logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Lima

Aku memarkir motorku di depan sebuah rumah mungil bercat kuning gading. Cemara kipas yang berjejer di salah satu sudut halaman memberi kesan sejuk.
Malam itu cuaca berpihak padaku. Bulan purnama yang menggantung indah di langit, menyinari bumi dengan sinarnya yang kuning keemasan.
Aku melangkah menuju teras. Kupencet bel berbentuk lonceng dan menunggu sejenak. Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Aku menahan nafas. Jantungku mendadak berdebar. Rasanya seperti berkunjung ke rumah cewek untuk kali pertama...
Padahal ini bukan rumah pacarku. Ini rumah guruku. Demi Tuhan, apa yang sedang terjadi padaku?
Pintu di depanku terbuka, dan seraut wajah cantik menyembul. "Hai, Topan..."
"Sensei ..."
"Yuk masuk ..."
"Terima kasih ...,"aku memasuki ruang tamu mungil dan duduk di salah satu kursi rotan anyam dengan bantalan berwarna kuning. Tata ruangnya terkesan akrab dan amat nyaman.
"Tunggu bentar ya Topan ...," Bu Nike menghilang masuk ke dalam rumah.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Mataku terhenti pada lukisan di seberangku. Lukisan perspektif bergambar laut biru, dengan bangunan rumah-rumah bercat putih di sepanjang tebing, di latar belakangi pegunungan yang berkabut, dan dibingkai nuansa taman dengan undakan yang penuh dengan bunga...
"Serius amat lihat lukisan itu...,"mendadak terdengar suara Bu Nike memecahkan lamunanku.
"Iya nih, saya tertarik dengan lukisan itu, Sensei...kira-kira settingnya dimana ya?"
Bu Nike meletakkan dua cangkir berisi minuman yang masih mengepul di atas meja.
"Mungkin di suatu tempat di Italia...atau Venesia, kenapa?"
"Indah sekali," sahutku pendek.
Bu Nike ikut mengamati lukisan itu. "Mungkin terdengar konyol, tapi saya sangat menyukai lukisan itu. Pernah sesekali terlintas dalam pikiran, kapan saya bisa mengunjungi kota seperti itu suatu saat nanti. Mengunjungi Laut Aegea di Santorini adalah impian saya, Topan ..."
Aku menatap Bu Nike. Dalam balutan setelan sport yang kebesaran tapi terlihat nyaman, dengan mata menerawang entah kemana, lagi-lagi membuatku tercengang. Kenapa guruku harus secantik ini?
"Kapan-kapan, Sensei ... kita ke sana ya?" cetusku.
Bu Nike menatapku dengan pandangan yang sulit dimengerti. Aku balas menatapnya dan tersenyum.
"Omong-omong ... saya harap Topan suka coklat panas ...," Bu Nike tersenyum ke arahku.
Aku ikut tersenyum. Yang bener saja, jangankan coklat, air mineral aja serasa soft drink kalau bersama dia. Diam-diam aku menertawakan diriku sendiri. Pikiran yang konyol.
"Rumah Sensei nyaman sekali ...,"aku meraih cangkir coklat dan meniupnya.
"Terima kasih. Tapi ini rumah sementara saja, Topan ..."
"Maksudnya?"
"Rumah saya di kota Malang, Topan. Saya di sini hanya bekerja, dan ini rumah kontrakan. Meski begitu, saya berusaha menata supaya terasa nyaman. Seminggu atau dua minggu sekali saya pulang ke Malang..."
"Orang tua Sensei disana?"
Bu Nike menggeleng. "Enggak. Ayah dan Ibu menetap di Perth. Ayah seorang Diplomat. Beberapa tahun terakhir ini mereka memutuskan untuk menetap di sana, dan mempunyai usaha sendiri. Jadi yaa...hanya beberapa kali saya bertemu mereka, terutama saat tahun baru."
"Sensei tinggal sendiri di sini?"
"Enggak. Saya sama Mbok Karni. Beliau ini yang mengasuh saya sejak kecil. Kalau pulang ke Malang kadang beliau saya ajak."
"Trus yang rumah Malang kosong ya, Sensei?"
"Ada yang menempati. Kakak saya. Kebetulan dia punya usaha di sana."
"Kenapa Sensei ngajar di sini? Nggak di Malang sekalian?"
Bu Nike menatapku. Aku balas memandangnya dan berusaha mencari tahu apa yang terpancar di sorot mata Bu Nike. Apakah aku yang berhalusinasi, ataukah pandangan mata Bu Nike berubah sendu?
Bu Nike memalingkan wajah. "Saya di sini hanya sementara juga, Topan. Karena harus menyelesaikan program pasca sarjana di Surabaya selama setahun ini. Setelah itu mungkin akan pindah kerjaan juga. Sekaligus pindah tempat tinggal."
Aku tercenung mendengar penjelasannya. Jadi Bu Nike tidak akan lama di sini. Kenapa tiba-tiba hatiku nyeri mendengarnya? Membayangkan tidak akan menjumpai sosok Bu Nike lagi membuatku merasa hampa.
"Tapi selama setahun di sini, Sensei nggak akan kemana-mana kan? Maksud saya, tetap tinggal di sini kan?"
Bu Nike tertawa ringan. "Tentu saja. Kalau saya pindah, Topan orang pertama yang saya beri tahu ya?"
"Serius?"
Bu Nike mengangguk. "Serius ..."
Dua jam berlalu tanpa terasa. Aku amat menikmati ngobrol dengan Bu Nike. Beliau sosok yang amat menyenangkan. Enak diajak curhat dan bisa memberikan tanggapan tepat seperti yang aku inginkan.
"Topan nggak pulang nih?" Bu Nike meraih cangkir coklat dan menghabiskan isinya.
Aku nyengir. "Males pulang, Sensei ..."
"Sudah malam lho ..."
"Iya deh. Daripada diusir sama Security ..."
Bu Nike tertawa menanggapi kalimatku. "Topan boleh main kapan saja kok. Tapi sms dulu ya?"
"Main ke rumah Sensei?"
"Iya. Ke mana lagi?"
"Ehm! Maksud saya ...," aku menggantung kalimatku.
"Apa, Topan?"
"Main ke rumah doang? Kalai saya ajak nonton konser mau nggak?"
Sedetik setelah mengucapkan kalimat itu, aku menyesal. Baru kusadari aku amat lancang.
Bu Nike berpikir sejenak. "Boleh saja ..."
Aku tercekat. "Beneran nih, Sensei?"
"Iyaa...lebih sip lagi kalau sama temen-temennya Topan. Kan seru tuh!"
Aku langsung melempem. Haahh...males nih, kalau sudah rame-rame. Buat apa? Aku sih maunya pergi berdua dia.
"Iya deh. Saya pulang dulu ya Sensei ..."
"Iya. Makasih ya Topan ...," Bu Nike tersenyum manis.
Maka aku pun meninggalkan rumah Bu Nike dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seperti melayang-layang. Senang, bahagia, serasa menemukan seseorang yang, benar-benar membuatku nyaman.
Sampai aku tiba di rumah, berbaring di kasurku yang berbentuk ayunan, aku masih memikirkan beliau dan semua obrolan kami. Mendadak ponselku berbunyi. Ada sms masuk.
"Topan ... kok jaketnya nggak dibawa? Lupa ya?"
Aku menepuk kening. Aduh! Aku kok bisa lupa tujuan semula datang ke rumah Bu Nike? Wah ketahuan nih kalau sebenernya aku main bukan untuk jaket itu. Aku segera membalas sms Bu Nike.
"Buat Sensei saja deh, tuh jaket. Jarang saya pakai, kok ..."
Lama tak ada balasan, dan aku memang tak mengharapkan balasan. Aku bangkit berdiri. Kasur ayunku bergoyang-goyang saat aku melangkah menuju balkon kamar. Kantukku menguap entah kemana. Saat ini aku hanya ingin memikirkan Bu Nike, dan rencana besok sore, karena aku dan teman-teman bandku akan berangkat ke Malang untuk mengikuti festival.
Daripada nganggur, aku membuka-buka jadwal pelajaran dan mulai menyiapkan buku untuk besok. Mengecek apakah ada tugas atau peer yang mungkin belum kukerjakan. Lalu kuambil selembar kertas dan mulai membuat daftar untuk persiapan bandku besok. Mulai dari perlengkapan alat, kalkulasi biaya dimana kami harus menginap, biaya makan, transportasi, dan detil lainnya. Tengah asik dengan kesibukanku memikirkan dimana kira-kira besok kami akan menginap, mendadak ponselku berbunyi. Ada sms masuk. Dengan semangat kubuka layar, mengira itu sms balasan dari Bu Nike.
"Topan? Bisakah besok kita bertemu? Aku ingin bicara ..."
Semangatku langsung kempes seperti balon tertusuk jarum. Ternyata sms dari Riri. Males berurusan dengannya, sms itu langsung kuhapus dan melanjutkan coretanku dengan berbagai kemungkinan tempat yang besok bisa kami gunakan untuk beristirahat. Kalau perlu, aku akan menelepon Om Haris, adik bungsu Mami, yang kebetulan punya rumah di Batu. Ya, ya...ini ide yang bagus. Karena festival itu sendiri dilaksanakan hari Sabtu siang, dan pasti selesainya malam. Urusan transportasi juga sudah aku pikirkan. Paling tidak kami akan pulang hari Minggu pagi. Itupun kalau teman-temanku mau. Kalau mereka minta melancong dulu ke BNS atau apa ... berarti harus ada kalkulasi biaya lagi, dan hmmm ... harus ada persiapan dana lain-lain.
Mendadak ponselku berbunyi lagi.
"Pan ... tolong jangan cuekin aku ... please ..."
Tanpa emosi, langsung kuhapus sms Riri. Sebodo! Urusanku sudah selesai dengannya. Aku nggak mau tahu lagi dengan semua permasalahan cewek itu. Membalas smsnya sama aja dengan memberi harapan. Itu sama artinya dengan semakin menyakitinya. Kau pasti berpikir aku cowok yang kejam ya? Sudah bersikap seperti itu pada seorang gadis. Bukan, aku menolak dibilang sadis. Aku hanya tipe cuek egois yang menuruti kata hati. Kalau aku pengen bales sms seseorang, pasti akan kubalas. Kalau nggak perlu dibales, ya nggak akan kubales.
Aku menarik nafas panjang. Aku minta maaf, Riri...batinku. Aku bener-bener nggak bisa membalas perasaan dan perhatianmu. Itulah kenapa aku cuek, supaya gadis itu tak lagi banyak berharap padaku, yang jelas-jelas tak bisa menjanjikan apa-apa padanya.
Sidoarjo, 120122

Comentário do Livro (38)

  • avatar
    LUTFILKS

    bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    mlmnovita

    bagus banget

    26/06/2023

      0
  • avatar
    FizHafiz

    ini agar luar biasa a

    30/03/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes