logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 18 POV Aksara: Dua Cinta

POV. Aksara
Dari pantulan kaca spion, aku melihat Hasna berdiri--dia sempat melambaikan tangan dengan ragu. Aku yakin dia akan menunggu, walaupun aku datang terlambat.
Aku pasti datang, itu janjiku.
Kali pertama melihatnya--di ruang kerja--dia sangat gugup. Kali kedua, saat mengantar kopi dan tanpa interupsi dia mendengarkan keluh kesahku tentang wanita. Wajahnya yang manis terlihat serius saat aku berbicara. Dan, ketika tersenyum dia telah meneteskan satu bulir rasa nyaman di hatiku.
Kali ketiga, saat berani menentangku di ruang gym--dia seperti induk beruang yang menyerang musuh. Sikapnya pada Edlyn yang tulus, membuat hatiku menggelegak. Detak rasa yang lama hilang, bergejolak kembali.
Beberapa kali berhubungan dengan wanita, tetapi tidak pernah melibatkan perasaan. Tidak ada keinginan untuk menetap selamanya.
Jantungku menjadi tidak normal saat melihat Hasna. Dia mampu mengambil seluruh napasku.
"Hei, Pap." Edlyn menyambutku. "Tadi Pak Beny ke sini, dia ngantar cincin pesanan Papa."
Aku menerima kotak persegi kecil dengan beludru warna hitam yang diulurkan Edlyn. Cincin berlian yang mengeluarkan kilau--pastinya akan memikat Soraya.
"Harga cincinnya terlalu mahal dan sangat indah hanya untuk seorang wanita ambisius dan materialistis," ujar Edlyn. "Seratus juta, huff ... rasanya aku tidak ikhlas."
"Kita cuma bersandiwara, Edlyn." Aku mengacak rambut putriku.
"Ya, walaupun bersandiwara, keindahan cincin itu akan ternoda karena dipakai Mama."
"Papa sudah bicara dengan Bu Hasna?"
"Sudah, tidak akan terjadi kesalahpahaman. Papa bisa pastikan itu," jawabku.
"Seandainya Papa lihat waktu Bu Hasna mencium kemeja Papa, lantas kepergok, mukanya merah banget." Edlyn tergelak. "Fix, sejak itu aku yakin Bu Hasna diam-diam menyukai Papa."
Aku tersenyum mendengar ucapan Edlyn.
"Dan Papa kalau Bu Hasna lewat, matanya tidak bisa berkedip. Hahahaha ... kalian berdua saling mengagumi dalam diam. Eaa!"
"Kamu yakin ingin mempermainkan perasaan Mamamu?"
"Seratus persen yakin. Mama pantas menerimanya. Dari awal dia tidak menyayangi kita, jadi untuk apa kasihan?" sungut Edlyn. "Bodohnya aku selalu merindukannya."
"Kamu ikut makan malam?" tanyaku.
"Malas berbagi udara di ruangan yang sama dengan Mama, bisa sesak napas." Edlyn memanyunkan bibirnya lalu berkata, "Papa saja pergi sendiri."
Sakit hati Edlyn tidak dapat dibasuh, tidak akan hilang. Diabaikan, dicampakkan. Rengekan bertahun-tahun ingin bertemu Soraya sudah lenyap.
***
Aku mengusap cermin yang berembun di kamar mandi, bekas luka di dada dan punggung menjadi bukti--betapa dulu aku sangat mencintai Soraya. Kami menikah di usia yang sama, 21 tahun.
Pada malam yang dingin, kami berdua berjalan menyusuri gang yang sempit dan minim penerangan. Perut yang mulai buncit tidak menghalangi Soraya ingin nonton bioskop.
"Seharusnya kita tunda dulu punya anak," keluhnya. "Apalagi kamu belum punya pekerjaan tetap, aku tidak tahan hidup dengan kondisi seperti ini."
"Sabar." Aku mengusap punggungnya. "Aku pasti mendapatkan pekerjaan."
"Kapan, Aksara? Ah, aku nyesel nikah sama kamu, ganteng tapi mis ... argghhh ...."
Emosinya yang tidak stabil mungkin pengaruh hormon, karena sedang mengandung. Tuntutan hidup Soraya tinggi, aku kewalahan memenuhinya. Malam ini pun setelah nonton, dia mengajak makan di restoran. Pulang terpaksa naik bus.
"Calon bayi ini juga merepotkan, bikin sesak nafas, bikin kulit jadi kering."
Manis madu pernikahan hanya diawal, setelah itu hanya omelan dan keluhan yang keluar dari mulut Soraya.
"Benar kata mamaku, jangan buru-buru nikah apalagi menikahi lelaki yang tidak punya kerjaan tetap. Pusingggg ...."
Aku mengembuskan napas satu-satu, menghadapi Soraya butuh kesabaran. Jika aku tanggapi, yang terjadi adu mulut pertengkaran.
Dari balik tembok bak sampah besar muncul dua lelaki sangar, dan satu lelaki muncul di belakang kami.
"Serahkan harta benda kalian." Lelaki dengan anting berderet di satu telinga kiri, menodongkan golok.
"Cepat!"
"Kami tidak punya benda berharga," kataku.
"Dompet, handphone, jam tangan, dan anting yang dipakai wanita itu. Cepat, serahkan!"
Aku menuruti permintaan perampok, melempar dompet yang hanya menyisakan uang lima ribu rupiah, handphone dan jam tangan. Namun, Soraya menolak memberikan antingnya.
"Anting ini harganya mahal, kamu tidak akan sanggup membelinya, Aksara," tolak Soraya.
"Pikirkan keselamatan kita dan bayi yang di dalam kandunganmu," bisikku di telinga Soraya.
"Tidak." Soraya tetap dengan pendiriannya.
"Serahkan atau kalian berdua akan merasakan dinginnya golok!" teriak lelaki itu.
Soraya merapatkan tubuhnya di belakangku.
"Serahkan!" Dengan cepat lelaki pembawa golok bergerak dan menyabet dadaku.
Aku tersungkur, darah segar keluar dari tubuhku. Sialnya, aku lelaki yang tidak punya ilmu bela diri. Soraya menjerit ketakutan, dia duduk bersimpuh di sampingku.
"Aksara." Air mata mulai merembes dari mata Soraya.
"Serahkan antingnya, jalang!" Lelaki dengan jaket kulit menarik tubuh Soraya.
"Jangan sentuh istriku!" Dengan susah payah aku berdiri menggapai Soraya, tapi, satu sabetan golok mengoyak kulit punggung. Aku ambruk tepat di atas tubuh Soraya, mendekapnya. Tendangan membabi dilayangkan di bagian punggung. Semakin perih.
Kali ini, aku tidak berdaya. Menggelepar antara hidup dan mati.
"Papa!"
Suara Edlyn menarikku dari dunia masa lalu. Aku menarik napas. Karena peristiwa itu aku ikut bela diri pencak silat, setidaknya aku bisa melindungi diriku dan orang terdekat.
"Sebentar, Lyn. Papa baru selesai mandi," sahutku, meraih handuk.
"Papa, aku izin mau nonton konser musik yang di selenggarakan teman-temanku. Aku akan pulang sebelum jam sepuluh malam," kata Lyn begitu aku keluar dari kamar mandi.
"Jangan pakai baju yang terbuka, ketat dan pendek."
"Sip. Love you, Pap." Edlyn berjinjit kemudian mencium pipiku. Dia keluar dari kamarku dengan bersenandung kecil.
Putriku tumbuh tanpa seorang ibu, ia ditinggalkan begitu saja bersamaku.
Aku tidak habis pikir, kenapa Soraya tidak merindukan Edlyn sama sekali. Biasanya seorang ibu tidak bisa hidup tanpa anaknya.
***
Soraya terlihat memasuki restoran, dia mengenakan dress warna peach, memakai stiletto hitam. Rambutnya yang panjang tergerai. Dia memang cantik. Kecantikan yang dulu membuatku jatuh hati.
"Sudah lama menunggu?" tanya Soraya.
"Menunggumu satu abad pun aku rela," sahutku seraya berdiri, menarik satu kursi untuk Soraya. "Silakan."
"Terima kasih, Aksara."
"Kamu cantik sekali malam ini,"pujiku.
"Kamu juga tidak banyak berubah." Soraya tampak tersipu.
Soraya dengan mudah masuk perangkapku.
"Bagaimana dengan proses perceraianmu dengan Mandala?"
"Berjalan dengan lancar, mudah-mudahan cepat selesai. Dan kita bisa memulai hubungan yang baru," harap Soraya.
"Aku punya hadiah untukmu." Aku meraih tangan kiri Soraya, memasang cincin di jari manisnya.
"Aksara ...." Binar-binar bahagia terbit di mata Soraya. "Indah sekali. Aku mencintaimu, Aksara."
Aku tahu kamu mencintai cincin itu, bukan aku. Diriku tidak berarti tanpa barang mewah. Kamu masih Soraya yang lama.
"Satu lagi." Aku mengeluarkan kotak kecil dari saku jas. "Aku mengganti anting yang dulu diambil paksa perampok."
"Oh, Aksara." Senyum merekah dari bibirnya yang merah. "Aku bahkan sudah lupa."
"Aku masih ingat model antingnya."
"Aksara, maafkan aku yang dulu," ucap Soraya. "Aksara, kamu masih mencintaiku setelah apa yang kulakukan?"
Aku mengangguk. "Aku selalu menunggumu, Soraya. Aku yakin kamu kembali. Sekarang kita lupakan masa lalu. Oke?"
"Mandala juga akan kembali pada Hasna," ujar Soraya kemudian menyesap vanilla latte.
"Oh, ya?"
"Mereka kembali dekat dengan karena Amanda, Mandala sering berkunjung ke rumah Hasna."
Ternyata aku punya saingan, tetapi aku yakin Hasna tidak luluh dengan rayuan Mandala. Walaupun begitu aku merasa cemburu.
Soraya menggenggam tanganku. "Aku janji jika kita menikah, aku akan menjadi istri dan ibu yang baik. Aku akan menebus semua kesalahanku."
Aku tertawa di dalam hati. Hah, istri dan ibu yang baik? Soraya hanya mencintai dirinya sendiri.
"Aku ingin kamu memecat, Hasna," pinta Soraya.
"Apa alasannya?"
"Karena aku tidak suka Hasna berada di dekatmu."
"Aku tidak pernah memecat pegawai karena alasan pribadi," tandasku. "Kamu seorang model yang wara-wiri di sampul majalah, iklan dan sinetron seharusnya kamu mengerti sikap profesional."
"Hasna hanya seorang ART." Suara Soraya terdengar marah.
"Dia juga manusia yang harus dihargai."
Soraya, Soraya ... bagiku Hasna bukan seorang ART, ia perempuan tangguh yang bisa bertahan di kejamnya kehidupan dunia. Bukan perempuan yang mengandalkan kecantikan untuk menarik kumbang liar.
***
Aku berdiri di depan jendela ruang kerja, mengamati tiap tetes hujan di bulan Februari.
"Pak Aksara." Suara Lenni bersamaan dengan suara ketukan pelan di pintu.
"Masuklah," sahutku.
"Pak Aksara ada perlu apa memanggil saya?" tanya Lenni, wajah perempuan setengah baya yang sudah bekerja di rumahku selama 8 tahun itu--tertunduk takut.
"Lenni, aku memberimu libur selama satu bulan. Gajimu tetap utuh. Bukan hanya kamu yang libur, Pak Wirjo dan yang lainnya juga libur," jelasku.
Bibir Lenni mengerucut, dia sepertinya hendak mengajukan pertanyaan.
"Jangan bertanya mengapa atau kenapa, nikmati waktumu," tandasku. "Kembalilah satu bulan lagi."
"Baik, Pak."
"Di mana Hasna? Suruh dia ke sini."
"Baik, Pak." Lenni meninggalkan ruang kerja.
Aku berjalan beberapa langkah lalu duduk di tepi meja kerja, menghadap pintu. Sebentar lagi Hasna akan muncul. Suara langkah kakinya terdengar bagai dawai yang indah.
"Pak Aksara memanggil saya?" tanya Hasna.
"Mulai besok tidak perlu masuk kerja, semua pegawai aku beri libur satu bulan, termasuk kamu."
"Syukurlah, saya tidak suka melihat Soraya bergentayangan di rumah ini," sahut Hasna yang masih berdiri di dekat pintu.
"Aku memang membiarkan dia bergentayangan sesuka hatinya, setelah itu aku ...."
"Oh, jadi ini yang Pak Aksara maksud dengan urusan yang harus diselesaikan?" sela Hasna, jarinya membentuk tanda kutip.
"Yaa, begitulah kira-kira."
"Aku tidak suka dia dekat Pak Aksara, jangan-jangan nanti malah kecantol lagi pada Soraya. Terus beneran rujuk."
"Panggil aku Aksara." Aku mendekati Hasna. "Bukankah kita sepasang kekasih?"
"Sejak kapan kita jadi kekasih?" Mata bulat itu mengerjap. "Bukannya Pak Aksara akan datang tiga minggu lagi?"
"Sejak hari ini."
Pipi itu semakin bersemu merah.
"Eh, Pak Aksara kenapa dekat-dekat?" Hasna mendorong bahuku, dia melangkah mundur sampai ke dinding.
"Memang susah panggil namaku saja, pak pek pak pek terus." Kedua tanganku menempel di dinding, sehingga Hasna terkunci.
Hasna memalingkan wajah, napasnya terdengar memburu. Pasti jantungnya berdetak lebih cepat. Jarak wajah kami berdua hanya menyisakan udara untuk lewat.
"Pak Aksara ...."
"Panggil Aksara."
"Baiklah. Aks-sara, bisakah kau menjauh?"
"Aku tidak mau," tolakku. "Tatap wajahku dulu, setelah itu akan menjauh."
Perlahan wajah Hasna menghadapku. Aku bisa merasakan embusan nafasnya yang hangat.
"Papa, Bu Hasna ...." Edlyn mendadak muncul. "Oke, oke, aku balik badan, tidak boleh lihat orang pacaran."
Aku menjauh dari Hasna. Senyum kikuk tercetak di bibir Hasna.
"Eh, Papa tidak boleh macam-macam sama cewek." Edlyn menarik lenganku. "Boleh dekat dengan Bu Hasna kalau sudah halal. Mengerti, papaku sayang?"
"Siap, tuan putri," sahutku.
Edlyn berpindah mendekati Hasna. "Apa boleh aku memanggil Bu Hasna dengan sebutan Mama?"
"Boleh," jawab Hasna.
"Terima kasih." Edlyn memeluk Hasna. "Aku punya Mama, hore!" teriaknya.
Dua perempuan, dua cinta, menempati ruangan yang berbeda, tetapi di dalam jiwa yang sama.

Book Comment (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters