logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Misterius

"Tapi, kalau dilihat dari keadaannya, sepertinya kalau gak tadi malam, yaa mungkin beberapa jam yang lalu."
"Terus gimana?"
"Dia asing. Bagaimana kalau kita bawa ke rumah saja, Wik. Lagipula sepertinya pembunuhnya bukan orang dari desa kita. Bapak ini kenal saudara dari saudaranya tetangga. Ini orang asing. Bahkan kelihatan seperti orang kota. Kulitnya putih bersih, tampan."
"Tapi, bagaimana kalau ada yang lihat, Yah?"
"Kita lewat belakang. Lewat kebun-kebun."
Duh, kok malah ngerasa dia yang jahat ya? Pake nyembunyiin segala. Tapi, daripada bikin orang mati, ye kan?
Akhirnya mereka setuju. Dewi membawa ember berisi ikan, dan ayah memanggul pemuda itu. Untung saja kekuatan orang desa gak bisa diragukan. Sudah biasa angkat beban berat.
Dengan mengendap-endap dan penuh pengorbanan, sampai juga mereka di rumah. Siang-siang begini, orang-orang dewasa ke sawah, sedangkan beberapa ibu-ibu yang di rumah mengemong anaknya. Menemaninya tidur siang. Ada anak-anak usia lima tahun keatas yang bermain. Itupun yang bandel karena diteriaki ibunya suruh istirahat siang gak mau.
"Huft..."
Dewi menghela napas lega. Sumpah, jantungnya seperti drum band an karena menahan kekhawatiran ketahuan sama orang.
Pak Peno membaringkan pria itu ke dipan.
"Ambilin baju sama celana ayah yang  bersih."
"Ayah mau gantiin dia?" tukasnya kaget.
"Iyalah. Atau, kamu mau?"
Spontan Dewi ngacir. Mengambilkan baju dan celana milik ayahnya. Selintas melirik pemuda itu. Kasihan sekali, auratnya diintip orang gak dikenal. Huh! Untung saja tampan.
Dewi bergegas membalikkan badan. Menunggu ayahnya selesai menggantikan baju.
"Kok gak kamu bawain sempak sekalian to, Wik."
Mampuslah. Mana tega dia ngambilin bekas ayahnya? Astaga...
"Eng...n-ntar uang hasil jualan ikan ayah beliin aja deh. Kasihan dia."
Pak Peno tak menjawab.
"Dah. Selesai."
Dewi baru berani menoleh.
"Ada air panas gak?"
Gadis itu mengangguk.
"Tolong bawain sebaskom besar ya. Sama kainnya sekalian. Yang hangat. Jangan masih panas mendidih kamu bawa."
"(Ya tahu, ayah...)" tapi dia jawab dalam hati. Gegas menuang dari termos air panas ke dalam baskom. Mencampurnya dengan air hangat. Lalu kembali dengan baskom dan kain.
"Kamu kompres dahinya, ya. Sama itu, bagian pucuk kakinya kamu kasih kain celupan air hangat itu. Telapan tangannya juga."
Duh, banyak dong.
"Ayah mau cari ramuan dedaunan buat lukanya sama minta obat merah lek Wati. Takutnya keburu infeksi."
Dewi mengangguk.
"Dijaga yang bener. Jangan ditinggal tidur."
"Iih... iya ayah."
Pak Peno tersenyum. Segera beranjak. Meninggalkan putrinya mengurus pemuda luka itu.
Menelisik wajah yang tersaji di depannya. Mata yang terkatup rapat. Rambut pendek hitam pekat. Hidung mancung bagai perosotan. Juga bibir kecil yang pucat. Kulitnya putih bersih. Huft.. membandingkan dengan dirinya saja beda jauh. Seperti kopi susu. Tapi, saat melihat pakaian yang dipakaikan, kontras sekali. Kelihatan tak sepadan dengan wajah kotanya.
Dewi segera menjalankan tugasnya.  Mengompres pemuda asing ini demi menyalurkan hangatnya air ke tubuhnya. Tiba-tiba Dewi kepikiran, bagaimana kalau pemuda ini tiba-tiba mati? Duh, bagaimana dia akan bertanggung jawab?
Menepuk pelan kepalanya.
"Mikir apaan sih. Mikirnya tuh dia buru bangun. Jadi kasusnya bisa cepat diusut. Dan dia bisa pulang. Dasar Dewi. Kebanyakan nonton drama apa sih," tukasnya memukul kepalanya lagi.
Perlahan tapi pasti, tubuh pemuda itu mulai menghangat. Bahkan kini deru napas teraturnya mulai terlihat. Tapi matanya masih terpejam.
"Kira-kira kalau tak kasih minum papa gak ya?"
Tapi dia bimbang. Takutnya malah kenapa-napa. Dia juga yang nanggung.
Akhirnya Dewi hanya menungguinya hingga dia tertidur dengan kepala menelungkup di meja.
Pak Peno pulang beberapa saat kemudian. Menggelengkan kepala melihat kelakuan putrinya.
"Disuruh nunggu ya malah tidur beneran," tukasnya.
Segera pak Peno memeriksa keadaan pemuda itu. Syukurlah mulai menunjukkan tanda-tanda yang baik. Pak Peno mencari kain tak terpakai. Mengguntingnya memanjang. Memeriksa luka itu hati-hati. Membuatnya agak miring, lalu mengganjalnya dengan bantal. Memotong rambut di sekitaran luka mengolesinya dengan obat merah. Dan menempelkan ramuan dedaunan ke bagian luka tersebut dan menutupinya dengan kain itu. Menalinya seperti layaknya perban.
Selesai, pak Peno berfikir. Melihat luka di belakang kepala yang sepertinya akibat pukulan benda tumpul, dan jika pemuda ini terbangun, akan ada kemungkinan pada otaknya. Pak Peno mengusap wajahnya kasar. Tapi jangan sampai pemuda ini berubah menjadi linglung atau bahkan idiot.
Melihat pemuda ini, pak Peno menyiapkan rencana sebagai taruhan yang akan dimintanya. Tapi beliau tidak akan membahas sampai beliau yakin akan satu hal.
Setelah itu pak Peno membuat bubur. Siapa tahu sebentar lagi pemuda itu bangun. Kalau sampai malam tidak bangun, pak Peno bakal nekat memanggil dokter desa. Beliau tidak mau mengambil resiko buruk yang bisa saja menimpa. Nanti kan bisa dijelaskan kenapa ada pria asing disini.
*******
Ruangan bercat hijau yang sudah agak luntur dan mengelupas di beberapa bagian, dengan penerangan lampu yang tak terlalu terang juga tak terlalu redup. Satu lemari baju besar yang sudah bolong-bolong sisinya dimakan rayap. Serta handuk dan pakaian yang tercantol di paku.
Pemuda itu membuka matanya. Merasakan nyeri di bagian kepalanya. Lemas, nyeri, dan kaku. Tenggorokannya tercekat, haus dan kering. Tapi rasanya berat untuk sekedar berucap. Ditambah bibirnya terasa kering dan perih. Ekor matanya mengawasi sekitar yang asing.
"Arrgh!" Satu ringisan lolos di bibirnya. Makin meringis karena efek bibirnya yang terbuka tiba-tiba. Ingin rasanya bangun, tapi badannya lemas sekali.
Tirai penutup pintu terbuka, menampilkan seorang gadis yang terkejut melihat dirinya. Dan berteriak memanggil ayahnya. Siapa gadis itu?
Tak lama gadis itu kembali bersama pria paruh baya. Yang tersenyum lebar ke arahnya. Ah! Tidak! Siapa mereka.
"Syukurlah, kau bangun juga."
Pemuda itu menyiratkan kebingungan dari sorot matanya. Sedang si gadis juga sama dengan dirinya. Terlihat bingung.
"Wik, ambilin bubur sama minum ya."
Wik? Siapa Wik?
Gadis itu melangkah pergi. Meninggalkan dirinya bersama pria itu.
"Si-siapa... kalian, aah!" Napasnya tersengal hanya untuk beberapa kata saja. Rasanya selain nyeri, kepalanya juga sangat sakit. Apalagi saat dia memikirkan kenapa bisa berada di tempat asing ini.
"Kami, tenang saja. Kami tidak jahat kok."
Tak lama gadis itu kembali dengan membawa nampan.
"Ini, Yah."
"Kamu suapilah. Masak ayah yang nyuapi."
Gadis itu menggaruk kepalanya.
"Tapi, Yah--"
"Tugas perempuan. Sana!"
Netra pemuda itu mengawasi gadis asing itu. Menyodorkan sesendok makanan aneh ke arahnya.
"Buka mulutmu."
Pemuda itu bergeming. Tidak! Dia tidak mengenal orang-orang ini.
"Ish! Lama amat sih. Tinggal buka mulut doang padahal."
Nah, kan. Dia suka ngoceh.
"Makanlah, supaya tenagamu kembali."
Pemuda itu menelan saliva kasar. Jujur, dia lapar, lemas dan juga haus. Belum juga dia berfikir, gadis itu sudah menjejalkan sendok ke mulutnya.
"Tinggal mangap aja susah."
"Wik! Yang lembut," sergah ayah gadis itu melihat tingkah putrinya mulai bar-bar.
Gadis itu menjebikkan bibirnya. Pria itu, karena sudah masuk mulut, dia nikmati saja. Dan ah, rasanya enak. Akhirnya suapan demi suapan lain terpaksa dia terima. Hingga tak sadar isi mangkuk itu tandas dan pindah ke perutnya.
Beberapa saat pria paruh baya dan gadis itu terdiam. Menatapi dirinya yang masih terbaring. Mungkin bingung mau ngapain lagi.
Perlahan tenaganya terasa kembali meski tidak sepenuhnya. Ditambah dua gelas minum yang dia tenggak. Rasanya segar. Menarik napas berkali-kali. Dan kini pun dia bisa menggeser posisinya. Meski di bagian kepala rasanya masih sangat sakit.
Dan kini dua orang itu memandanginya dengan penasaran.
"Kenapa kalian memandangiku seperti itu," ucapnya galak, tapi dengan intonasi yang masih lemah. Jadi, mana berhasil?
"Boleh tahu siapa namamu, dan asalmu?" ucap  sang pria paruh baya.
A-apa tadi katanya... nama?
"Na-nama? A-aku?" ucapnya bingung. Gelap. Tak ada gambaran apapun dalam ingatannya. Gelap. Suram.
"Iya. Mungkin saja kalau ada keluargamu yang mencari."
Pria muda itu malah makin kebingungan.
"Aku siapa?" tanyanya balik.
Pak Peno dan Dewi saling pandang. Apakah, pria ini--- tidak mengingat dirinya? Amnesia?

Comentário do Livro (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    13d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes