logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

TEMEN TAPI DEMEN Bab 7

TEMAN TAPI DEMEN 7
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Sesuatu hal yang terlalu berlebihan memang terkadang membuat orang berprasangka buruk. Bahkan mampu membuat pikiran kita menerka-nerka sesuatu yang tidak seharusnya.

Shasa mulai merasa ada keanehan karena sikap ibunya yang selalu menganggap Soni sebagai calon mantunya. Memang sih, selama mengenal Soni bertahun-tahun, dia adalah pria terbaik di seluruh kampung.
Kalau boleh jujur, Rey lewat ....
Maka dari itu, Shasa mulai menyukainya sejak beberapa tahun terakhir. Namun, ia tidak menyangka ibunya merespon terlalu serius.
Shasa masih menatap sang ibu dengan banyak pertanyaan. Ingin sekali bibirnya mengeluarkan semuanya, tetapi hanya tertahan.
“Sha ... kamu denger omongan Ibu, kan? Malah bengong,” tanya Ibu lagi. Ia heran anaknya melamun.
“Iya, Bu ... aku denger. Tapi aku udah kadung janji sama Rey ... aku janji hubungan dengan Rey akan murni temenan,” jawab Shasa sambil tangannya membentuk huruf V.
“Ibu pegang janjimu.”
“Asiap, Bu ...! Emm, boleh tahu alasan Ibu selalu manggil Soni sebagai calon mantu gak?” tanya Shasa ragu. Namun pikirannya begitu ingin tahu.
“Rahasia dong ... tapi kamu suka, kamu cinta sama Soni kan?” cecar sang Ibu hingga membuat Shasa merasa malu.
Seandainya dia siput, ia ingin sekali masuk ke dalam cangkang untuk bersembunyi dari rasa malu. Malu digoda habis-habisan oleh sang ibu.
“Au, Ah! Shasa mau masuk ...!” jawab Shasa sambil berlari menuju kamarnya. Hatinya merasa lelah berlarian karena dikejar terus menerus oleh godaan Ibu.
Sang ibu menggelengkan kepalanya melihat Shasa yang selalu salah tingkah jika membahas Soni. Memang ada harapan besar dalam angannya kalau Shasa kelak bisa menikah dengan Soni.
“Shasa ... Shasa ....” gumam sang ibu lalu ikut masuk ke dalam rumah.
Sementara Shasa di kamar tengah merasakan perpaduan debaran jantung yang mulai berirama. Menyebut namanya saja kadang bisa membuat pikiran Shasa membelok. Melupakan semua yang berada di hadapannya.
“Haruskah aku memancing perasaan Soni lewat Rey?” tanyanya dalam hati. Ia sudah mulai lelah menyimpan cinta ini sendirian. Shasa ingin mengetahui apakah hati ini memang menjadi bagian dari hatinya.
Akan tetapi, permintaan untuk tidak berubah menciutkan tekadnya. Apa memang baiknya hanya menjadi teman? Namun hati sudah terlanjur demen.
Shasa menatap sejenak langit yang sudah mulai menggelap dari jendela kamar. Dilema ini sungguh seperti awan di atas sana. Yang kadang bewarna hitam, lalu berubah putih dalam sekejap. Dan berubah lagi menjadi abu-abu. Selalu berganti dan tidak menentu.
Hatinya merasa tidak menentu mau memendam atau mengungkapkan. Jauh dalam lubuk jiwa, hatinya belum siap menerima kenyataan jika Soni tidak memiliki rasa yang sama.
Meong ... meong ....
Lamunan Shasa tersadar ketika ponselnya berdering. Mungkin ada satu pesan yang masuk. Dari nada deringnya, Shasa bisa tahu kalau itu dari Rey. Ia sengaja memberikan nada pesan berbeda dalam setiap nama kontak di ponselnya.
Dan meong itu sesuai dengan Rey yang selalu sigap memangsa jika melihat ikan asin tepat di hadapannya.
Shasa membaca pesannya dengan sedikit malas. Karena memang hatinya yang tidak begitu tertarik padanya. Ucapan sang ibu mampu membalikkan suasana hatinya yang kemarin sempat mulai merasa nyaman.
Rey
[ Jangan lupa hari besok ya? ]
Shasa
[ Iya ]
Setelah membalas pesan Rey, Shasa melihat kembali jejak pesannya. Ia baru ingat, sejak menonton Sheila malam itu, Soni belum pernah mengiriminya pesan sama sekali.
“Apa dia benar-benar marah saat Rey meminta nomer ponselku?” tanya Shasa pada diri sendiri.
Daripada hanya menebak, Shasa memilih mengirim pesan lebih dulu. Ia tidak ingin Soni berubah menjadi acuh dan tidak perhatian seperti biasa.
Shasa
[ Soni ... lagi apa? ]
Satu menit ... lima menit ... tiga puluh menit pun berlalu. Namun, pesan tak kunjung berbalas. Shasa merasa tidak tenang karena Soni tidak merespon sama sekali pesannya. Rasa khawatir langsung menyerang pikirannya.
Membuatnya merasa gelisah setengah hidup.
**
Di rumah, Soni sedang terbaring di tempat tidur. Sejak pagi tadi tubuhnya merasa tidak enak. Ditambah lagi kepalanya yang terus memikirkan Rey mendekati Shasa. Hal itu menambah imun tubuhnya menurun drastis.
Akan tetapi, keadaanya sudah lumayan membaik setelah mendapat tato gambar tulang di punggung dari sang ibu.
Mungkin masuk angin setelah bepergian sampai larut waktu malam Minggu kemarin.
“Sayang ... makan dulu ya?” ucap sang ibu yang kini sudah berada di kamarnya.
Saking lelapnya tidur, Soni sampai tidak mendengar kalau ibunya masuk ke dalam kamar.
Melihat sang ibu membawa mangkuk, Soni langsung bangkit dan duduk bersandar pada dinding. “Ibu suapin? Apa makan sendiri?” tanya sang ibu memberi pilihan.
Soni merasa seperti anak TK jika makan harus disuapi oleh ibunya. “Makan sendiri aja, Bu ... aku kan bukan anak kecil lagi,” jawab Soni. Kemudian menerima uluran mangkuk berisi bubur.
“Habisin loh ... biar cepat sembuh. Kamu gak ngabarin Shasa? Nanti dia khawatir ....” tanya sang ibu dengan nada menggoda.
Pertanyaan itu sukses membuat mulut Soni berhenti bergerak. Ia lupa kalau dari malam itu belum pernah memberikan kabar sama sekali.
Meski teman, tetapi ia selalu bertukar kabar agar tidak merasa khawatir satu sama lain. Karena perhatian tidak memandang status. Baik temanan atau demenan, mereka berdua akan tetap saling perhatian.
“Aku belum ngabarin Shasa dari kemarin, Bu ... boleh tolong ambilkan ponsel di meja?”
Sang ibu mengambilkan ponsel lalu memberikannya pada Soni. “Kalau Shasa khawatir berarti dia cinta sama kamu ....” goda Ibu lagi yang sukses membuat pipi pucat Soni memerah.
“Ya udah. Ibu mau bantuin Bapak dulu,” imbuh sang ibu lalu pergi meninggalkan Soni yang masih mencerna perkataan barusan.
"Apa benar hanya dengan Shasa khawatir bisa menandakan kalau dia mempunyai perasaan yang lebih dari temen?” tanyanya pada diri sendiri.
Sambil memakan buburnya, Soni mulai membuka ponselnya. Matanya melihat satu pesan dari Shasa.
Hari ini, 17.30
Shasa
[ Soni ... lagi apa? ]
Soni melihat jam weker di meja untuk mencocokkan jam dan masukya pesan dari Shasa. Jam weker menunjukkan jam delapan malam. Itu berarti Shasa sudah menunggu pesan balasan kurang lebih selama tiga jam.
Ada rasa bersalah merayap ke hatinya. Karena membuatnya menunggu. Ia menyesal tidak meletakkan ponsel di tempat tidur. Apalagi nada dering sengaja disenyapkan karena ingin beristirahat sebentar.
Dengan cepat, Soni membalas pesan dari Shasa. Wajahnya pasti sekarang sudah lusuh seperti baju yang belum disetrika.
Soni
[ Maaf baru bales ... lagi makan bubur. Kamu lagi apa? ]
Soni meletakkan ponsel tepat di hadapannya. Ia tidak mau melewatkan lagi jika Shasa membalas pesannya. Namun sampai buburnya habis, pesan tidak juga terbalas.
“Mungkin Shasa sudah tidur,” batinnya.
Soni keluar kamar untuk menaruh piring kotor di dapur. Meski kini pesannya tidak terbalas, itu pasti karena Shasa sudah tidur di jam seperti ini.
Dari dapur suara Bapak dan Ibu terdengar begitu jelas. Mereka saling tertawa dengan hal yang tidak istimewa. Dalam hatinya, ia juga ingin bisa bersikap seperti mereka jika menikah nanti. Selalu mesra setiap saat tanpa harus memberikan sesuatu yang mewah.
Ketika hendak kembali menuju kamar, Soni menjadi tertarik ingin menguping pembicaraan mereka.
“Soni udah mendingan belum, Bu?” tanya Bapak sambil tangannya sibuk dengan bolpoint.
“Udah. Kok bisa masuk angin ya, Pak? Padahal kan dia sering begadang kalau lagi bantuin Bapak,” jawab Ibu yang merasa aneh dengan sikap Soni sejak kemarin malam.
“Hahahaha ....” Bapak hanya tertawa menanggapi pertanyaan konyol dari nyonya Hadi.
“Bapak, Ish! Kok malah ketawa! Ibu tanya beneran ....” ucapnya mulai kesal karena melihat pria yang selama ini menemaninya justru menertawakan pertanyaannya.
Bapak langsung menghentikan tawanya. Lalu menatap istrinya dengan mesra.
“Ibu kan pernah muda, pasti tahu kenapa lah ... Soni lagi galau. Mungkin terlalu kepikiran jadi tubuhnya langsung drop,” jawab Bapak.
“Soni galau? Karena Shasa?” tanya Ibu lagi.
“Betul. Seratus buat Ibu. Jadi, Shasa itu lagi dideketin sama abangnya Rea, namanya Rey. Nah, mungkin garis besarnya cemburu. Tapi Soni tidak bisa berbuat apa-apa karena status mereka hanya temen. Bukan calon manten,” jelas Bapak.
Ibu mulai mengerti dengan penjelasan suaminya. Pantas saja wajahnya terlihat seperti orang sedang patah hati. Kadang hatinya juga menyayangkan hubungan mereka yang kelewat perhatian, padahal hanya sekedar teman.
"Pak ....” panggil Ibu.
“Hmm ....”
“Kalau misal kita lamar Shasa gimana?” usul Ibu dengan wajah yang berbinar.
Uhuk!
Bapak tersedak ranting teh dalam minumannya mendengar usul dari istrinya.
“Melamar Shasa? lagi? Masa iya harus melamar Shasa dua kali?”
----------***--------
Bersambung

Book Comment (366)

  • avatar
    Nadiraumairaa

    Ceritanya bagus bangett 😍😘🥰

    08/05/2022

      0
  • avatar
    ImayHarmaini

    baguss

    18h

      0
  • avatar
    irengmiji

    Seru abieszzz,kalian harus baca sih inii

    1d

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters