logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. MANIK BIRU YANG MENGHIPNOTIS PELAYAN SETIA

"PERGI DARI HADAPANKU!" hardik Barbara pada menantunya yang pipinya memerah tapi tak mengeluh.
Tidak ingin menambah kalimat menyakitkan yang pasti akan jelas diingat Rei. Cyntia, memilih berdiri setelah menatap Hans yang melepas cengkraman tangannya tanpa simpati ataupun penghiburan. Ia lalu pergi dengan menggendong Rei yang diam, ketakutan dan erat memeluknya dengan terus menyembunyikan wajah.
Keduanya keluar dari rumah utama, masuk ke dalam satu-satunya tempat yang dipantaskan untuknya dan Rei tidur di rumah tempat mereka tinggal ini.
"Mommy?" Ucap Rei saat mendengar pintu kamar mereka tertutup.
"It's ok, Darling, everyting is ok," ucap Cyntia meski matanya tergenang air.
Tangan kasar Cyntia mengusapi punggung Rei yang mendongak lalu memeluk mommy-nya makin erat.
'Ok' artinya Rei tak boleh bertanya lagi atau sang mommy akan menunjukan wajah sedih yang sesungguhnya tak ingin Rei lihat. 
Dalam kamar ini, ia bahkan harus berbagi tempat dengan beberapa barang yang belum akan digunakan dalam gudang yang menjadi tempatnya mengistirahatkan badan berdua Rei.
Cyntia yang sudah berada dalam ruangan sempit, terus mengusapi punggung Rei yang ketakutan, "mommy ok, Rei, momy ok," ucapnya berkali-kali pada sang putra kecil yang masih menyembunyikan wajah takutnya dan baru merasa tenang saat bunyi 'klik' terdengar.
Cyntia, selalu mengunci gudang tempatnya tidur, ia bahkan menggeser beberapa barang untuk merasa lebih aman sebagai penahan pintu. Cyntia tak ingin ada orang yang masuk tiba-tiba dan berniat buruk padanya. Apalagi, saat melihat tatapan sang mertua lelaki yang memang selalu menatapnya lapar. 
"Mommy ...," Rei yang mendongak melihat pipi Cyntia merah, rambut mommy-nya bahkan sangat berantakan berkat tangan daddy. Mata bulat Rei langsung basah dengan tangan mengusap pipi Cyntia, meskipun belum paham Rei tahu pipi Cyntia sakit, "pain, go. Pain, go."
"Terimakasih, Rei, tangan Rei membuat pipi mommy hangat, sangat hangat ... thank you, Darling"
Wajah bulat Rei jadi berbayang berkat mata Cyntia yang tergenang air. Sekuat apapun dirinya berusaha menahan, pertahanannya akhirnya jebol. Ia menangis dengan memeluk Rei begitu erat, seolah jika ia tidak melakukan itu, ia akan kehilangan kewarasannya. Kehilangan pijakannya. Kehilangan apa yang membuatnya bertahan. 
Gadis bodoh yang bahkan tak tahu jika nasib membawanya pada kehidupan yang begitu berbeda dengan apa yang ia impikan ini, hanya menangis. Membagi kesedihan dan kesakitannya dengan satu-satunya bakal manusia yang membuatnya bertahan dalam rumah bak neraka dunia yang membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya dan tak bisa kembali. Seingin apapun dirinya.
Karena ia yang sudah terusir tidak mungkin kembali pulang ke rumah dengan pilar-pilar tinggi dengan pelayan tua yang senyumnya begitu ramah, 'kakak, kakak, kakak,' panggil Cyntia tanpa suara dan semakin memeluk Rei dalam dekapan.
Kruyuukkk....
Suara protes perut Rei, membuat Cyntia menatap putranya. Meski ada perasaan miris, bibirnya tersenyum dengan airmata yang masih mengalir. Dikucupinya pipi Rei yang sedang erat di pelukan dan sekali lagi dikecupnya pipi Rei satu-satu, "lihat, apa yang mommy punya untukmu, Rei." 
Rei yang menatap malu sang mommy, matanya melebar melihat dua tangkup roti tawar dengan selai coklat di dalamnya. Bukan potongan ayam yang membuat sang putra tak bisa makan malam ini.
"Mommy, maukah Mommy makan denganku?" tanya Rei tak urung membuat Cyntia tersenyum lalu mengangguk dan menggigit roti yang Rei sodorkan. 
"Yummy," ucap cyntia dengan senyum meski matanya basah dan sekali lagi mengecup sang putra yang mengunyah makan malam mereka dengan lahap.
"Lagi, Mommy," ucap Rei menyodorkan roti yang Cyntia gigit sedikit.
"Giliranmu, Darling."
"Eng!" Angguk Rei semangat.
Rasanya, tak ada makanan yang bisa mengalahkan kenikmatan rasa roti berlapis coklat yang sedang Cyntia kunyah. Tidak foie gras tidak juga masakan dari Michelin hotel yang dulu sering ia kunjungi maupun chef yang selalu bisa memenuhi rasa penasarannya. Apalagi, senyum lebar Rei yang senang mommy-nya malam ini mau makan roti bersamanya.
Bocah kecil itu, senyumnya begitu lebar meski tak bisa bersuara keras. Ia mengerti, tak seharusnya suara mereka terdengar. Apalagi, jika ada telinga yang mendengar mereka sedang berbagi setangkup roti. Itu akan jadi masalah besar. Sangat besar! terutama untuk Mommy-nya.
Sementara di dalam rumah, suara sendok dan garpu terus beradu di antara kesenangan yang membuat tembok malu untuk sekedar menjadi saksi dua belas potong ayam yang akhirnya ludes bersama lauk pauk yang ingin manusia-manusia itu masukan ke dalam perut.
Tidak ada potongan ayam yang lari dari piring ataupun kulkas. 
"Melakukan ini sesekali benar-benar membuatku bisa melepaskan stresku." 
"Kan, sudah lama kukatakan padamu, Mom. Menyalurkan stres pada sesuatu yang bahkan tak akan melawan sungguh menyenangkan," ucap Catlyn membuat satu lagi wanita berambut pirang dalam ruang makan itu tersenyum dengan seringaian senang.
Hans hanya memakan nasinya dalam diam. Tidak melihat, tatapan sang ayah yang matanya berkilauan saat mengingat wajah Cyntia yang memeluk erat tubuh Rei. Membayangkan dirinyalah yang didekap Cyntia, bukan bocah kecil yang membenamkan diri dalam dada perempuan mungil itu.
Sungguh manusia gila yang selangkangannya mengeras!
*
Rei menatapi etalase toko begitu lekat. Mata bulat nan jernihnya memandangi kereta mainan yang melaju di atas rel melingkar dengan lampu kelap-kelip dan segala miniaturnya. 
Malam ini, ia diajak mommy mengantarkan dokumen daddy yang tertinggal dan ia, dengan patuh menunggu di depan toko. Sementara Cyntia masuk ke dalam bar, membawa map coklat yang didekapnya seolah itu akan jatuh tak sengaja atau akan ada pencuri yang meloloskan satu lembarnya mengira dalam amplop itu berisi lebaran uang. 
Cyntia tahu, bar yang tangganya sedang ia turuni bukanlah tempat yang pantas untuk ia masuki bersama Rei, karena itu ia mewanti-wanti Rei agar tak pergi ke manapun atau mau saja diajak jalan orang baik yang memberinya candy ataupun coklat. 
Sekali lagi, mata Cyntia menoleh pada putranya yang masih memandangi toko mainan dengan penerangan super terang dihiasi lampu kelap-kelip yang pasti membuat mata Rei berbinar. Tak ingin lepas. Bahkan, Cyntia bisa menebak jika Rei pasti mau membawa satu lampu itu pulang. Bisa yang warna hijau atau yang merah, bisa juga yang kuning. Tapi, hal itu tentu tak akan pernah putranya ucapkan.
Putra kecilnya itu, selalu menahan dirinya untuk meminta apapun dan itu menyakitkan.
"Putramu tak akan ikut siapapun, Cyntia!" seolah mengingatkan diri, langkah Cyntia makin cepat menuruni tangga meninggalkan putra kecilnya duduk memandangi kereta mainan yang melaju tanpa mengedipkan mata bulatnya yang biru jernih.
Kling! Kling!
Bunyi bell yang terdengar dari toko mainan membuat mata Rei menatap wanita yang masuk ke dalam toko tempat kereta melaju. Entah, apa yang dibicarakan pria berseragam rapi pada wanita yang menunjuki kereta mainan yang sejak tadi Rei pandangi.
"Akh...!" seru Rei berdiri dari tempatnya duduk, saat melihat kereta yang begitu menarik matanya berhenti bergerak tak lama setelah wanita itu mengatakan sesuatu. Bocah kecil yang kakinya melangkah begitu saja itu, mendekat pada keretanya yang dipisahkan satu persatu.
Rei lupa janjinya pada Cyntia untuk tak menjauh dari bangku panjang apapun yang terjadi.
"What you looking at, Young Man?" suara rendah yang ramah itu membuat Rei mendongak pada lelaki tua yang badannya masih begitu terjaga. Tegak, tinggi dan menjulang. Namun senyumnya begitu ramah.
Manik mata biru jernih Rei membuat pria yang ubannya tertutup topi, diam. Ia Memandangi bocah kecil yang seluruh dirinya seolah ingin menembus kaca etalase yang tubuh kecilnya tempeli.
Kling! Kling! 
Bunyi pintu yang berbunyi membuat tak hanya pria tua itu, menoleh. Tapi, juga bocah kecil yang menatap lelaki berpakaian rapi yang berlari mendekati mereka. Meski si wanita yang keluar bersamanya hanya menatap pria tua di samping Rei lalu masuk ke dalam mobil yang terparkir.
"Selamat malam, Rob."
"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."

Book Comment (63)

  • avatar
    WarningsihPuji

    24569

    3d

      0
  • avatar
    EfendiErpan

    novel gratis download

    19/08

      0
  • avatar
    Ayu Setia Ningsih

    SERU

    18/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters