logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Kerjasama yang Baik

Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan.
Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas.
"Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas.
"Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain.
"Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai."
"Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus.
"Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum.
"Aduh, nggak jadi deh."
"Bercanda. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik."
Aku dan Richard berpisah jalan di lift. Aku menggunakan lift rakyat jelata sedangkan Richard menggunakan lift eksklusif di sayap belakang gedung.
Begitu tiba di lantai limabelas Wahyu langsung menatapku penuh arti. Aku mengernyit.
"Gimana date-nya? Seru dong?" tanya Wahyu yang mendadak sudah menarik kursinya ke sebelahku.
"Apaan sih! Balik sana! Gue banyak kerjaan nih, butuh fokus." Aku mengibaskan tangan seperti mengusir lalat.
"Aaaaahhh gitu banget sama teman! Bagi cerita dikit lah. Siapa tahu bisa gue jadiin inspirasi novel." Wahyu mencolok rusukku dengan telunjuk.
Aku mengikik geli, "Nggak ada cerita. Dasar biang gosip."
"Jika dua manusia berlawanan jenis berdekatan dalam waktu lama pasti ada yang terjadi, Bro. Ceritain aja nggak usah malu-malu. Kita kan saudara," bujuk Wahyu.
"Saudara dari Hong Kong!" Aku tertawa dengan kekonyolan sahabatku yang satu ini. Gombalnya tiada ampun.
Melihat Daniel berderap mendekat Wahyu cepat-cepat kembali ke mejanya. Aku menyukuri dalam hati.
"Pemotretan lancar?" tanya Daniel. Matanya melihat kamera DSLR di mejaku.
"Lancar. Semuanya kooperatif," kataku sambil memindahkan file foto dari kamera ke laptop.
"Bagus. Sepertinya Richard yang paling kooperatif ya."
"Harus dong. Ini kan proyek dia," tukasku.
"Kalau ada hambatan atau kesulitan kasih tahu saya," kata Daniel sebelum meninggalkan meja kami.
"Iyaaa," sahutku seenaknya.
Sisa hari ini kugunakan untuk menyortir dan mengedit foto. Meskipun kamera digital membutuhkan usaha minim untuk memotret, tetap saja hasil akhirnya masih butuh sedikit sentuhan.
Wahyu pulang terlebih dahulu. Aku belum beranjak karena sedang tanggung. Tinggal lima foto yang perlu kupercantik.
Dering handphone membuatku terlonjak. Aku menatapnya sengit. Nama Richard terpampang di layar. Aduh, masa setelah seharian bersama aku masih harus melapor?
"Ya?" Aku menjepit handphone di bahu.
"Hazel? Apakah kamu akan naik?"
"Aku sedang edit foto. Sedikit lagi selesai."
Tidak ada suara. Aku melihat layar, masih menyala kok.
"Halo?" Aku memastikan.
"Aku turun sekarang."
"Nggak usah!" seruku panik.
"Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?"
"Nggak! Tapi tunggu sebentar lagi! Aku ke atas!"
"Aku hampir sampai kok."
Kepalaku melongok dari atas partisi. Sosok tinggi ramping ganteng itu terlihat berjalan santai menuju kantorku. Aku benar-benar panik. Meskipun di kantor tinggal segelintir orang tapi kehadiran Richard tetap bisa menimbulkan chaos. Dia berjalan seolah tidak ada orang lain. Matanya mencari-cari seperti elang mencari mangsa.
Aku terpaksa mengangkat tangan supaya Richard tidak nyasar. Wajahnya berubah cerah saat melihatku.
"Nggak usah turun...," desisku.
"Sekalian lihat keadaan di sini." Richard melayangkan pandangan berkeliling, "Nyaman juga suasananya."
"Desainer butuh tempat nyaman untuk bekerja," sahutku ringan.
Richard membungkuk dengan satu tangan bertumpu di meja. Dia memperhatikan apa yang sedang kukerjakan di laptop. Aku risih setengah mati karena Richard berdiri sangat dekat.
Aku memundurkan kursi. Richard tersentak karena roda kursiku menggilas kakinya. Aku meringis. Apakah hidupku berakhir hari ini?
"Hazel, aku nggak tahu kamu sengaja atau tidak. Kamu bilang saja kalau nggak nyaman kuperhatikan," gerutu Richard.
"Maaf. Nggak sengaja." Aku cengengesan.
Richard menarik kursi Wahyu dan duduk santai di sebelahku. Aku yang kepanasan. Wajahku pasti memerah.
"Fotonya di-edit semua?" tanya Richard. Lengannya bersandar di kursiku.
"Nggak semua, cuma sebagian yang sudah dipilih." Aku sengaja menggerakkan mouse dengan berisik. Kesal.
"Kamu biasa bekerja seribut ini? Atau karena ada aku?"
Aku menggerutu tidak jelas.
"Apa?" tanya Richard.
"Nggak apa-apa." Aku menghela nafas. Hatiku berdoa semoga pencobaan ini cepat berakhir.
Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Manusia di sebelahku betah loh duduk selama setengah jam hanya memperhatikanku bekerja! Dia tidak mundur meskipun aku sudah bergerak ke segala arah.
Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?
"Kupikir sebaiknya kita berada di satu lantai untuk mempermudah pekerjaan," kata Richard memecah keheningan.
"Maksudnya?" Perasaanku tidak enak.
"Kamu pindah ke kantorku."
"Apa??" Aku menoleh sengit.
Richard mundur sejengkal sambil mengangkat tangan siap menangkis. Oh, aku belum senekat itu memukul bosku. Aku masih mencintai pekerjaan dan gajiku.
"Ada ruangan tak terpakai di seberang ruanganku. Kamu bisa menempatinya."
"Tapi kenapa? Kantorku kan disini?"
"Ehm... Karena sepertinya kita akan menghabiskan waktu bersama lebih banyak."
Aku melongo.
Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai dua puluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah!
"Hazel, besok kamu pindah ke lantai dua puluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari.
"Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak.
Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan."
"Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu.
"Lo ikut pindah aja?" usulku.
"Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai lima belas, Bro." Wahyu tertawa.
"Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap.
"Terima kasih banyak, tapi NO."
"Kamu okay, Hazel? Sorry saya nggak bisa berbuat apa-apa," kata Daniel dengan wajah penuh penyesalan.
"Iya, aku mengerti." Mood-ku langsung drop ke lantai dasar.
Aku tidak suka cara Richard menggunakan posisinya untuk berbuat sesuka hati. Lagipula apa maksudnya memindahkanku ke lantai dua puluh seorang diri. Jiwa pemberontakku menjerit.
"Gue turun ke kantin. Mood gue hancur, dipaksain kerja juga percuma," kataku pada Wahyu.
"Oke, Bro." Wahyu paham keadaanku.
Aku melangkah gontai ke lift. Kuperhatikan angkanya dua puluh satu dan bergerak turun. Tunggu dulu. Lantai dua puluh satu itu bukannya penthouse? Firasatku kurang baik nih.
Begitu pintu lift terbuka sudah terlambat bagiku untuk melarikan diri. Richard berdiri di dalam dengan segala kegantengan, maksudku kesombongannya.
"Hazel?" Richard menatapku dengan pandangan bertanya.
Tidak ada pilihan. Aku masuk.
"Kamu mau ke mana? Belum jam istirahat kan?" tanya Richard dengan lembut. Dia pasti menangkap kekeruhan di wajahku.
"Kantin. Mumet," sahutku singkat.
"Ada masalah dengan pekerjaan?"
"Nggak." Masalahnya denganmu! Teriakku dalam hati.
"Daniel sudah beritahu? Besok kamu pindah ke kantorku."
"Iyaaa tahu," sahutku tanpa berusaha menyembunyikan kekekian.
Richard menatapku tapi memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
Lift terbuka di lantai dasar dan aku keluar seperti badai. Jam segini kantin pasti sepi. Aku menghempaskan diri di meja terpojok. Richard duduk di hadapanku.
"Apa? Kirain mau pergi," cetusku.
"Bisa ditunda."
Aku melengos kesal.
"Nanti ikut aku ke atas."
"Nggak mau."
"Hazel, please." Suara Richard melembut.
"Aku nggak mau!" Kekesalanku mencapai ubun-ubun.
"Aku tahu cara menghilangkan kekesalanmu."
Aku menatapnya seperti makhluk luar angkasa yang tidak berbicara bahasa manusia. Mataku memicing curiga.
Rasa penasaran mengalahkan kekesalanku. Aku mengikuti Richard ke lantai dua puluh satu. Begitu lift terbuka aku terkagum-kagum melihat penthouse yang luas dan tertata rapi.
"Taruh sandalmu disana." Richard menunjuk ke arah rak sepatu.
"Oke Bos," gumamku.
"Ikut aku."
Richard membawaku ke sebuah ruangan yang berisi peralatan olahraga. Aku takjub. Lengkap sekali! Richard melepas jas dan menggulung lengan baju. Dia memegang sepasang target.
"Perlu stretching dulu?" Richard tersenyum.
Aku tahu maksudnya. Bibirku menyeringai. Dia yang memulai loh ya!
Mataku tidak lepas dari wajah Richard. Setiap pukulan dan tendangan yang kulayangkan tepat mengenai target di tangan Richard. Setiap kali kami beradu menghasilkan suara keras. Aku kagum melihat gerakannya yang mengimbangi dengan baik. Perlahan kekesalanku lenyap.
Usai sesi dengan Richard aku masih menendangi samsak. Bajuku basah oleh keringat. Richard memanggilku. Aku menangkap sekaleng minuman dingin yang dia lemparkan.
"Sudah lega?" tanya Richard.
"Lumayan." Aku meneguk minuman.
"Tenagamu kuat. Untung aku tidak cedera berat waktu itu."
Aku tertawa mengingat insiden di pantai, "Iya, kamu sih terlalu agresif."
Richard tertawa.
"Apa saja yang kamu kuasai?" tanyaku.
"Tebaklah."
"Nggak bisa, pengalamanku nggak banyak dan aku belum pernah ikut mixed martial art."
"Anggap saja kita punya dasar yang sama."
"Oke. Bisa diterima."
Aku memperhatikan seisi ruangan. Perabotan yang ada berwarna dominan abu-abu. Orang dapat langsung menebak kalau yang tinggal disini adalah lelaki. Richard masuk ke kamar untuk mengambil sesuatu.
"Ganti bajumu. Basah semua." Richard memberikan sepotong kaos hitam.
"Oke, thanks."
"Kamar mandi disana."
Aku masuk ke kamar mandi yang ukurannya hampir sebesar apartemen mungilku. Ada bathtub pula! Aku berganti pakaian dengan cepat sebelum tergoda untuk main air.
Kaos yang dipinjamkan Richard kebesaran tapi kainnya terasa nyaman di kulit. Saat aku keluar dari kamar mandi Richard memandangku dengan senang.
"Emm... Kaos ini sering dipakai?" tanyaku.
"Nggak sering."
Aku tersenyum simpul. Pikiranku merencanakan untuk tidak mengembalikan kaos tersebut. Bakat kleptomania.
"Perasaanmu sudah baik?" tanya Richard.
"Lebih baik dibanding tadi."
"Bagus. Kalau kamu butuh penyaluran emosi kemari saja. Kalau sempat kita sparring."
"Serius?" Mataku melebar.
"Serius." Richard memberi jeda sebelum melanjutkan, "Besok nggak ada masalah dengan pindah kantor?"
Aku mengangkat bahu.
"Malam ini aku suruh orang memindahkan barang-barangmu ke lantai dua puluh. Besok pagi kamu langsung kesana ya."
"Iya deh. Bagaimana bisa ditolak?" sahutku ketus.
Melihat ekspresiku Richard bertanya, "Perlu pelampiasan lagi?"

Book Comment (131)

  • avatar
    RahmawatiSuci

    Seruu

    21d

      0
  • avatar
    NewFaricha

    agak lama tapi seru

    19/08

      0
  • avatar
    HadisArdi

    keren

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters