logo
logo-text

Download this book within the app

Demi Ketaatan, Aku Diceraikan

Demi Ketaatan, Aku Diceraikan

Dhiya Riz


Part. 1

"Bismillahirrahmanirrahim.
Nurhafiza Aulia Rahma binti Ramlan Santoso, hari ini jam 5 sore kamu saya talak!" Kata-kata itu meluncur dengan mudahnya, memicu asam lambungku semakin kuat hingga terasa mual.
"Ta--tapi apa salahku, Mas?" tanyaku cepat sambil memegang erat kedua tangan lelaki itu. Diam. Tak ada jawaban.
"Apa?" teriakku sambil menggoyangkan bahunya. Mas Haris menatapku sejenak dan berusaha melepaskan kedua tangan ini.
Badan terasa lunglai dan pening di kepala menyerang tiba-tiba. Pandanganku kabur dan akhirnya gelap semua.
***
"Fiza, aku mau bicara di kamar," kata Mas Haris sambil menatap dari kejauhan.
"Iya, Mas. Tunggu sebentar ya, cuci tangan dulu," jawabku sambil meninggalkan pekerjaan dapur untuk menyiapkan makan malam.
Kulihat Mas Haris sedang duduk di sofa kamar. Wajahnya serius dan agak tegang.
"Ada apa Mas, kok rupanya penting sekali?" tanyaku sambil menyentuh lembut bahu kirinya. Tapi tanganku ditepisnya dengan kasar. Hingga diri ini hampir melompat kaget melihat responnya.
"Pakailah gamis dan kerudungmu!" lanjutnya datar tanpa menatapku.
Aku semakin heran dengan sikap tak biasanya. Sejenak kupandangi lelaki halalku sejak tujuh tahun yang lalu itu. Tak pernah seserius seperti saat ini. Dan tak pernah ada kata pendahuluan "aku mau bicara" jika akan membicarakan sesuatu. Biasanya mengalir spontan saja.

Tanpa tanya, kuturuti pintanya. Gegas aku mengayunkan langkah menuju lemari di pojok kamar. Mengambil gamis terindah yang ada. Warna biru muda dengan kerudung satin senada. Kuingat Mas Haris sangat suka jika aku memakainya. Biasanya. Entah kali ini.
"Fiz, kamu terlihat sangat anggun dengan kerudung itu," pujinya sambil menyentuh pipi kiri ini dengan penuh cinta di suatu waktu. Hingga hati ini mengembang, berbunga-bunga dan tersipu malu. Ah, indahnya ....
***

Kubuka kedua mata yang masih terasa berat ini perlahan. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tertuju pada pajangan dinding yang sudah sangat kuhafal.
Oh, di kamar ... batinku.
Kumiringkan badan mencoba bangun untuk meninggikan bantal sandaran. Namun apa daya, pening dan lunglai masih menguasai raga. Sejenak aku memejamkan mata. Mengingat kembali peristiwa yang baru saja terjadi. Ya, aku ingat. Mas Haris telah menalakku.
"Syukurlah, kamu sudah sadar," ucap Mas Haris yang tetiba sudah berdiri di tepi ranjang.
"Kamu boleh tinggal di rumah ini selama kamu mau." Suaranya terdengar agak parau.
"Kenapa, Mas?" tanyaku lirih hampir tak terdengar. Mata ini mulai mengembun.
"Apakah sudah tak ada lagi rasa cinta untukku? Bagaimana deng ...," tak mampu lagi meneruskan tanya dalam dada. Bulir bening yang satu per satu mengalir di pipi kini menjadi isak tangis yang tertahan.
"Ini nafkah iddahmu," ucapnya sambil meletakkan sebuah amplop coklat di meja sofa. Seolah tak peduli dengan tanyaku yang menanti jawaban.
"Aku akan pergi. Hanif aku bawa. Alya bersamamu. Jaga baik-baik dia!" ucapnya tanpa jeda. Kali ini sambil menatap bocah mungil usia 2 tahunan yang masih lelap di sampingku.
"Pergi kema--" Belum selesai tanyaku, Mas Haris sudah melangkah cepat menuju pintu sambil membawa koper baju yang telah disiapkan.
Kukejar dengan tenaga yang tersisa. Tapi badan yang masih lemah ini kalah cepat untuk menyusulnya.
Terdengar pintu kamar dikunci dari luar. Kugedor dengan kuat. Memanggil namanya berulang kali. Sepi. Tak ada sahutan.
Kakiku terasa lemas 'tuk menopang badan. Merapat ke pintu untuk mencari sandaran. Lalu jatuh terduduk memeluk lutut. Kupukul-pukulkan kedua tangan di lantai kamar untuk mengeluarkan kesedihan di dada. Kuremas kasar kerudung yang sudah tak beraturan.
"Apa yang terjadi, yaa Rabb?" teriakku tertahan sambil menelangkupkan kedua tangan ke wajah. Tangisku pecah makin 'tak karuan.
Masih belum mengerti kenapa talak itu datang tiba tiba. Tak ada angin tak ada hujan. Padahal rumah tanggaku baik-baik saja. Tak ada masalah apapun. Bahkan kemarin sore Mas Haris masih menyempatkan mengajak aku, Hanif dan Alya jalan-jalan.
Dan semalam ... semalam kami masih bercengkerama berdua. Mengurai cerita tentang perjalanan bersama. Suka dan duka. Hingga akhirnya terlena dan hanyut dalam hangatnya samudra cinta.
Kuarahkan pandangan ke luar jendela. Gerimis makin deras. Menambah sendu suasana hati yang kini pilu.
Bagaimana aku bisa menghadapi hari-hari tanpamu, Mas? Aku membatin sambil menunduk dalam-dalam.
Ini akan terasa sangat-sangat berat bagiku. Kuambil nafas panjang, mencoba untuk berdamai dengan keadaan.
Di antara isak tangis yang masih saja lepas, terdengar Alya menangis. Meraba sisi kanan dan kirinya. Dan tangisnya makin keras tatkala 'tak menemui sosok yang dicarinya.
Kuseka air mata yang masih membasahi pipi. Segera beranjak menuju ranjang. Meraihnya dalam gendongan. Kuayun pelan. Hingga tubuh mungilnya menggelendot dengan nyaman.
Seiring dengan suara adzan yang terdengar samar, terasa mengalir sebuah kekuatan.
"Aaawgh!" Aku memekik kesakitan.
Segera kupencet kuat hidung mungil Alya. Gigitan di pundakku segera dilepaskannya. Kubuka bajuku bagian pundak kiri. Merah. Berbekas deretan gigi susu putri bungsuku.
Begitulah yang sering kualami. Setiap kemarahan, ketidaknyamanan dan keinginan yang tidak tersampaikan selalu Alya ungkapkan dengan gigitan dan pukulan.
Kenapa? Ya, karena dia "istimewa".
Kusimpan si mungil di ranjang dan mengambilkan beberapa mainan kesukaannya. Lalu bergegas ke dapur membuatkan segelas susu coklat hangat kesukaannya.
Dia kubantu memegangi gelas minumnya. Perlahan, sedikit demi sedikit. Masih tersisa rupanya.
Mungkin sudah kenyang, batinku sambil mengelap sisa susu di ujung mulutnya dengan selembar tisu basah.

"Ibu salat dulu ya, Nak!" Aku berbisik lembut. Dia hanya diam, 'tak ada tanggapan. Dia terus asik memainkan boneka ikan kecilnya.
Aku melangkah ke kamar mandi. Mengambil air wudhu untuk menunaikan salat Maghrib. Sebelum ke ruang sholat samping kamar, sejenak kutengok lagi untuk memastikan dia aman dan nyaman.
Kugelar sajadah biru di tempat favoritku. "Allahu ak--"
Plak! Plak! Plak!
"Owh!"
Kubatalkan takbiratul ikram-ku. Gegas berlari menuju kamar. Kupegang kuat kedua tangannya yang memukul-mukul kepalanya. Memeluknya erat dan kubisikkan dengan lembut di telinganya. "Alya sayang, tidak ya ...." Berulang kuucapkan, hingga tangannya memelukku erat dan tidak lagi memberontak.
Kuelus punggung dan kepalanya. "Ibu salat dulu ya, Nak ...." Aku mengecup keningnya. Perlahan pelukannya dilonggarkan dan mengecup balik keningku. Itu menandakan dia siap untuk ditinggalkan.
Kuambil ponsel warna putih di atas meja sofa dan memutar murottal untuk "teman" Alya. Terlihat dia menikmatinya sambil rebahan di atas ranjang. Sekali lagi kupastikan dia aman dan nyaman. Setelah itu baru kutinggalkan.
Seusai salat, aku mengintipnya dari kejauhan. Masih tenang, batinku. Kulanjutkan dengan zikir dan membaca Al-Qur'an. Air mataku meleleh lagi. Teringat kejadian tadi sore. Kejadian yang sangat singkat, tapi akan berpengaruh seumur hidup. Ya, talak itu!

Kuhentikan bacaan kitab suci dan memeluknya erat. "Yaa Allah, beri hamba kekuatan .... " Air mata ini tumpah tak tertahan.

***
Bersambung

Book Comment (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters