logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Cerita Ibu-Ibu Komplek Perumahan

Misteri di Rumah Bidan Lina
Part 4
***
Ke arah mana ya, tadi Dila pergi? Alangkah cepat sekali dia berjalan, seperti lari saja. Padahal kan belum ada satu menit waktu tadi aku memakai sandal, soalnya buru-buru ingin melihat dia berjalan ke sebelah mana. Aku membatin seraya tak habis pikir.
Dengan perasaan yang masih keheranan, aku lalu berusaha sekali lagi mencari keberadaan Dila. Aku berjalan keluar teras depan rumah Bu Lina sampai ke jalan gang dan berdiri di sana. Maksudnya supaya bisa melihat lebih jauh lagi jangkauan penglihatan mata ini.
Aku lantas mengitari pandangan ke sekitar komplek, tentu saja yang bisa dijangkau oleh penglihatanku. Melihat dengan saksama setiap gang yang ada di depan sana, sembari mempertajam penglihatan dengan memicingkan mata. Tapi Dila tetap tak tampak lagi batang hidungnya. Sama sekali aku tak bisa melihat bayangan perempuan itu.
Cepat sekali perginya perempuan muda itu. Padahal hanya beberapa detik diri ini tadi tak melihatnya berjalan ke arah depan, sebab aku sedang memakai sandal. Atau Dila tadi masuk ke salah satu gang yang ada di depan itu ya? Ada kemungkinan juga sih dia memang masuk ke salah satu gang tersebut. Jadi dia tak akan butuh waktu lama untuk sampai ke komplek perumahan sebelah.
Dengan masih merasa heran, aku lalu kembali ke teras depan rumah Bu Lina dan duduk di sana. Sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Semilir angin yang berembus, membuat diri ini menjadi mengantuk. Ditambah lagi dengan cuaca yang tak begitu panas seperti hari biasanya, sangat mendukung mata untuk segera terpejam.
Aku memang sedang sedikit mengantuk tadi. Karena tak ada lagi pekerjaan yang harus aku lakukan. Hingga tak menyadari kedatangan Dila. Tiba-tiba saja perempuan muda itu sudah berdiri di depanku. Tapi masa iya sampai segitunya? Aku kan belum sampai tertidur, jadi masih bisa mendengar dengan sangat jelas kalau hanya sebatas suara langkah kaki orang. Tapi tadi sama sekali aku tak mendengar suara langkah kaki Dila saat dia berjalan menuju ke teras depan rumah Bu Lina. Aneh sekali.
"Nggak baik loh anak gadis sering melamun, Mbak Nopi. Nanti jauh jodoh," kata Bu Warni yang lewat di depan rumah Bu Lina. Terlihat dia senyum-senyum menggoda, seraya mencolek tangan Bu Asih yang berdiri di sampingnya. Mereka sudah kembali rupanya.
Aku tersenyum malu karena ketahuan sedang melamun.
"Saya nggak sedang melamun kok, Bu. Saya ini sedang ngantuk, soalnya angin sama udaranya sangat mendukung untuk tidur," kataku beralasan.
"Eh … sudah pulang lagi, Bu? Kok cuma sebentar perginya?" tanyaku kemudian, sekadar basa-basi, menghilangkan sedikit rasa malu.
"Sedang nggak melamun kok Mbak Nopi ditanya beberapa kali diam saja," kata Bu Asih sembari terkekeh.
Seketika wajahku menjadi panas karena malu ketahuan sudah berbohong. Mungkin kalau ada cermin aku bisa melihat wajah ini memerah.
"Masa iya sih Bu, saya nggak jawab waktu Ibu tanya? Memangnya tadi Bu Asih tanya apa ke saya?" tanyaku.
Bu Warni dan Bu Asih tambah terkekeh mendengar pertanyaanku. Membuat aku merasa heran, apa sebetulnya yang sedang mereka berdua tertawakan.
"Nah … kan. Masa kalau Mbak Nopi nggak sedang melamun, nggak dengar apa yang tadi kami tanya?" kata Bu Warni, masih dengan terkekeh.
Aku tersenyum sambil merasa kikuk.
"Iya deh, Bu. Saya mengaku sekarang. Tadi itu saya memang sedang melamun," kataku akhirnya, daripada terus digoda oleh kedua ibu yang ada di depanku ini.
"Memangnya Mbak Nopi sedang ngelamunin apa, Mbak? Sampai ditanya sama kami berdua nggak dengar?" tanya Bu Warni.
Aku kemudian menceritakan tentang kepergian Dila, yang menurutku sangat aneh.
"Padahal tadi saya nggak sampai dua menit pakai sandal, tapi perempuan itu sudah nggak kelihatan lagi. Aneh banget," ucapku di akhir cerita.
"Mungkin dia tadi jalannya sambil lari, Mbak. Biar cepat sampai ke rumah. Jadi Mbak Nopi nggak sempat lihat ke arah mana dia perginya," kata Bu Warni setelah aku selesai bercerita. Bu Asih tampak mengangguk mengiyakan.
Aku manggut-manggut. "Iya mungkin, Bu."
Kami lalu berbincang sebentar soal Dila. Setelah itu kedua ibu tetanggaku tersebut pamit pulang.
***
Sampai saat terdengar suara azan zuhur berkumandang, tak ada lagi pasien yang datang berkunjung ke rumah Bu Lina, hanya Dila seorang. Aku lalu pergi ke kamar, setelah sebelumnya menutup dan mengunci pintu ruang praktik.
Segera aku mengambil air wudu lalu mendirikan salat zuhur. Setelah selesai, aku lalu pergi ke dapur untuk makan siang. Tadi pagi, sebelum berangkat ke puskesmas Bu Lina berpesan, agar aku makan saja terlebih dahulu apa yang ada di dapur, dan tak perlu menunggu dia dengan Edo pulang.
Aku membuka tudung saji. Terhidang di atas meja makan semangkuk tumis kacang panjang dicampur dengan kol, beberapa potong ayam goreng, sambal tomat dan lalapan serta kerupuk udang di dalam toples berukuran sedang. Rajin juga ternyata Bu Lina, aku membatin.
Sebelum berangkat ke puskesmas, dia sudah terlebih dulu memasak untuk menu sarapan sekaligus untuk makan siang. Mungkin karena tak ada seorang ART di rumah ini. Sedangkan dia harus menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, sebelum mereka melakukan aktivitas.
Segera aku mengambil nasi beserta lauknya lalu mulai makan perlahan. Masakan Bu Lina ternyata lumayan enak, terutama sambal tomatnya, rasanya pas di lidahku. Aku sangat menikmatinya.
Ketika diri ini sedang asik makan, tiba-tiba terdengar suara bel pintu depan berbunyi. Bergegas aku beranjak dari duduk dan menuju ke depan. Barangkali itu Bu Lina dan Edo yang datang, pikirku.
Cepat-cepat aku membuka pintu depan, tapi tak tampak siapa pun di luar, saat pintu sudah terbuka. Dengan rasa penasaran, aku lalu mengelilingi rumah Bu Lina. Barangkali saja dia lewat pintu belakang, karena tak sabar menunggu pintu depan dibuka. Tapi tak juga ada siapa pun di sekitar rumah.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, sembari berjalan kembali ke depan. Aneh sekali. Padahal aku mendengar dengan sangat jelas suara bel pintu depan berbunyi. Atau aku yang salah dengar, karena terlalu asik makan? Entahlah.
Setelah menutup pintu dan menguncinya lagi, diri ini lalu kembali meneruskan makan siang yang tadi sempat tertunda. Kali ini aku tak mau lagi sambil melamun, agar aku bisa mendengar dengan jelas setiap suara yang ada.
Ting … tong … ting … tong ….
Kembali terdengar suara bel pintu berbunyi. Ketika aku baru saja selesai mencuci piring dan gelas yang bekas dipakai. Aku melihat jam yang menempel di dinding dapur. Waktu telah menunjukan pukul satu siang. Pasti itu Bu Lina yang datang, aku membatin.
Dengan setengah berlari aku menuju ke depan lalu membuka pintu. Tapi lagi-lagi tak ada siapa pun saat pintu sudah terbuka. Tiba-tiba aku merinding, dan kepalaku dipenuhi dengan pikiran yang macam-macam.
[Apa jangan-jangan rumah Bu Lina ini ada hantunya ya? Seperti yang pernah aku dengar dari beberapa tetangga yang bercerita, saat mereka sedang berbelanja sayuran di Mang Supi]
***
Bersambung

Comentário do Livro (310)

  • avatar
    Syaliza

    the best story..saya baca dalam masa sehari ja🤣memukau betul cerita dia..suka sangat..inilah nama dia..cerita yg hidup😂teruskan menulis dan buat cerita yang lebih mantapp..wookkkeyyy🥰

    03/02/2022

      2
  • avatar
    ApriliusBelva

    alur ceritanya bagus-bagus mudah di mengerti dan ga buat bingung si pembaca 😘

    30/01/2022

      1
  • avatar
    BangYudha

    Mantap! jalan ceritanya antara horror dan sedikit misteri buat hati jadi sangat penasaran bacanya

    30/01/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes