logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 6

"Tadi kata Dokter Raihan gimana, Mas? Sakit apa katanya?" tanyaku 'tak sabar ingin segera tahu.
Kutatap lekat Mas Haris. Terlihat gurat kesedihan di wajahnya. Dia 'tak langsung menjawab pertanyaanku. Lalu menatapku.
"Tadi kata Dokter Raihan, Hanif, asam lambungnya naik. Makanya tadi sempat mengeluh sesak nafas."
"Kok bisa?" Suaraku agak meninggi karena terbawa emosi.
Mas Haris hanya diam.
"Ck! Lihatlah, Mas!" Bibirku bergetar, 'tak sanggup lagi berkata-kata. Air mata ini pun akhirnya luruh juga.
***
"Hanif sayang, ini Ibu, Nak." Kubelai lembut rambutnya yang terasa basah oleh keringat.
"Hanif ingin sama Ibu ...." Tangisnya pecah sambil memegang erat tanganku.
"Iya, Nak. Hanif sama Ibu," jawabku berusaha menenangkannya. Kupeluk erat hingga dia merasa tenang. Mas Haris pun menggenggam jemari Hanif, seolah ingin memberinya kekuatan.
Setelah minum obat yang diberikan perawat, Hanif kecilku tertidur pulas. Mas Haris beranjak duduk di sofa. Aku memberanikan diri duduk di sampingnya. Kuteguk lagi air mineral yang diberikannya tadi.
"Mas, pertimbangkanlah kembali keputusanmu untuk menceraikan aku," ucapku penuh harap sambil menatap wajahnya dari samping.
"Kalaupun sudah tidak ada tempat bagiku di hatimu, ingatlah anak-anak kita." Air mata yang kutahan meleleh lagi.
Laki-laki berambut lurus itu menatap sedih padaku. Matanya terlihat berkaca-kaca.
"Aku ... aku tak bisa menjawab sekarang, Fiza."
PoV Haris
"Haris, Ibu merestui pernikahanmu bukan berarti menerima Fiza sebagai menantu. Camkan itu!" ucap Ibu dengan nada tegas dan pandangan yang tajam ke arahku. Perkataan singkat setajam pedang itu diucapkan tepat di hari bahagiaku, tujuh tahun lalu.
"Dan mulai sekarang, kamu tidak usah lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan mendiang ayahmu. Semua akan Ibu serahkan kepada Rani, adikmu." Ibu masih menatapku dengan tajam hingga aku tak mampu lagi memandang kedua bola matanya.
"Baiklah, jika memang Ibu menghendaki semua itu. Terima kasih sudah berkenan merestui pernikahanku," jawabku mengalah. Aku menghela napas panjang, tak mengerti dengan segala yang Ibu mau.
Sejak saat itu, kegalauan selalu hadir dalam setiap waktu. Menghiasi detik demi detik yang berlalu. Rasa khawatir, takut dan ragu selalu mengahantui setiap langkahku.
Semua telah kuceritakan pada Fiza, istriku. Dengan sabar dan penuh pengertian dia tetap menerima perlakuan tak wajar Ibuku. Meskipun sama seperti aku, dia tak bisa memahami mau Ibu.
"Nggak apa-apa, Mas. Kita terus berdoa saja. Semoga Allah segera melembutkan hati Ibu." Fiza menghiburku dengan mengelus punggungku.

"Aku minta maaf ya, Mas. Gara-gara aku, Mas Haris jadi mengalami semua ini." Mata Fiza berkaca. Ditundukkan wajahnya, tak berani menatapku.
"Ini bukan salahmu, Sayang." Aku merengkuhnya dalam pelukan dan mengecup ujung kepalanya dengan penuh cinta.
Setelah menikah, tak pernah sekali pun Ibu menjenguk ke rumah kami. Dari masa tinggal di rumah kontrakan hingga mampu membeli rumah sendiri. Bahkan Fiza melahirkan cucu pertamanya pun, belum mampu membuat Ibu menerima Fiza sebagai menantu.
Hanya Rani dan suaminya saja sesekali datang ke rumah kami. Menjenguk Hanif, keponakannya. Membawakan oleh-oleh dan mainan. Agar segera ketularan mendapat momongan, menurutnya. Di usia pernikahannya yang ke-5, Allah memang belum mengkaruniakan keturunan pada mereka.
Sikap aneh Ibu tak hanya sampai di situ. Setelah anakku yang kedua, Alya diketahui menderita kelainan, di situlah Ibu meminta sesuatu yang sangat berat aku lakukan. Menceraikan Fiza. Aku sangat terpukul dengan permintaan yang satu ini.
Separuh jiwaku ada di Fiza. Dialah yang menemani di berbagai situasi hati. Dua buah hatiku pun telah lahir dari rahimnya. Dan kini, aku harus menceraikannya?
"Ibu, tolonglah mengerti. Aku tidak bisa menceraikan Fiza. Dia sudah menjadi bagian hidupku. Aku sangat mencintai Ibu, tapi juga Fiza dan anak-anakku," pintaku sambil bersimpuh di kakinya. Namun, perempuan paruh baya yang kupanggil ibu itu tetap bergeming.
Aku bangkit. Kukecup kening dan mencium kedua tangan orang yang telah membesarkanku itu. Orang yang telah mencurahkan segala daya dan membanting tulang untuk menghidupi keluarga, sepeninggal ayah dalam sebuah kecelakaan. Setelah itu aku segera berlalu.
Dulu ketika Ayah masih hidup, kehidupan kami berkecukupan. Tetapi setelah Beliau meninggal, kehidupan keluarga kami sangat kekurangan. Perusahaan warisan ayah dikelola pihak keluarga Ayah, dengan alasan Ibu tidak akan mampu melakukannya.
Awal-awal bulan setelah berpulangnya Ayah, semua masih berjalan sesuai yang dijanjikan. Tetapi setahun setelah itu, keluarga kami tak pernah lagi menerima apapun dari pegelolaan perusahan itu. Berulang kali Ibu meminta penjelasan dan bagian kami, tapi tidak pernah digubris lagi. Sejak saat itu, Ibu banting tulang menghidupi keluarga kami seorang diri.
***
Suatu sore yang cerah, tanpa diduga Paman Tony yang sekarang memimpin perusahaan milik Ayah datang ke rumah. Menyerahkan kembali aset perusahaan yang selama ini dikuasai adik-adiknya.
Berbeda dengan adik Ayah yang lainnya, Paman Tony orangnya baik. Dulu ketika Ibu meminta hak atas pengelolaan perusahaan milik almarhum Ayah, Paman Tony lah satu-satunya orang yang mendukung Ibu. Tetapi hal itu selalu kalah dengan kemauan adik-adik ayah yang lain.
"Tapi maaf, sekarang kondisi perusahaan sedang dalam keadaan kritis. Harus segera melunasi beberapa hutang dengan jumlah besar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat," jelas paman sambil mengeluarkan selembar kertas dari map warna hijau.
"Silakan tanda tangan di sini, Dik!"
Paman menunjukkan bagian yang harus ditandatangani. Namun, Ibu tidak segera menyambut. Dahinya terlihat berkerut. Sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu.
Beberapa detik kemudian, Ibu mengambil lembaran itu dan membacanya dengan teliti. Lalu menandatanganinya. Dan itu artinya pengelolaan perusahaan Ayah kembali kepada kami, ahli warisnya yang sah.
Setelah saat itu, pagi, siang, malam kami bekerja, dan berpikir keras untuk berusaha menyelamatkan kondisi perusahaan yang sedang kritis itu. Hingga perusahaan Ayah sedikit demi sedikit bangkit dan berkembang pesat seperti saat ini.
***
[Ris, segera talak istrimu!] tulis Ibu di suatu waktu mengingatkan aku akan permintaannya. Namun pesan-pesan yang senada dari Ibu selalu kuabaikan.
Hingga suatu siang Ibu datang ke kantorku untuk secara khusus membicarakan masalah ini.
"Haris mohon, untuk kali ini saja. Jangan paksa Haris, Bu. Aku 'tak akan sanggup." Aku menggenggam kedua tangan Ibu.
"Segera lakukan, Ris! Apa kamu mau menjadi anak durhaka? Atau jika kamu tetap tidak mau menceraikan istrimu, maka bersiaplah ... kamu 'tak akan bisa melihat ibumu lagi di dunia ini!" Ibu melepaskan genggaman tanganku dengan kasar. Matanya menatapku dengan tajam.
Jantungku seolah berhenti berdetak mendengar apa yang baru saja dikatakan Ibu. Aku terdiam, tak mampu mengucap apapun setelah itu.
Ini sungguh delima bagiku. Kutimbang dari berbagai sisi. Dan akhirnya kuputuskan untuk menuruti kemauan ibu. Menceraikan Fiza, demi sebuah ketaatan pada orang yang telah melahirkan dan berjuang untuk membesarkanku itu.
***
Bersambung

Book Comment (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters