logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Papan Tulis

Papan Tulis

Hestia Beng


Bab 1

Kadang musik lebih banyak berbicara dibandingkan kata-kata, dan kurahap semua kata bisa menjadi musik.
☆¤☆
SMA GENERASI BANGSA
Pada tahun ajaran baru ...,
"Ruangan ini gak terpakai, kamu bisa menggunakannya untuk membentuk klub yang kamu inginkan itu." ujar seorang guru berkumis tebal.
Sementara siswa kelas 10 yang baru masuk SMA itu mengangguk patuh. "Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mengizinkan saya membangun klub baru."
"Sama-sama." Guru bernama Surya itu tersenyum, tapi sedetik berikutnya, ia melemparkan tatapan tajam.. "Tapi ingat, jangan kecewakan kepala sekolah. Bentuk klub yang bagus dan berprestasi."
"Siap, Pak!" Siswa berkacamata itu berseru semangat.
Setelah berbasa-basi singkat dengan murid barunya, Pak Surya pun meninggalkan muridnya yang tetap berdiri di ujung koridor sekolah yang sepi.
Siswa dengan kacamata berbentuk lingkaran yang bertengger di hidungnya itu menghela napas seraya tersenyum. Syal hijau zambrud melilit lehernya. Ia menyapu pandang ke ruangan berukuran sedang yang kosong dan sedikit berantakan. Ada beberapa kursi yang tergeletak di lantai yang berdebu.
Laki-laki itu pun bertepuk tangan sekali sebelum akhirnya mulai merapikan ruangan. "Yosh!"
Dimulai dari merapikan tata letak kursi menjadi ala kafe di sudut ruangan dekat jendela. Menyapu lantai, membersihkan papan tulis hijau yang terpanjang di dinding serta mengelap jendela. Ia membuka jendela ruangan yang mengarah ke luar lingkungan sekolah. Membiarkan semilir angin berhembus mengusir pengap.
Selesai, remaja itu menghela napas, senyum tak pudar dari wajahnya. Ia melepaskan syal hijau yang melingkar di lehernya. Mengusap tulisan yang ada di syal dengan jemarinya seraya tersenyum sendu. "Maaf, baru sekarang aku bisa mulai tepatin janji aku, Lea."
Ia pun menggantungkan syal itu di atas papan tulis. Masing-masing ujung syal ia gantungkan di paku.
Kali ini semua pekerjaannya telah selesai.
Kemudian, ketukan pintu terdengar mengalihkan atensinya. Dua orang cowok dan satu orang cewek mengintip melalui pintu yang terbuka.
"Halo, Bro!" sapa salah satu cowok dengan sok akrab. Ia berambut sedikit keriting. Di sampingnya, si cewek melambaikan tangan. "Klub baru, ya? Kita boleh gabung?"
[.]
Satu Tahun Kemudian ...,
Seorang gadis berambut panjang berjalan mengekori gurunya hingga sampai di depan kelas. Si gadis memerhatikan sekitar, beberapa siswa sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak terlalu peduli dengan keadaan di depan.
Dih, kelas ini isinya muka-muka anak pinter semua, horor, bisa-bisa mati gue masuk kelas ini. pikirnya. Ia meremas tali tas, rambutnya sudah ditata lurus dan sedikit kemerahan. Suasana kelas benar-benar hening ketika guru berjilbab putih di sampingnya mulai berbicara.
"Anak-anak, mulai kelas sebelas ini kalian kedatangan siswi baru. Dia siswi pindahan dari luar kota. Namanya Kiana Azalea. Ibu harap kalian bisa berbaur dengan baik."
"Baik, Bu!"
Guru itu menoleh pada Kiana seraya tersenyum ramah. "Nah, Kiana, silahkan kamu duduk di kursi yang masih kosong."
Kiana mengangguk dan balas tersenyum. Ia melihat hanya ada satu kursi yang kosong. Di samping seorang cowok berkacamata di barisan depan. Ia pun melangkah dan duduk di samping cowok itu. Tersenyum sopan meski si cowok masih sibuk dengan buku biologinya.
"Hai, gue Kiana, nama lo?" Kiana mengulurkan tangan.
"Arkan," jawab cowok itu, cuek tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Kiana mengerucutkan bibir. Bete! Ia berbalik badan untuk mengambil buku di dalam tasnya, namun seseorang mengejutkannya dari belakang.
"Oy," Suara berat itu tertuju pada Kiana.
Kiana menoleh seraya tersenyum kikuk. "Ke-kenapa, ya?"
"Ini tempat gue." ucap si cowok berambut sedikit keriting yang berdiri tepat di depan mejanya, ia masih memakai ransel, sepertinya sedikit terlambat. Cowok tinggi berambut gelap berdiri di belakangnya.
Yang menarik atensi Kiana adalah cowok yang di belakangnya itu. Cowok berambut gelap dengan mata obsidian, berahang tegas dan hidung yang mancung. Cowok itu tersenyum hingga terbentuk lesung pipi. Sepertinya Kiana mengenalnya.
Cowok berambut keriting melirik arah pandang Kiana, kemudian menggebrak meja. "Oy, lo denger gue gak, sih?"
Kiana tersentak saat cowok di hadapannya kembali bicara. "Maaf, gue gak tau, gue pikir di sini kosong."
Pandangan si cowok beralih pada Arkan. "Oy, Kan. Kok lo gak kasih tau dia kalau ini tempat gue?"
Arkan melirik temannya itu dengan malas. "Ribet."
Cowok itu mulai menggeram, tapi kemudian menghembuskan napas. Ia beralih pada Kiana. "Lo harusnya duduk sama Revan. Tempatnya di meja paling belakang di barisan kiri, kalo diliat dari depan emang gak keliatan."
"O-oh, gitu, ya? Ya-yaudah, gue bakal pindah." Baru saja Kiana ingin bangkit dan mengambil tasnya, cowok berambut keriting kembali mencegah.
"Eh, gak usah, deh. Nanti lo diapa-apain lagi sama Revan. Biar gue aja yang duduk sama dia." Kemudian cowok itu berjalan mengekori temannya yang duduk di belakang, meninggalkan Kiana yang terbengong di tempatnya.
Revan melirik temannya itu seraya mencibir. "Ian, lo mau duduk sama gue itu biar lo gak ketahuan guru pas tidur di jam pelajaran 'kan?"
Cowok bernama Ian itu nyengir. "Tuh, lo tau."
Revan memggelengkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangan ke punggung Kiana yang duduk paling depan di barisan tengah. Lalu pandangannya kembali beralih pada langit biru, ia tersenyum. Masih ada pagi untuknya. Memberikannya kesempatan sekali lagi untuk berharap.
Sementara itu Kiana sudah selesai mencatat apa yang ada di papan tulis. Ia diam-diam memerhatikan wajah Arkan dari samping.
Kacamata berbentuk lingkaran bertengger di hidung Arkan yang mancung. Lensanya tipis, ia sedang bertopang dagu dengan sebelah tangan. Matanya menjelajahi setiap huruf di buku dengan pandangan malas.
"Woy, Arkan." Siswa yang duduk di belakangnya berbisik sambil mencolek punggung Arkan dengan ujung pensil. "Ambilin penghapus gue, dong, itu di kaki lo."
Arkan menoleh sedikit kemudian menjawab. "Ribet."
"Arkan, tolong jelasin ini, dong, gak ngerti parah." Kali ini teman cewek di sampingnya yang meminta bantuan.
"Ribet, nanti juga dijelasin."
"Arkan," Kiana memanggil dan disahut dehaman. "Dua cowok tadi namanya siapa?"
Arkan menghela napas. "Tadi 'kan diabsen, perhatiin makannya."
Kiana tersenyum licik. "Ribet."
Ekspresi Arkan berubah kaku kemudian menghela napas dengan kikuk. "Yang tadi harusnya duduk di sini itu namanya Ardian Hirata, dipanggil Ian. Yang terlambat sama dia tadi namanya Revan Aksaraf Putra."
Kiana mengangguk mengerti. "Kalau nama panjang lo?"
Arkan baru ingin memalingkan wajah menunjuk buku absensi.
"Ribet." potong Kiana.
"Nama gue Arkan Prasetya." sahutnya pasrah.
Kiana tersenyum puas, namun ... Revan Aksaraf Putra, ia ingat sekarang. Dunia begitu sempit, kembali mempertemukan sepasang ganjil yang selamanya tak akan pernah menjadi saling.
Arkan hendak kembali membaca buku jika saja ia tidak melihat senyum Kiana yang memudar. Gadis itu terlihat merenung sesaat sebelum akhirnya mengambil buku berukuran kecil dari kolong meja--semacam diary dengan sampul berwarna hijau--tangannya meraih pena dan mulai menggores tinta pada kertas.
Hingga kini aku masih mengingat senja yang kita lihat di hari itu,
Pemandangan di luar masih tetap sama
Sosokmu pun terbayang di jendela,
Apakah kamu masih sama seperti yang dulu?
Bernyanyi dengan gitar usang yang suaranya tak lagi merdu?
Masih seperti anak kecil yang polos, berlarian membunuh bosan,
Entah kenapa masa sekarang terasa sepi,
Dapatkah aku dan kamu berubah menjadi kita sekali lagi?
Arkan membaca sekilas tulisan itu seraya tersenyum kecil. Lebih mirip lirik lagu daripada puisi. cibirnya tak punya hati.

Book Comment (206)

  • avatar
    UmayahSiti

    bagus

    25d

      0
  • avatar
    NovitasariChelsie

    bagus

    22/08

      0
  • avatar
    BarEraa

    bagus sekali cerita ini

    28/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters