logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Siapa Perawat Itu?

“Tadi ada seorang wanita duduk di atas peti yang akan kita bawa,” Diding mulai menjelaskan, “Dia bilang dia temanmu!”
Dika terdiam, mana ada teman wanitanya duduk di atas peti seakan tak ada tempat lain untuk dia duduki.
“Yang mana?” tanya Dika mencoba memastikan.
“Tadi ada, tapi sepertinya dia sudah turun!” tegas Diding lalu kembali duduk menghadap ke depan.
“Oh, iya. Mungkin anak gudang!” Dika mencoba berbaik sangka dan mulai menikmati lagi pemandangan sekeliling jalan menuju Kediri yang dia lalui siang menjelang sore itu.
Setiap menuju Kediri, dia selalu melalui jalan Lawang-Batu-Kediri karena jaraknya jadi lebih dekat ketimbang mengambil arah Lawang-Watu Kosek-Mojoagung yang memutar dengan pemandangan yang mononton.
Dijalan Batu sesekali dia turun untuk membeli minuman hangat dan menikmati pemandangan alam Kota Batu yang dipenuhi tanaman hijau memanjakan mata.
“Kau pernah lewat jalur ini?” tanya Dika pada kernetnya yang terus saja memandang sekeliling menikmati pemandangan.
“Belum, ini pertama kalinya aku pergi naik pick up lewat Batu!” ujar Diding lalu menyandarkan punggungnya di jok mobil.
“Kalau kau tak pernah melintas di jalan ini bagaimana kalau sampai ada apa-apa?” gumam Dika yang mulai kesulitan melihat jalan raya yang mulai tertutup kabut sore itu.
“Iya, aku masih baru. Tapi aku bisa kok membantumu melihat jalan, lagi pula hari masih terang!”
Dika terdiam sesaat, di matanya jalan terlihat gelap dan penuh kabut, “Bagaimana mungkin jalanan terang?” ujar Dika lalu memutar bola matanya kearah Diding.
“Kenapa memangnya?” tanya Diding heran melihat wajah Dika yang tak ramah.
“Jalanan ini terlihat gelap di mataku, kabut semua!”
Diding langsung terperanjak, dia tak mengerti apa yang terjadi pada supir di sampingnya ini, “Kau sudah cuci muka belum?” tanyanya berharap Dika tidak sedang dalam keadaan mengantuk.
“Kenapa aku harus cuci muka?” tanya Dika sambil memajukan dagunya kearah kaca mobil agar dia bisa melihat jalan di depannya.
“Kepinggir dulu!” pinta Diding yang mulai ketakutan.
“Kenapa?” tanya Dika lalu menuruti permintaan kernetnya itu.
Diding lalu mengelurakan sebuah botol air mineral berisi air kemudian menyodorkannya kearah Dika, “Cuci mukamu dulu, kau pasti sedang mengantuk!” tegas Diding.
Dika menurut, dia lalu turun dari kursi kemudianya lalu berjalan menuju kaca tempat Diding duduk, tanpa banyak bertanya dia segera menengadahkan tangannya dan Diding menuangkan air ke tangan supirnya ini.
Byuuur....
Dika segera mengangkat telapak tangannya yang penuh air ke wajahnya, seketika pandangannya yang penuh dengan kabut berubah terang benerang dan seperti yang dikatakan Diding diapun mulai bisa melihat dengan jelas.
“Kau benar!” tegas Dika membelalakkan matanya.
“Apa aku bilang, kau mengantuk, Pak Supir!” canda Diding lalu meminta Dika bergegas melanjutkan perjalanan mereka karena dia khawatir terjadi hal buruk pada tugas pertamanya hari ini.
Dika menurut saja, dia segera menyalakan mesin mobilnya lalu melajut menuju kota Kediri.
**
Kediri.
Setiba di Kediri, Dika langsung menuju Rumah Sakit Daerah Pare, daerah ini belum terlalu jauh dari dari perbatasan sehingga Dika bisa segera pulang ke Malang.
Saat itu jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam dan tapi mata Dika sudah sangat mengantuk.
“Kemana kita sekarang?” tanya Diding saat mobil yang membawa pesanan peti mati itu memasuki halaman rumah sakit.
“Sepertinya kita harus melapor pada petugas keamanan yang bertugas!” tegas Dika yang sudah parkir dan bersiap turun untuk mengantarkan pesanan peti matinya.
Rumah sakit nampak sangat sepi, di halaman tak nampak seorangpun yang berlalu lalang. Melihat kondisi rumah sakit yang sangat sepi, Diding mulai merinding dan berharap tak terjadi lagi hal menakutkan seperti saat mereka baru tiba di Batu tadi sore.
“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Diding yang membuka pintu mobil dan beranjak turun.
Pemuda itu nampak sangat ketakutan terlebih sesekali suara burung hantu terdengar sangat jelas di telinganya.
“Kau pernah kesini?” tanya Diding lagi berharap Dika tak salah tempat.
“Aku sudah pernah kemari, jadi ini pasti tempat yang benar!” tegas Dika mencoba membunuh rasa takutnya sendiri.
Diding mulai menenangkan dirinya dan melangkah menuju pintu rumah sakit untuk memastikan apa yang dikatakan Dika tadi dan benar saja, bagian dalam rumah sakit sangat ramai tak seperti saat dia berada di halaman.
“Permisi,” sapa Diding lalu menghampiri seorang perawat yang kebetulan melintas di depannya.
“Iya, ada yang bisa kami bantu?” tanya perawat itu merasa asing pada Diding.
“Kami kurir peti mati, kemana kami harus mengantarkan petinya, ya?” tanya Diding berharap tugas pertamanya ini segera berakhir.
“Oh, sebelah sana” tunjuk perawat lalu menunjuk kearah kamar mayat yang berada tak jauh dari tempat Dika memarkirkan mobilnya.
Diding mengangguk lalu berkali-kali mengucap terima kasih pada perawat yang dia temui, pemuda itu kemudian melangkah keluar dari gedung rumah sakit lalu melangkah dengan senyuman kearah Dika.
“Mas, sebelah sana!” tunjuk Diding pada kamar mayat yang tadi di tunjukkan perawat.
“Iya, kau benar!” tegas Dika yang sibuk membuka terpal penutup peti mati yang dia bawa.
“Kenapa tadi tak tampak mataku, ya?” tanya Diding merasa bingung, “Tadi sungguh aku tak melihat ruangan itu!” lanjutnya lalu mendekati kamar mayat untuk meminta tanda terima dari petugas jaga di kamar itu.
“Tunggu, kau harus pergi bersamaku,” cegah Dika dengan mata melotot.
“Oh, maaf. Aku lupa jika kita harus pergi bersama!” tegas Diding lalu memutar badannya yang terus saja merinding.
“Baiklah itu petugasnya, aku pernah bertemu dengannya sebelumnya!” ujar Dika yang mempercepat langakahnya menuju petugas.
Tak lama kemudian peti mati segera di turunkan dari mobil yang dikendari Dika membuatnya merasa sangat lega akhirnya tugas kali ini juga bisa dia selesaikan dengan baik.
“Ding, aku ke toilet dulu. Sebentar ya,” ujar Dika lalu berjalan cepat menuju toilet yang dia ingat berada di belakan kamar mayat.
Diding yang menunggu Dika kembali kemudian membakar korek untuk menyalakan rokok yang menyelip di sela jemarinya.
“Rokok dulu saja!” ujar Diding sambil mulai menikmati rokok di tangannya.
“Mas, Dika mana?” tanya sesosok wanita yang mengenakan pakaian perawat dan berdiri tak jauh dari tempat Diding duduk.
“Oh, Mas Dika sedang ke tolet, itu toiletnya di belakang kamar mayat!” tutur Diding yang tak beranjak dari tempat duduknya.
Wanita itu lalu mengikuti petunjuk dari Diding dan melangkah cepat kemudian menghilang dari pandangan pemuda itu.
Merasa aneh dengan kehadiaran wanita berbaju perawat itu Diding akhirnya terus memandangi jalan yang dilalui wanita tadi.
“Sepertinya aku kenal wanita itu?” gumam Diding lalu kembali menikmati sisa batang rokok di tangannya.
“Ding, rokokmu masih banyak?” tanya Dika yang melangkah mendekat kearah Diding.
“Dikit lagi, Mas.” Diding mengangkat tangannya menunjukkan sisa rokok yang tinggal dua kali hisap lagi pasti habis.
“Ya sudah, habiskan dulu saja!” tutur Dika lalu duduk di samping kernetnya itu.
Malam semakin malam dan suasana semakin sepi saja, Diding yang akhirnya mematikan rokoknya lalu berdiri tepat di depan Dika yang masih terduduk, “Mas, tadi ketemu perawat?” tanya Diding dengan nada yakin.
“Perawat? Siapa?” tanya Dika yang tak mengerti.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    KasmisantyAndi

    semangat nulisnya thor... sy suka ceritanya gak serem2 amat

    24/02

      0
  • avatar
    Darma Darma

    bagusss

    03/04/2023

      0
  • avatar
    Claudya Sawai

    good

    03/03/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes