logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

3. Apa Arti Sayang?

Adin sampai di kosan Dita pukul dua dini hari. Langsung membaringkan badannya di sebelah Dita yang sudah jauh terlelap. Hingga matahari minggu pagi menyorot wajahnya dari sudut jendela. Adin yang kesilauan membuka mata perlahan. Pelan-pelan menyadarkan dirinya. Dilihatnya jam dinding yang tergantung di atas TV, setengah sepuluh, bisiknya. Diambilnya handphone yang tegeletak di meja sebelah kasur dan masih kerap di silent. Lima missed call ‘rumah’. “Mamah telepon,” pikirannya berkata. “Mampus gue! Gue lupa bilang sama nyokap kalau gue nginep!”
“Dit, lo dimana…?” Adin menegapkan badanya dari tiduran jadi berdiri. Berteriak mencari Dita untuk minta izin pulang.
“Iya, gue di kamar mandi, lagi nyuci!! Apaan?”
“kok lo nggak bangunin gue si!”
“Yee... Mana sempet! ”
“Rese, lo! Ya udah, thanks banget ya buat tempatnya. Gue balik. Sampe ketemu senen di kampus”
“Lo mau balik sekarang?”
“Iya. Eh, nyokap nggak telepon lo kan semalem?” tanya Adin sambil buru-buru menyusul Dita ke kamar mandi yang juga masih berada di dalam kamar tersebut. Dengan wajah harap-harap cemas Adin menunggu jawaban Dita.
“Mmh… nggak, tuh!”
“Puih! Bagus-bagus. Bye, Dit!"
“Oh iya Din, semalem si Oky telepon gue, dia nanyain lo."
“Oky? Yang temennya Gilang itu maksudnya? Ngapain dia nelepon lo?”
“ Nggak tau! mau ngajak lo malem mingguan kali. Dia kan ngebet banget sama lo!”
“Oh."
"Ya udah gue balik ya! Thank’s banget Dit! bye!” tanggapan Adin dingin.
Sesampainya di rumah.
“Maa…!” Adin memanggil sang mama. Namun rumah tampak lebih sepi. Beberapa detik belum ada sautan dari mamanya.
“Bi, Mama mana?” tanya Adin pada asisten rumah tangganya alias pembantu yang sudah beberapa tahun terakhir bekerja di rumahnya.
“Oh, nyonya … nyonya di kamar, Non” jawab si bibi dengan nada seperti menyembunyikan sesuatu.
“Hah, di kamar? masa sih jam segini mama masih tidur, Bi?”
“Mmh… bukan tidur Non, tapi…”
“Tapi apaan? ada apa sih, Bi?”
“Tadi subuh bapak pulang, terus Nyonya sama Bapak berantem lagi…” jawab Bibi seperti yang ketakutan.
“Tapi jangan bilang kalau Bibi yang ngasih tau ya, Non…”
Tanpa menuntaskan mendengar cerita si Bibi, Adin langsung berjalan geram ke kamar mamanya. Dibukanya pintu kamar dengan kasar. Terlihat seorang wanita berumur empat puluhan tesedu di pojok kasur.
“Ma!!” sentak Dita memanggil mamahnya.
“Eh Din... sudah pulang... Kamu semalem kemana? Mama teleponin kok ngga diangkat?” tanya si wanita sambil menghapus air mata. Matanya merah, bengkak.
“Oh, Adin kan ngerjain tugas di kostan Dita. Iya, maafin Adin, Adin lupa ngga kabarin mamah dulu,” jawab Adin, yang agak gugup dengan pertanyan itu. Hampir Adin lupa akan kesalahannya. Otaknya terlalu meluap-luap untuk menghakimi ayahnya. Tapi untung Adin bisa menjawab pertanyaan itu.
"Papa mana, Ma?” Adin kembali bertanya dengan nada tinggi, berusah mengembalikan niat awalnya untuk menemui ibundanya tersebut.
“Pergi…” jawab Sang Mama. Nada hambar, kosong terlontar dari bibirnya.
“Ngapain sih Mama masih mau disakitin gitu sama Papa? Udah lah! Kita bisa kok hidup berdua doang tanpa dia!” bentaknya.
Mama terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.
“Jawab Ma! Adin capek, Adin juga ikutan sakit kalau Mama digituin terus sama Papa!”
“…”
“…”
“Mama… nggak bisa sayang rumah tangga nggak bisa segampang itu disudahi. Perasaan Mama ke Papa nggak bisa berubah…”
Adin mendengus. Sambil menaikan satu sudut bibirnya, memalingkan wajah dari arah mamanya.
“Perasan apa, Ma? Perasaan sayang?"
"Kaya gini namanya sayang? Cinta? Kalau gitu Adin nggak akan pernah mau sayang ataupun disayang, Ma!”
Adin membalikan badanya, Membanting pintu. Berjalan keluar kamar. Berlari ke kamarnya sendiri. Adin diam, berpikir, merenung. Sebenarnya ada apa di keluarganya. Tanpa disadari, setetes air jatuh di sudut matanya.
Sedari kecil perempuan ini selalu lebih dekat dengan pengasuhnya. Mamanya dulu kerja kantoran. Papanya? Jangan ditanya, pulang tiga hari sekali saja sudah untung. Adin kecil dilimpahi banyak maian, banyak makanan. Segala tang dimintanya pasti diberikan oleh orang tuanya. tapi tidak untuk waktu.
Sampai saat Adin memasuki SMA, entah kenapa Mamanya berhenti bekerja kantoran. Dipikir Adin, akan ada waktu untuk bersama setelahnya. Yang ada malah pemandangan yang semakin buruk yang dilihatnya. Dari sebelumnya jarang tegur sapa, sekarang interaksi Mama dan Papanya menjadi sebuah perkelahian.
Adin mencari pengalihan dalam pergaulan. Walau di dalam hati ia kesal dengan laki-laki karena menganggap laki-laki itu semua brengsek seperti Papanya. Namun tanpa disadari, teman-temannya malah kebanyakan kaum Adam. Penampilan tomboy, rambut pendek belah tengahnya dan egonya yang seolah selalu ingin menyaingi para laki-laki sebagai bukti bahwa ia mampu menang dari semua pria.
Seharian ini Adin tidak keluar kamar. Makan siang pun diantar Bibk ke kamarnya. Renungan Adin tidak pernah berujung sebuah solusi. Karena memang tokoh utama yang menjadi penyebab konflik adalah bukan dirinya. Wanita muda inu hanya menjadi imbas, efek dari sebuah konflik. Tapi bukan kah imbas sering lebih parah ketimbang penyebabnya?
***

Book Comment (59)

  • avatar
    A******a@gmail.com

    BAPERRREEUUUU AAAAA BAGUS POKOKNYA LAGI NUNGGU CHAPTER SELANJUTNYA

    09/03/2022

      5
  • avatar
    Yunita Maria

    goddd

    06/11/2022

      0
  • avatar
    Chaw Pqt

    nice

    23/06/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters