logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Ke Mana Perginya Dila?

Misteri di Rumah Bidan Lina
Part 3
***
Aku berusaha menenangkan diri, dengan cara mengatur napas dan degupan jantung yang tak beraturan. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Begitu aku lakukan hal itu berulang kali. Meskipun jujur saja, aku merasa sangat ketakutan. Jantung ini seperti mau copot rasanya, saking merasa takut. Sementara itu suara gedoran di pintu kamar mandi masih saja terdengar.
"Siapa di luar?" tanyaku memberanikan diri dengan suara keras, setengah berteriak, setelah aku merasa agak tenang. Napas dan degupan jantungku mulai teratur, meskipun belum sepenuhnya normal kembali.
Tak ada yang menyahut dari luar pintu dan suara gedoran di pintu kamar mandi seketika berhenti. Hening beberapa saat. Aku berusaha mempertajam telinga, agar bisa mendengar dengan lebih jelas, barangkali saja ada yang bisa aku dengar, siapa yang ada di luar pintu kamar mandi.
"Siapa di luar?" Kembali aku mengulang pertanyaan, dengan suara teriakan yang lebih keras dari yang pertama tadi.
Tetap tak ada yang menyahut dari luar pintu. Dengan mengatur napas terlebih dulu, perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Lalu, aku menjulurkan kepala keluar. Melihat ke arah kiri dan kanan pintu kamar mandi. Tapi tak terlihat siapa pun yang berada di luar.
[Siapa sebetulnya yang tadi menggedor pintu kamar mandi ini? Nggak mungkin aku salah dengar, suara itu jelas sekali. Aku belum tuli, telingaku masih berfungsi dengan baik. Lagipula kamar mandi ini kan kecil jadi suara gedoran tadi terdengar dengan sangat jelas. Atau … jangan-jangan di rumah Bu Lina ini ada hantunya? Hii …]
Bergegas diri ini keluar dari kamar mandi dan segera menuju ke rumah utama Bu Lina. Kemudian cepat-cepat pergi ke ruang praktik. Aku lalu duduk di teras depan. Tak berani aku masuk lagi ke ruangan dalam rumah Bu Lina.
"Loh … Mbak Nopi sedang ngapain di sini?" tanya seorang perempuan mengagetkanku, setelah sekitar sepuluh menit aku duduk di teras depan.
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata ada Bu Warni, tetangga samping rumahku. Dia sedang berdiri dengan Bu Asih sembari memandangku.
"Eh … Bu Warni, Bu Asih. Mau pada ke mana, Bu? Saya kerja di sini sekarang, Bu," jawabku seraya tersenyum ramah.
"Ohh … jadi Mbak Nopi kerja di rumah Bu Lina sekarang? Mulai kapan, Mbak?" tanya Bu Asih.
Aku mengangguk. "Iya, Bu. Baru tadi pagi saya datang ke sini."
"Waahh … kalau gitu kita bisa suntik KB di sini aja, Bu Asih. Kan ada Mbak Nopi, nggak harus ketemu sama Bu Lina yang judes itu. Sebetulnya kalau Bu Bidan mukanya nggak judes kayak gitu, kita mending suntik KB di sini yang dekat, Mbak Nopi. Daripada pergi suntik KB ke tempat yang jauh, toh obat yang dimasukan sama aja. Ya nggak, Bu Asih?" kata Bu Warni sembari cekikikan. Disambut oleh Bu Asih.
"Iya betul apa yang dibilang Bu Warni, Mbak. Kami itu malas kalau mau suntik KB atau berobat di sini. Soalnya muka Bu Lina judes banget, nggak ada ramahnya sama sekali. Padahal kalau dia mau sedikit ramah, semua Ibu-Ibu di komplek ini yang mau suntik KB, saya rasa pasti mending datang ke sini aja yang dekat," kata Bu Asih menimpali.
"Bilangin ke Bu Bidan, Mbak Nopi. Yang ramah sedikit sama pasien, biar pasien-nya banyak," ujar Bu Warni.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka berdua. Dalam hati aku membatin, mana berani aku memberitahu Bu Lina tentang hal yang dikeluhkan oleh Bu Warni dan Bu Asih.
Kami lalu mengobrol beberapa saat seputar pekerjaanku di rumah Bu Lina. Bu Warni dan Bu Asih menanyakan tentang beberapa hal terkait pekerjaanku. Aku tinggal di rumah Bu Lina atau pulang pergi, kapan aku libur, apa saja tugasku dan semacamnya.
Setelah mereka berdua merasa puas bertanya tentang banyak hal padaku, Bu Warni dan Bu Asih pun lantas meneruskan perjalanan, entah mau ke mana mereka. Aku tadi tak sempat bertanya.
Aku mengamati sekeliling rumah Bu Lina. Suasana sepi sekali ketika siang hari begini. Apalagi rumah Bu Lina terletak di paling ujung dari komplek perumahan ini. Rumah yang berada di sebelah dan di depan rumah Bu Lina pun sepertinya tak berpenghuni. Aku melihat pintu dan jendelanya tertutup rapat. Rumput di depan rumahnya pun sudah tumbuh tinggi, seperti sudah lama tak dipangkas.
"Selamat siang, Bu."
Tiba-tiba terdengar suara seseorang. Aku tersentak kaget. Tiba-tiba di depanku telah berdiri seorang perempuan, berumur sekitar 20 tahun. Wajahnya lumayan cantik, namun terlihat dingin tanpa ekspresi. Dengan rambut hitam sebahu dan tingginya sepertinya sama denganku.
Sambil mengucek mata, aku memperhatikan perempuan yang sedang berdiri di depanku itu. Juga untuk memastikan kalau penglihatanku benar dan tidak sedang bermimpi.
[Dari arah mana perempuan ini datang ya, dan sejak kapan dia sudah ada di sini? Kenapa aku sampai nggak tahu kapan datangnya? Apa karena tadi aku sedang melamun, sampai nggak menyadari kalau ada orang yang datang?]
Entahlah, aku merasa begitu heran dan bingung. Sepertinya aku juga baru pertama kali melihat perempuan itu. Kalau tak salah ingat, tak ada orang di komplek perumahan ini seperti perempuan itu. Atau mungkin dia penghuni baru di komplek ini? Atau warga di luar komplek?
"Selamat siang, Bu," ucap perempuan itu lagi sambil menatapku.
"Oh … eh … selamat siang, Mbak," kataku gugup. "Ada apa ya, Mbak?" tanyaku, sambil masih merasa heran dan bingung dengan kedatangan perempuan tersebut, yang secara tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku.
"Saya mau beli pil KB, Bu," jawabnya, dingin tanpa ekspresi.
Aku mengerutkan kening. Beberapa saat aku bergeming.
"Bu, saya mau beli pil KB. Apa di sini ada?" tanya perempuan itu lagi, membuatku tersadar.
"Ohh … eh … iya ada. Coba mana kartu KB-nya, Mbak?" tanyaku.
"Saya belum punya kartu KB, Bu. Tiap kali saya beli pil KB di sini, nggak pernah dikasih kartu sama Bu Lina," jawab perempuan muda itu.
Aku mengernyitkan dahi. Masa iya sih Bu Lina tak memberi kartu KB padanya? Padahal kan setiap akseptor KB seharusnya mempunyai kartu KB tersebut.
Aku lalu mengajak perempuan itu masuk ke ruang praktik. Kemudian aku memintanya agar menimbang berat badan. Kemudian aku mengukur tekanan darahnya, hasilnya normal 110/70 mmHg. Setelah selesai, aku lalu membuatkan kartu akseptor KB untuknya. Dia bernama Dila, berumur 20 tahun. Dia lalu pamit setelah membayar jasa medis yang aku minta.
Dila bilang kalau dia tinggal di komplek perumahan sebelah, pantas saja jika aku belum pernah melihatnya selama ini. Aku bermaksud akan mengantar Dila sampai teras depan, ingin tahu ke arah yang sebelah mana lokasi rumahnya. Tapi ketika aku selesai memakai sandal, diri ini sudah tak melihatnya lagi. Ke mana perginya Dila?
***
Bersambung

Comentário do Livro (310)

  • avatar
    Syaliza

    the best story..saya baca dalam masa sehari ja🤣memukau betul cerita dia..suka sangat..inilah nama dia..cerita yg hidup😂teruskan menulis dan buat cerita yang lebih mantapp..wookkkeyyy🥰

    03/02/2022

      2
  • avatar
    ApriliusBelva

    alur ceritanya bagus-bagus mudah di mengerti dan ga buat bingung si pembaca 😘

    30/01/2022

      1
  • avatar
    BangYudha

    Mantap! jalan ceritanya antara horror dan sedikit misteri buat hati jadi sangat penasaran bacanya

    30/01/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes