logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Teman Yang Mana?

Dengan mengantongi doa dari ibu mertuanya, Dika bergegas pergi menuju tempat dia bekerja. Seperti janjinya pada kepala produksi dia akan datang sebelum makan siang agar dia bisa membantu pekerjaan gudang berharap mendapatkan sedikit upah tambahan.
“Kau sudah datang?” tanya kepala produksi saat pemuda tampan ini selesai memarkirkan pick up-nya.
“Iya, lumayan aku bantu-bantu dulu saja dari pada diam di rumah!” ujar Dika lalu melinting ujung kemejanya untuk mulai bekerja.
“Iya, aku sudah siapkan uang makan siang sama uang rokok untukmu. Ini!” ujar kepala produksi lalu menyodorkan selembar uang lima puluh ribu kearah Dika.
“Alhamdulillah!” tutur Dika lalu memasukkan lembaran uang itu ke dalam saku bajunya.
“Tugasmu hanya angkat peti-peti ini ke bagian utara gudang ya. Ini ada lima,” tunjuk kepala produksi menjelaskan pekerjaan untuk Dika siang itu.
“Siap, Pak. Terima kasih!” jawab Dika lalu berjalan mendekati teman-teman kerjanya yang siap untuk melakukan perintah kepala produksi.
Memang semenjak bekerja di pabrik ini, Dika sangat disayangi oleh kepala produksi. Maklum, pria 31 tahun ini adalah seorang yatim piatu dan terlebih dia adalah pegawai yang tak pilih-pilih dalam bekerja.
Itulah kenapa dia betah bekerja di tempat ini meski kesan dari tempat ini sangat angker.
“Dika, ayo makan siang!” panggil kepala produksi saat semua peti berhasil dipindahkan Dika bersama teman-temannya.
“Iya, Pak!” sahut Dika lalu menepuk bahu teman-temannya untuk ikut makan siang di warung dekat pabrik.
“Cepat!” ulang kepala produksi seperti akan mengatakan sesuatu yang penting pada pemuda ini.
“Ada apa, ya. Tumben!” tutur Dika lalu mempercepat jalannya mendahului teman-temannya yang masih sibuk merokok di dalam gudang.
Dika lalu berjalan seirama dengan langkah kaki kepala produksi yang bersiap untuk menyampaikan sesuatu pada dirinya.
“Nak, apa kau merasakan sesuatu yang ganjil beberapa hari ini?” tanya pria paruh baya itu membuat Dika mulai mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
“Maksud, Bapak?” tanya Dika pura-pura tak mengerti.
“Sepertinya ada masalah dengan hidupmu,” lanjut kepala produksi lalu berjalan masuk ke dalam warung yang belum ramai di datangi pegawi pabrik yang lain.
“Masalah apa?” tanya Dika lagi mengorek maksud pembicaraan mereka siang itu.
“Aku merasa beberapa kali mobilmu bermasalah!”
“Wah? Pasti dia memeriksa mobilku,” batin Dika mulai memahami apa yang sedang di bahas.
“Iya, memang. Aku sempat di beritahu pegawai Rumah Sakit Araya soal itu!” jelas Dika yang tiba-tiba ketakutan.
“Ini pasti tentang mendiang istrimu!”
“Oh, tidak. Bagaimana pria ini tau apa yang terjadi padaku!” batin Dika semakin tak tenang.
“Jadi saya harus bagaimana?” tanya Dika berharap mendapatkan solusi.
“Kau tak boleh menikah dulu, Dika!” ujar kepala produksi seperti dapat membaca pikiran pria tinggi besar ini.
“AH, tidak. Mana mungkin aku menikah cepat-cepat!”
“Hahahaha!” Tatapan mata kepala produksi tiba-tiba menajam kepada Dika, “Aku juga pernah ada di posisimu, Nak.”
Duuss...
Pipi Dika seperti tertampar, dia tak menyangka pria paruh baya yang selama ini dianggapnya hanya seorang kepala produksi biasa ternyata memiliki kemampuan supranatural yang tak dia duga.
“Jadi saya harus bagaimana?” tanya Dika sambil menundukkan pandangannya.
“Jangan menikah dulu atau rumah tangga keduamu juga akan semerawut!”
Dika menghela nafas panjang, memang dia juga tak mau untuk buru-buru menikah, tapi ancaman Duma yang tadi siang tentu tak bisa dia sepelekan.
“Aku harap aku bisa bertahan, semoga saja!” ujar Dika penuh harap lalu mulai memesan makanan.
“Jangan kalah sama perempuan. Laki-laki yang tak bisa menahan ego betianya maka dia akan selamanya ada dalam cengramannya!”
Dika mengangkat dagunya, rasanya semua yang dikatakan kepala produksi benar adanya. Dia terlalu lemah kepada Duma hingga rela diinjak serendah ini dan jadi menuruti perkataan jahat adik iparnya itu yang jelas-jelas adalah biang keladi dari semua kesialan yang dia alami belakangan ini.
“Makan dulu, setelah itu baru pikirkan apa yang harus kau lakukan setelah ini!” tutur kepala produksi sambil menyodorkan piring berisi lauk pauk pesanana Dika yang siap dia santap.
“Baik, setelah ini saya berangkat ke Kediri saja, biar pulangnya tak kemalaman!”
Kepala produksi mengangguk, dia sebenarnya tau pria tampan ini terpengaruh akan perkataannya namun dia juga tau jika pria ini masih tak tau apa yang seharusnya dia lakukan untuk menghindari kesialan yang masih mungkin terjadi padanya.
“Dika, peti yang harus kau antar sudah di atas pick up!” seru seroang pegawai gudang sambil melambaikan surat jalan untuk Dika.
“Oh, baiklah. Terima kasih. Aku akan berangkat sekarang!” ujar Dika lalu memasangkan terpal di atas peti mati yang harus dia antar siang ini.
“Hati-hati di jalan, Dika!” tutur pegawai gudang itu lalu membalikkan badanya dan melangkah kembali ke kantornya.
Dika mengangguk lalu membuka pintu mobilnya untuk mulai bersiap menghidupkan mesin mobilnya.
Dukk...
Seseorang tiba-tiba membuka pintu mobil sisi kiri membuat Dika memutar bola matanya kearah seorang pria muda berusia kisaran dua puluhan tahun yang kemudian langsung duduk di samping Dika.
“Kau siapa?” tanya Dika lirih.
“Aku? Kernet!” ujar pemuda itu begitu meyakinkan.
“OH, aku sekarang sudah punya kernet!” ujar Dika lalu tersenyum bangga pada dirinya sendiri.
“Kau kan sudah lama bekerja di perusahaan ini, masa kau tak boleh punya kernet!” ujar pemuda itu lalu menepuk bahu Dika yang kemudian memutar kunci mobilnya.
Memang di perusahaan ini setiap supir tak langsung dapat naviator alias kernet, mereka harus bekerja baik dulu dalam beberapa bulan barulah mereka dapat bekerja dengan kernet yang sebenarnya memiliki banyak sekali fungsi, seperti membantu menentukan arah mobil hingga membantu mengangkat peti mati yang tak ringan.
“Baiklah kita berangkat!” tutur Dika yang berhasil menyalakan mesin mobilnya tanpa masalah.
“Wah, kau keren juga, ya!” puji kernet Dika saat melihat foto Dika yang tertempel di visor surya di depan kursi penumpang.
“Hey, kau ini. Jangan buka-buka!” geram Dika melihat kernetnya begitu lancang, “Siapa namamu, kita belum kenalan?” tanya Dika memulai pembicaraannya sambil menutup visor suryanya.
“Aku, Diding. Sepertinya kita tetanggaan!”
“Tetangga di mana?” tanya Dika sambil terus berkonsentrasi dalam menyetir.
“Aku tinggal di samping rumah mertuamu, Mas. Aku bahkan sempat melihat saat istrimu tergelincir dari balkon!”
Deg...
Jantung Dika tiba-tiba berhenti, dia tak menyangka ada yang memperhatikan kejadian malam mengenaskan itu.
“Sungguh!” Dika mengembalikan kesadarannya dan kembali menyetir dengan tenang.
“Iya, aku sempat lihat istrimu berjalan kearah balkon lalu tergelincir, tapi sepertinya ada seseorang di sana...,” Diding menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
“Iya, tapi sudahlah. Kita bicarakan yang lain saja!” ujar Dika sambil mencari topik pembicaraan lain yang lebih menyenangkan.
“Oh yang di belakang tadi temanmu, ya?” tanya Diding lalu menunjuk kearah bak pick up.
“Teman? Yang mana?” tanya Dika tak mengerti

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    KasmisantyAndi

    semangat nulisnya thor... sy suka ceritanya gak serem2 amat

    24/02

      0
  • avatar
    Darma Darma

    bagusss

    03/04/2023

      0
  • avatar
    Claudya Sawai

    good

    03/03/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes