logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Jumpa Pertama

Satria menatap tajam ke arah Handa yang sedang menuruni tangga, baginya perempuan di depannya itu adalah orang yang membuat dia harus menghadapi masalah yang rumit saat ini. Perempuan yang akan menghancurkan pernikahannya.
Handa pun membalas dengan tatapan mata yang tajam pula, baginya tatapan mata Satria hampir sama dengan tatapan mata Hanin selama ini kepadanya, tatapan mata penuh kebencian. Dalam hatinya bertanya, apa saja yang telah dikatakan kakaknya pada calon suaminya tersebut, melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Satria. sepertinya bukan sesuatu yang baik.
Setelah Gunadi mempersilahkan mereka duduk, Handa segera menuju dapur untuk membuat minum. Tak bisa dipungkiri dalam hati Handa mengakui bahwa calon suami kakaknya memang mempesona, dengan potongan rambut model undercut membuat penampilannya terlihat lebih maskulin. Dan kerapian yang ditimbulkan membuatnya terlihat lebih elegan. Seperti apa yang diungkapkan Marini bahwa mereka adalah orang kaya, terlihat dari dua mobil mewah yang saat ini sedang terparkir di halaman rumahnya saat ini. Tapi tatapan matanya membuat Handa berpikir untuk tidak berurusan dengannya. Setelah selesai membuat minuman Handa bergegas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan.
Handa menyuguhkan minuman dengan hati-hati. Handa sadar jika dari tadi Satria memperhatikanya. Handa menjadi canggung karena saat ia meletakkan teh untuk satria di meja tanpa sengaja mereka saling bertatapan. Setelah semua teh sudah berada di meja, Handa segera kembali ke dapur untuk mengembalikan nampan.
Lisa, mama Satria pun memperhatikan Handa. Dari sikap yang ditunjukkan. Handa terlihat berpendidikan, tetapi dari penampilan yang sederhana Handa lebih mirip dengan seorang asisten rumah tangga.
"Siapa gadis itu?" tanya Lisa. "Kata Hanin, kalian tidak punya pembantu," sambung Lisa, nada ketus dari ucapannya seperti merasa dibohongi.
"Adiknya Hanin, namanya Handa." jawab Gunadi, ada rasa malu timbul dilubuk hati Gunadi, dia merasa telah gagal menjadi seorang ayah. Bagaimana tidak, disaat dia mampu hidup berkecukupan, anaknya harus hidup kekurangan dan dipandang sebelah mata dianggap sebagai asisten rumah tangga.
Suara percakapan di ruang tamu masih bisa terdengar hingga dapur, untung Handa tidak mendengar dengan jelas bagaimana penilaian Lisa tentang dirinya, mungkin akan membuat Handa merasa semakin kurang percaya diri. Niat awal Handa yang ingin menguping pun segera ia urungkan. Meskipun ia mendengar ia tidak akan tahu apa yang mereka bicarakan, lagi pula itu bukan urusannya. Handa meninggalkan dapur dan beranjak menuju kamarnya.
Satria memperhatikan Handa yang melangkah menaiki tangga hingga tubuh mungil itu tak terlihat lagi. Masih lekat dalam ingatan Satria wajah polos Handa, yang tanpa riasan dan rambut yang diikat ekor kuda. Pakaian sederhana, kaos dan celana khaki membuat Handa lebih seperti pembantu dari pada anggota keluarga di sini.
"Apakah kepergian Hanin ada hubungannya dengan adiknya?" Akhirnya Satria mengeluarkan suara setelah dari tadi hanya diam.
Gunadi dan Marini saling berpandangan. Menjawab pertanyaan Satria dengan jujur seperti membuka aib keluarga mereka yang tidak akur.
"Handa baru datang dari Semarang, dia tidak tahu apa-apa." Gunadi berusaha agar Handa tidak terseret dalam masalah yang diciptakan Hanin. Bagi Gunadi, Handa sudah cukup menderita dengan harus meninggalkan rumah dan dititipkan di Semarang.
Satria menatap tajam penuh intimidasi ke arah Gunadi, sebuah tatapan yang sungguh jauh dari kata sopan yang diberikan oleh seorang calon menantu kepada calon mertuanya.
"Kami kira Hanin anak tunggal, dia tidak pernah bercerita kalau mempunyai seorang adik," sahut Harris.
"Tadi Handa mengajak ke kantor polisi, kami berencana meminta bantuan polisi untuk mencari Hanin." Gunadi mengutarakan rencananya untuk mencari Hanin, sekaligus mengalihkan pembicaraan tentang Handa.
"Tidak," sahut Satria dengan tegas, wajah Satria menjadi panik.
Gunadi terkejut dengan sikap Satria. "Apa Nak Satria tahu di mana Hanin berada?" tanya Gunadi penuh selidik.
"Tidak, seandainya saya tahu, saya tidak akan secemas ini. Saya sangat mencintai Hanin dan tak ingin kehilangan dia," ucap Satria berusaha meyakinkan calon mertuanya.
"Lalu pernikahannya? Bagaimana jika Hanin belum ditemukan hingga hari pernikahan?" tanya Lisa tanpa mendapat jawaban. "Kami sudah mengeluarkan banyak uang, belum lagi rasa malu jika pernikahan ini sampai tidak terlaksana."
Pembicaraan tentang pernikahan Hanin dan Satria membuat suasana menjadi serius dan menegangkan, rasa cemas dan khawatir terpancar di wajah mereka. Bukan hanya pernikahan yang menjadi masalah, tetapi juga keberadaan dan keadaan Hanin yang belum diketahui hingga saat ini.
***
Handa bersiap untuk istirahat, dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar yang sudah dibersihkan dan mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Handa berjalan menuju tempat tidur lalu duduk di tepian ranjang. Tangannya meraih ponsel yang berada di atas nakas, Handa membuka kontak dan terhenti dikontak yang bertuliskan PAKDHEKU ZEYENG. Belum sempat ia menekan tombol hijau, terdengar suara pintu kamarnya diketuk.
Handa segera bangkit dan membuka pintu, Handa sangat terkejut saat melihat Satria yang berdiri di balik pintu. Handa menyesali tidak bertanya dulu siapa yang mengetuk pintu, karena dia menyangka yang datang Gunadi atau Marini, orang tuanya. Dia sama sekali tidak menyangka Satria yang datang ke kamarnya.
"Boleh saya masuk?"
"Sebaiknya kita ngobrol di luar saja Mas...?" Handa menghentikan kalimatnya seraya bertanya nama Satria.
"Satria." Satria mengulurkan tanganya.
"Handa." Handa menjabat tangan Satria. "Sebentar." Handa meraih handle pntu berusaha menutup pintu, dan akan melangkah keluar kamar.
Satria menahan pintu dengan tangannya, "Saya juga hanya sebentar." Satria segera memasuki kamar Handa.
Handa memegang pintu hingga pintu tetap dalam keadaan terbuka. Satria berdiri di hadapan Handa dengan jarak yang sangat dekat. Satria memandang wajah Handa dengan seksama hingga membuat Handa merasa risih.
Tak lama kemudian pandangan Satria beralih menyapu seisi ruangan. Sebuah kamar dengan dinding yang bersih tanpa tempelan foto atau poster. Tak ada rak sepatu, terlihat sepasang sepatu kets di bawah tempat tidur. Hingga membuat Satria berpikir, kamar pembantunya pun lebih baik bila dibandingkan dengan kamar Handa.
"Ini kamarmu?" tanya Satria seakan tak percaya, dilihatnya Handa mengangguk pelan. "Kosong."
"Ya, kamar ini lebih sering kosong, saya jarang di sini." Handa merasa tidak nyaman dengan keberadaan Satria di kamarnya. "Sudah ada kabar dari Mbak Hanin?" Handa berusaha mengalihkan pembicaraan yang menurutnya lebih penting daripada basa-basi Satria.
Satria memasukkan tanganya ke saku celana, menatap tajam ke arah Handa, "Belum."
Handa berusaha tidak terintimidasi oleh tatapan Satria, ia menyeringai dan membalas menatap mata Satria, "Apa yang akan Mas Satria lakukan?"
Satria terdiam, keadaan seakan berbalik. Tatapan dingin Handa membuat Satria merasa menjadi calon suami yang tidak bertanggung jawab. Saat dia tidak bisa menjawab apa yang akan dia lakukan untuk menemukan calon istrinya yang tiba-tiba menghilang.
"Kita lapor polisi saja mas." Handa tak sabar menunggu jawaban Satria.
"Tidak," jawab Satria singkat dan tegas.
"Jika tidak lapor polisi, apa yang akan Mas Satria lakukan?" Handa mengulang pertanyaannya.
Satria kembali terdiam. Handa menggeleng pelan sambil menyeringai, memalingkan pandangannya sambil mendengus kasar.
"Hanya diam, itu yang akan dilakukan oleh sang calon suami tercinta," sindir Handa.
Satria merasa harga dirinya direndahkan serendah-rendahkan oleh Handa dengan kalimat sarkasnya. Rahang Satria mulai mengeras dan kedua tanganya pun mengepal, Satria berusaha mengendalikan amarahnya dengan menarik nafas dalam-dalam.
Satria mendekatkan wajahnya ke wajah Handa, "Bukankah Hanin pergi karena kau hadir di sini?"
Handa terkejut mendengar ucapan Satria, Handa menatap Satria penuh curiga. Apa yang disembunyikan pria yang di depannya? Apa yang dia rencanakan? Pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi benaknya.
"Bagaimana Mas Satria tahu tentang hal itu? Kapan terakhir Mas Satria bertemu Mbak Hanin?"
Handa menatap mata Satria dengan saksama, saat Satria memalingkan pandangannya, Handa merasa ada rahasia yang disembunyikan Satria.
"Mas Satria tahu di mana Mbak Hanin berada." Satria sadar kalimat yang baru saja diucapkan Handa adalah pernyataan bukan pertanyaan.
"Kau menuduhku ..." Satria memukul pintu yang sejak tadi dipegangi Handa, karena terkejut Handa melepaskan pengangannya. Saat pintu bergerak Satria hampir terjatuh menabrak Handa, wajah mereka yang begitu dekat membuat mereka hampir berciuman. Dengan refleks tangan Handa menampar pipi Satria.
"Kau menjebakku!" Satria menegakkan berdirinya di depan Handa. "Hanya dari jumpa pertama saat ini, ternyata benar kata Hanin, kalau kau perempuan licik."
"Mas Satria yang lancang ke kamarku, lalu bilang aku menjebak Mas Satria. Logika dari mana itu mas?" Handa berusaha mengatur nafasnya kembali, "Jangan mas anggap apa yang Mas Satria dengar adalah kebenaran saat Mas Satria baru mendengar dari satu pihak."
Satria mengelus pipinya yang masih terasa panas dan tampak merah bekas tamparan Handa. Mereka diam hanya saling menatap dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Mas Satria buang-buang waktu di sini, sebaiknya Mas Satria berpikir dan segera bertindak untuk menemukan Mbak Hanin."
Satria menyugar rambutnya, lalu menepuk pundak Handa pelan. "Maafkan saya, saya sangat tertekan dengan situasi ini. Mungkin besok kita bisa bertemu lagi, dan mencari Hanin bersama. Sekali lagi maafkan saya!"
Satria mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dan mendengus kasar, lalu melangkahkan kaki meninggalkan Handa. Satria tersenyum menyeringai saat dia berjalan menuruni tangga. Sedangkan Handa mengelengkan kepalanya pelan, bingung dengan apa yang sudah dilakukan oleh Satria.
Suara langkah kaki Satria semakin menjauh, dan lambat laun tak terdengar. Handa menutup pintu kamarnya dengan perlahan, sejenak ia bersandar di balik pintu.
Handa melangkahkan kaki menuju tempat tidurnya. Direbahkan tubuhnya miring membelakangi pintu. Jumpa pertama dengan Satria menimbulkan banyak tanya tentang apa yang terjadi sebenarnya. Pandangannya nanar seakan merasakan sebuah firasat, ada kejadian buruk yang akan menimpanya. Dengan berjalannya waktu, rasa kantuk dan lelah tubuhnya membuat Handa tak bisa menahan matanya untuk terpejam.

Book Comment (196)

  • avatar
    Nia Anjani

    Kapan update bab barunya kak?... Penasan bgt lanjutannya....

    04/05/2022

      0
  • avatar
    Tebel Emet

    lanjut lagi

    1d

      0
  • avatar
    Jila SiapatJill

    wow the beutiful view

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters