
"Sekali ini aja. Lo nggak boleh bilang siapa-siapa!" Aku memberi peringatan keras.
"Yes!! Ntar gue traktir all you can eat!! Thank you Bro!" Wahyu menerjangku.
Aku gelagapan dipeluk erat-erat oleh Wahyu. Tanganku menggapai-gapai mencari oksigen.
Usai jam istirahat di lantai dua puluh...
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore?
"Kok panas ya?" cetusku.
"AC-nya dingin kok," jawab Richard.
Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja.
"Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum.
"Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga.
"Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak lima puluh sentimeter di antara kita." Richard protes.
"Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati."
"Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?"
"Nggak kayak begini," gerutuku.
"Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat?"
"Ah, terserah deh. Aku mau ke toilet dulu."
Aku sengaja berlama-lama duduk di toilet untuk menenangkan hati. Perlahan kutelaah apa yang terjadi hari ini, kenapa aku risih dengan kehadiran Richard. Benar kata Richard, di lantai lima belas aku sudah terbiasa diamati saat bekerja, lalu kenapa dengannya terasa tidak nyaman?
Sampai jungkir balik pun aku tidak paham. Aku sampai pada kesimpulan, mungkin karena rasa bersalah akibat insiden di pantai.
Setelah kurasa sudah cukup lama, aku keluar dari toilet. Kulihat Richard masih ada di ruanganku. Dia duduk di kursiku sedang melihat entah apa di laptop. Aku duduk di sebelahnya.
"Kupikir kamu pingsan di toilet," kata Richard tanpa menoleh.
"Eehh kamu lagi apa? Jangan dirubah!" Aku panik melihat Richard membuka fileku. Tanpa banyak berpikir aku menarik lengannya.
"Warnanya kurubah sedikit." Richard terkejut dengan gerakanku.
Aku menyelamatkan pekerjaanku. File yang dirubah Richard kusimpan dengan nama berbeda. Aku memeriksa semua file yang ada di folder. Untung Richard cuma mengutak-atik satu halaman. Aku bernafas lega dan duduk kembali.
"Ehm... Hazel..."
Aku memekik saat sadar terduduk di pangkuan Richard. Secepat kilat aku melompat bangun. Lututku terantuk meja dengan keras.
Aduh, mau ditaruh ke mana muka ini?
"Sorry, aku nggak lihat...," kataku gugup.
"Nggak apa-apa." Richard segera berdiri, "Kamu lanjutkan bekerja. Aku..., ke sana." Richard kembali ke ruangannya.
Aku duduk membungkuk di kursi. Kenapa sering terjadi insiden saat Richard berada di sekitarku? Ada kesialan yang membayangi nih!
Sisa hari ini aku berusaha keras fokus pada pekerjaan. Setiap kali bayangan Richard lewat, kutendang jauh-jauh keluar jendela. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat pintu ruanganku diketuk. Aku mengangkat wajah dan melihat Richard.
"Aku ada meeting sebentar di luar. Kamu bisa tunggu sampai aku kembali?" tanya Richard.
Aku mengangguk.
"Oke, bagus. Aku tidak akan lama." Richard pun pergi.
Sepeninggal Richard kesadaranku semakin tajam. Keheningan semakin terasa. Aku menuju meja resepsionis untuk mencari teman ngobrol tapi tidak ada orang sama sekali. Bernard sudah pulang?
Ya Tuhan, aku ditinggal sendirian!
Secepat mungkin aku membereskan meja, mengangkut laptop dan tasku, dan berlari turun ke lantai lima belas. Aku yakin di bawah ada meja kosong yang bisa kutempati sementara.
"Hei, penghuni lantai dua puluh! Tumben turun gunung?" sambut Wahyu dengan gembira.
"Nggak ada orang di atas, Bro! Richard keluar meeting, resepsionis udah pulang. Nggak mau gue jaga lantai. Mepet dikit dong." Aku meletakkan barang bawaanku di meja Wahyu.
"Astaga! Lo pinjam meja sama Daniel sana! Ribet ih." Wahyu menghalauku pergi.
"Tega benar lo." Aku pun mencari Daniel. Ruangannya sudah kosong. Rupanya Daniel sudah pulang.
Kebetulan sekali. Aku bisa menempati ruangannya. Aku membongkar barang bawaanku dan duduk dengan nyaman di kursi kebesaran. Perhatianku kembali fokus pada pekerjaan.
Ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan malam...
Pintu ruangan Daniel terbuka, wajah Wahyu melongok ke dalam.
"Bro, mau pulang nggak?" tanya Wahyu.
"Belum. Tanggung. Lo duluan aja," sahutku.
"Oke! Jangan lupa besok malam ya!" Wahyu mengerling.
"Iyaaa."
Begitu Wahyu menghilang handphoneku berdering. Siapa lagi kalau bukan Richard?
"Hazel, kamu dimana? Sudah pulang? Kenapa nggak tunggu aku?" cecar Richard begitu aku menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan.
"Aku turun ke lima belas."
"Oh. Kamu bisa naik sekarang?"
Aku mengerang, "Sekarang?"
"Bukan. Besok."
Aku meringis, bisa bercanda juga dia!
"Kamu naik ke lantai dua satu, kubukakan pintu," kata Richard.
Aku mengerang, "Oke."
Sekejap mata aku sudah berdiri di dalam penthouse. Aku meletakkan laptop di meja pendek di ruang tengah. Saking pendeknya meja itu aku merasa lebih nyaman duduk bersila daripada duduk di sofa.
Richard juga duduk bersila di sebelahku. Matanya mengamati desainku. Aku kagum karena dia memberi koreksi kecil di sana-sini, hal-hal yang terlewatkan olehku. Aku langsung mengubah sesuai kemauan Richard.
"Aku lanjut besok aja ya? Sudah jam sembilan nih," kataku.
"Hmm..." Richard masih mengamati layar laptop, "Boleh. Kita lanjut besok. Pekerjaanmu bagus."
"Siapa dulu dong yang merevisi?" Aku tersenyum.
"Ayo, kuantar pulang."
Kali ini aku tidak menolak karena sudah mengantuk. Lebih baik tertidur di mobil Richard daripada di mobil orang tak dikenal. Berbekal pemikiran itu aku membiarkan mataku terpejam.
"Hazel."
"Hmm..." Aku bergumam dalam tidur.
"Hazel, bangun."
Aku merasa terganggu karena seseorang mengguncangku. Aku menepis.
"Hazel, bangun. Kamu sudah sampai."
Aku memutar badan menjauhi sumber gangguan. Sesaat kemudian aku teringat sedang berada dimana. Aku duduk tegak. Pelipisku membentur sesuatu.
"Aduh, apaan sih?" gerutuku.
"Sudah sadar??" Richard menggosok dahinya. Rupanya aku beradu dengan kepalanya.
"Sorry. Sudah sampai ya? Oke, sampai hari Senin. Bye." Pintu mobil tidak dapat kubuka.
"Sabuk pengaman," kata Richard sambil membuka kunci pintu.
Aku meringis.

Book Comment (131)

  • avatar
    RahmawatiSuci

    Seruu

    21d

      0
  • avatar
    NewFaricha

    agak lama tapi seru

    19/08

      0
  • avatar
    HadisArdi

    keren

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters