logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Be a Winner

“Hey Din, pagi banget datengnya?” tanya Bule. Teman satu tongkrongan Adin yang udah nggak kehitung lagi berapa kali gonta ganti warna cat rambut.
“He … he … Iya nih, abis ngerjain tugasnya udah beres, nggak ada kerjaan lagi” jawab Adin sambil menengok jam tangan digitalnya yang menunjukan pukul 21.15.
Jam sembilan malam mungkin terhitung masih pagi untuk jadwal balapan liar. Salah satu daerah di kawasan Kemayoran selalu menjadi tempat nongkrong Adin. Terutama malam minggu seperti ini. Lalu tidak lama kemudian
“Tuh, akhirnya si Lingga dateng juga!” sambut sebagian yang sudah tidak sabar untuk memulai kompetisi tersebut.
“Hey, mbak! Kemana aja? Kelamaan dandan sih lo! Kaya cewek mau ke pesta aja!” sambut Adin yang langsung berdiri di sebelah evo VII ceper kepunyaan Lingga.
“He … he … Iya donk dandan! Kan gue mau ketemu sama lo…” ucap Lingga dengan tatapan sok manisnya.
“Yee… makasih! udah kenyang gue denger gombalan lo!”
“1…2…3…Gooo!”. EvoVII dan BMW hitam keluaran 2000 awal saling beradu kecepatan. Lingga dan Adin di dalam mobil masing-masing berkonsentrasi penuh. Kali ini memang tidak ada taruhan yang berarti. Hanya ego keduanya yang menjadi taruhannya. Jalan yang cenderung lurus sejauh kurang lebih 400 meter menjadi lintasan drag race liar mereka. Dengan waktu kurang dari lima menit, mereka sudah dapat menentukan siapa pemenangnya.
Lingga turun dengan wajah bangga.
“Sekarang gue yang menang ya!” kata Lingga pada Adin yang hanya tertinggal beberapa detik saja di belakangnya.
“Iya, iya! Tadi guenya udah keburu ngantuk kali nungguin lo! Lagian, lo baru bore - up piston, kan?” bantah Adin dengan nada ngga mau kalahnya.
“Iya deh, lo jagoannya kok! Anggep aja gue lagi beruntung…” Lingga mengalah. Karena memang selalu mengalah untuk Adin.
“Tapi ngomong-ngomong, gue kan menang. Boleh dong gue minta sesuatu dari lo, nih?” Lingga berucap dengan gaya macam renternir mau nagih hutang.
“Ye… minta apaan?!" Tadi kan nggak ada perjanjian apa-apa!”
“Ya… emang ngga ada sih, tapi gampang kok pemintaannya…”
Adin diam, pura-pura mengacuhkan permintaan Lingga.
“Gue … gue … cuma … cuma minta ...”
Adin mendelik ke arah Lingga. Ia tahu pasti arah pembicaraan Lingga yang menurutnya tidak penting. Lingga mendekat ke hadapan Adin. Tatapan matanya ditujukan untuk perempuan berkulit kuning bersih itu.
“Gue cuma minta lo bisa sayang ma gue Din…” nada Lingga bergetar seraya mencoba meraih jemari Adin.
Adin mengalihkan pandangannya, rautnya judes sembari menghindarka jemarinya dari jemari Lingga. Tanpa bicara sepatah kata pun berlalu meninggalkan Lingga. Adin memang sudah berpuluh-puluh kali mendengar rayuan seperti itu ditelinganya. Apalagi dari Lingga. Semakin bernada romantis malah semakin menjijikan buatnya.
Adin berjalan menuju mobilnya yang sudah terparkir aman. Duduk di jok supir, minum teh botolan dan sedikit menjauh dari teriakan bingar penyemangat lainnya yang sedang melihat kompetisi selanjutnya.
“Allow… ngelamun aja non, marah ya…?” tegur Lingga yang tiba-tiba sudah nongol di kaca samping jok penumpang.
“Eh…” Adin terbangun dari lamunannya.
“Nggak kok, ngapain juga gue marah sama lo…”
Lingga membuka pintu dan langsung duduk di sebelah Adin.
“Apa kabar kuliah lo, Din?”
“Tumben lo tanya kuliah gue? Baik, tuh tadi gue abis nyalin tugas” jawab Adin, sambil nengok ke belakang menunjukan lima lembar folio yang tadi disalinnya dari Dita.
“Bokap nyokap belom melakukan gencatan senjata?” tanya Lingga dengan nada yang sepertinya sudah tau semua latar belakang Adin.
“Oh... nyokap. Masih belom tuh. Kemaren pagi aja pas gue mau berangkat kuliah. Bokap lagi ngomelin nyokap. Nggak tau masalahnya apa gue juga. Pokonya nyokap nangis.”
Mereka terdiam sesaat. Lingga takut salah ngomong dan tambah melukai perasaan Adin. Adin pun terbang dengan pikirannya sendiri.
Lalu, seketika di sela keheningan…
“Ling, kenapa sih bokap nyokap gue mesti kayak gini?”
Lingga yang mendengar pertanyan mendadak itu spontan kaget.
“Kenapa? Mmh … ya ... mungkin mereka salah paham aja kali. Ntar juga kalau mereka udah sadar pasti baikan lagi kok…”
“Cowok itu brengsek ya, Ling…?”
“Brengsek? Yaelah, lo nanya gitu sama gue. Gue kan cowok, ya pasti gue bilang nggak, lah!”
“Din, nggak semuanya lagi. Gue yakin bokap lo juga masih sayang sama nyokap. Tapi bokap lo gengsi aja buat ngakuinnya. Kalau bokap lo nggak pernah sayang, ngapain mereka nikah terus bisa menghasilkan lo …” lanjut Lingga seraya melebarkan bibirnya. Menunjukan gigi-giginya yang rapih.
“Yee! Lo jangan becanda gitu, dong!”
“Percaya ama gue Din, lo harus sabar, kalau bisa lo yang buat mereka sadar kalau mereka tuh masih saling sayang."
Obrolan mereka beralih jadi curhatan Adin yang panjang. Namun tak jarang mereka pun saling terdiam. Tenggelam dalam lamunan masing-masing. Adin yang khayalannya melanglangbuana tentang orang tuannya. Sedangkan Lingga, pikirannya juga melayang tentang Adin. Sampai akhirnya mereka harus berpisah karena waktu sudah menunjuk pukul 01.30 ini hari.
***

Book Comment (59)

  • avatar
    A******a@gmail.com

    BAPERRREEUUUU AAAAA BAGUS POKOKNYA LAGI NUNGGU CHAPTER SELANJUTNYA

    09/03/2022

      5
  • avatar
    Yunita Maria

    goddd

    06/11/2022

      0
  • avatar
    Chaw Pqt

    nice

    23/06/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters