logo
logo-text

Download this book within the app

Part 2

Bagas duduk di bibir ranjang, ia mengambil tanganku dan menciumnya. Menerima perlakuannya dan melihat tatapan teduhnya padaku membuat aku tak kuasa jika harus kehilangan Bagas.
Namun tak dapat dipungkiri rasa sakit, kecewa dan benci bercampur di benakku. Bagas memelukku tanpa sadar air mataku lolos dari pelupuk mataku. Masih terekam jelas kata-kata yang diucapkan kepada wanita itu kemarin siang di restoran.
Menerima dia yang memelukku dengan nyaman tanpa rasa bersalah kepadaku, membuat aku marah. Ingin rasanya aku memukul menarik bajunya menjambak rambutnya melampiaskan rasa sakit yang ia torehkan kepadaku.
Tangannya masih setia memelukku erat layaknya seorang suami yang sangat mencintai istrinya, tak hentinya juga dia mencium kepalaku. Jika Bagas hanya mencintai wanita itu dan hanya ingin hidup dengan wanita itu lantas Apa arti dari pelukan ini?
Drtt Drtt Drtt
Handphone Bagas kembali berdering, Kenapa wanita itu selalu saja mengganggu kebersamaan ku dan Bagas. Bagas melepaskan pelukannya dan mengambil gawainya di meja dekat ranjang.
Sekilas aku melihat nama yang tertera di gawai Bagas. security office mana ada satpam menelepon pagi-pagi seperti ini.
"Aku angkat telepon dulu, Ya."
"Ya udah angkat aja, Mas." aku memalingkan muka, malas sekali aku menatap wajah suamiku.
"Jangan gitu dong Sayang, ini dari kantor siapa tahu ada yang penting.
"Sebentar doang aku angkatnya, Ya," lanjutnya.
"Kenapa gak diangkat dari sini sini aja, Mas. 'kan itu dari kantor!" Bagas menggaruk pelipisnya.
"Ya udah angkat aja mas di luar nggak apa-apa kok yang jauh ya Mas takut aku dengar nanti ikutin kamu," ucapku seraya turun dari ranjang. Bagas terlihat menelan ludah saat aku berucap setelah aku berucap seperti itu namun dia tetap keluar dari kamar.
Aku pergi ke kamar mandi, membasuh muka dan menatap diriku di cermin. Isak tangisku tak terbendung melihat wajah ku sendiri di cermin, miris. Kenapa hidupku bisa seperti ini, kenapa dia tega sekali menghianatiku? dulu dia sendiri yang memintaku kepada orang tuaku. Dan sekarang di saat orang tuaku sudah tiada dia malah menghianatiku. Aku dengan tulus mencintainya, tetapi ternyata ketulusan cintaku dipatahkan olehnya.
Aku mencintainya mengharapkan kebahagiaan darinya, dia adalah panutanku apalagi dia yang telah menguatkanku disaat orang tuaku meninggal. Dan sekarang aku bingung Entah kepada siapa aku harus bercerita dan entah siapa yang akan menjadi penguat ku jika bahkan orang yang aku percaya orang yang selalu menguatkan aku saja sudah menghianatiku.
Seterah aku aku membersihkan berwudhu tiba-tiba saja ada seseorang yang mengetuk pintu kamar mandi.
Tok tok tok
"Sayang kamu masih di dalam? " Ucap Bagas dari luar.
Aku segera membuka pintu, dia berdiri tepat di belakang pintu yang tidak memegang khusus namun aku mah.
"Aku habis wudhu."
"Maaf,"
"Diajeng, aku … Aku mau keluar sebentar,"
"Mau kemana lagi sih Mas, semalam kamu udah pergi aku juga kapan kamu pulang pulang, emang tadi yang telepon siapa? Masa ke kantor harus pagi-pagi buta kayak gini!"
"Iya jeng ini tuh penting, ada sesuatu yang penting yang nggak bisa aku tinggalin di kantor dan yang mengharuskan aku datang ke kantor pagi-pagi sekali Jeng," ucap Bagas meyakinkanku. Aku menghela napas berjalan mengambil mukena yang berada di atas sofa mengabaikan Bagas.
Aku menggunakan pola mukena dan memulai shalat tanpa menghiraukan Bagas.
"Ya udah aku pergi dulu ya jeng," ucap Bagas seraya meninggalkan tempat ini. Setelah sujud terakhirku dan salam terakhirku, aku menumpahkan tangisku. Kembali, lagi-lagi wanita itu yang lebih penting daripada istrinya sendiri.
Bahkan Bagas rela meninggalkanku sendirian di rumah sakit hanya demi menemui wanita selingkuhannya itu.
Setelah agak siangan dokter datang ke kamarku untuk mengecek keadaan ku bersama susternya. Aku juga baru menyadari ternyata infus ku juga sudah dilepas, mungkin semalam di saat aku tidur, fikirku.
"Bagaimana keadaannya? Sudah lebih baik?" Tanya Dokter padaku.
"Iya, Dok. sekarang sudah lebih baik," ucapku.
Dokter mudah dengan paras tampan, kulit putih bersih, hidung tegak berdiri, matanya kecoklatan dan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak sixpack sepertinya tapi cukup ideal dengan bahu yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat macho dalam pandanganku.
Astaghfirullahaladzim Aku mengagumi dokter itu sementara aku sudah punya suami.
"Oke karena keadaan ibu sudah lebih baik Ibu udah pulang hari ini, perbanyak minum air putih Jangan lupa makan ya Bu," dokter itu menasehatiku seraya tersenyum. Aku membalas senyumnya.
"Ini obat yang nanti ditebus ibu tebus di apotek, ya, Buk." Dokter bernama Ardiansyah itu memberikan kertas kecil bertuliskan resep obat-obatan yang harus aku tebus di apotek dan aku menerimanya.
"Keluarga Ibu ke mana, nggak nemenin ibu?" Pertanyaan dokter itu membuat aku yang awalnya mengagumi dokter itu menjadi di tiba-tiba saja perasaanku menjadi sedih. Namun sepertinya dokter itu mengerti dan tidak bertanya lagi tentang keluargaku di saat melihat air mukaku berubah pedih.
Setelah aku membayar sendiri biaya administrasi pengobatanku dan menebus obat dari apotek aku segera pulang.
Pak Dokter juga mengantarkanku sampai halaman rumah sakit, ia juga dengan berbaik hati membantuku memesan taksi.
Aku sudah menolaknya namun dokter itu tetap mau mengantarkanku sampai halaman rumah sakit dan aku tidak kuasa menolak.
"Terima kasih Dokter,"
"Sama-sama," ucap dokter itu dengan senyum.
Aku tidak tahu kemarin siapa kemarin yang membawaku ke rumah sakit ini, aku sangat bersyukur dan ingin berterima kasih pada orang itu jika aku bertemu dengannya.
Sampai di rumah aku langsung naik ke kamarku membersihkan diri. Setelahnya aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan karena tadi di rumah sakit aku belum sempat sarapan. Tidak ingin sebenarnya aku mau masak karena tubuhku masih lemas tapi aku aku akan meminum obat jadi lebih baik aku masak.
Aku dan Bagas tinggal berdua rumah ini memang tidak besar hanya terdiri dari 2 lantai. Bagas juga dulu menawarkan pembantu untuk membantu membersihkan rumah namun aku menolak dengan tegas jika aku juga bisa membersihkan rumah tanpa pembantu jadilah hanya aku dan Bagas di rumah ini dalam kesepian apalagi saat ini Bagas jarang ada di rumah.
Aku mau masak nasi goreng karena di rice cooker masih terdapat nasi kemarin pagi yang aku masak dan belum basi. Daripada sayang dibuang Lebih baik aku masak saja buat nasi goreng.
Suara wajan dan sendok wajan sedikit mengurangi keheningan dalam rumah itu.

Book Comment (333)

  • avatar
    SajalahImah

    oke baik

    7d

      0
  • avatar
    NibosRipki

    bagus

    17d

      0
  • avatar
    WatiSera

    seru

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters