logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5 Diakah Istriku

Tidak terasa aku menangisi Melodi sampai tertidur. Aku menggeliat dan menengok jam beker di atas meja. Jarumnya sudah menunjukkan pukul lima sore. Apa waktu ashar masih ada?
Aku bergegas mengambil air wudhu. Kutemui Rabbku. Ampuni hamba-Mu ini, yang ingin menemui hanya di kala kesusahan saja. Kuadukan semua dalam sujud panjang. Menanti jawaban atas keberadaan Melodi yang tak dapat kujangkau.
"Pah, Pah …," panggil Dion.
"Iya, Sayang."
"Papa bohong! Mama kok, enggak pulang-pulang?"
"Dion sudah makan belum?" tanyaku mengalihkan.
"Ion lapel,” keluhnya.
"Yuk, kita makan,” ajakku. Aku menggendongnya menuju meja makan. Kubuka kurung saji dan … isinya hanya angin.
“Pah, makan apa?”
“Nenek kemana, ya?”
“Nenek tadi main di Bi Leni,” jawab Dion.
Ibu lagi apa sih, di rumah tetangga? Sampai lupa masak. Padahal tadi pagi sudah aku kasih uang buat belanja sayur. Aku susuli ibu yang ternyata sedang asyik mengobrol.
"Alhamdulillah, ya? Si Mel sudah pergi dari rumah," ucap Bi Leni.
"Iya, moga nggak balik lagi," timpal Bi Asih, masih tetanggaan.
"Kasihan Dion, kalau sampai balik lagi," timpal Bi Leni.
"Iya, ya? Ibu tiri dimana-mana emang sama. Jahat!" seru Ibu.
“Ekhm,” dehamku.
Kupingku panas sekali, saat dengar ibu ikut menilai Melodi. Benarkah Melodi ibu tiri jahat? Tapi, kenapa Dion justru terlihat kehilangan sekali?
“Eh, Nak Pras,” sapa Bi Asih.
“Bu, ayuk pulang!” titahku. Ibu menurut saja dan mukanya entah kenapa tampak memerah seraya menggigit bibirnya.
“Bu maaf, Ibu lupa masak bukan?” tanyaku setelah tiba di rumah.
“Iya.”
“Kasihan Dion, dia lapar katanya.”
“Oh, jadi Ibu harus masak setiap hari buat Dion, gitu? Kamu sama saja kayak Melodi menganggap ibu sebagai pembantu,” ujar ibu dengan dagu terangkat.
“Astaghfirullah, Ibu. Pras tidak bermaksud seperti itu. Maafkan, Pras!” sesalku.
Ibu melenggang masuk kamar. Mungkin marah padaku. Apa aku sudah keterlaluan? Sebenarnya Dion adalah tanggung jawabku. Memang salah, seharusnya aku tidak membebankan ini kepada ibu. Ya Allah ….
"Pah, Ion lapal," keluhnya lagi.
"Iya, Sayang. Papa masakin dulu, ya!"
Karena di kulkas hanya tersisa telur, aku ceplok saja satu butir untuk Dion. Tidak butuh waktu lama, telur ceplok sudah siap. Akan tetapi, ketika hendak mengambil nasi ternyata nasi di dalam magic com sudah terlalu kering. Bahkan mengeras.
"Yah, ini nasi kapan? Kayak yang kemarin-kemarin," gumamku.
"Kenapa, Pah?" tanya Dion saat melihatku memijit pelipis.
"Nasinya tidak ada, Sayang. Dion makan telurnya saja dulu, ya! Nanti kita beli makan di luar,” ajakku.
“Kayak Nenek.”
“Kayak Nenek? Apanya yang kayak Nenek, Ion?” tanyaku mengerutkan hidung.
“Iya, Nenek suka jajan telus.”
“Oh, Nenek suka jajan? Suka jajan apa emangnya Nenek?”
“Banyak.”
“Tadi, Nenek jajan juga?” Dion mengangguk. “Jajan apa?”
“Loti bakal Mang Dudun.” Bibirnya monyong.
“Ion dikasih?” Dion menggeleng. “Kenapa enggak mau?” lanjutku.
“Bukan. Kata Nenek lotinya pedes.”
Pedes? Adakah roti bakar rasa cabai? Seingatku Mang Dudun tidak menjualnya. Ibu-ibu … sudahlah memikirkannya membuatku berburuk sangka. Aku suapin Dion telur ceplok yang barusan aku buat.
"Aaa … yumm. Enak enggak?"
"Ih, acin!" Dion sampai bergidik.
“Asin? Masa?” Aku pun mencobanya.
"Eum …." Emang asin pemirsa.
"Kenapa sih, nggak ada yang sepelti mama?" Dion menunduk dengan raut kecewa.
"Masakan Mama, enak ya?"
"Enak sekali. Ion suka," akunya.
"Ion, memang Mama suka masak?"
"Iya."
Jangan-jangan masakan yang terhidang di meja setiap aku pulang kerja, itu Melodi yang masak? Bodohnya aku! Selalu percaya ibu yang masak. Hanya karena saat pulang kudapati ibu sibuk di dapur dan Melodi sedang santai.
Dari rasa masakannya saja, harusnya aku sudah tahu siapa yang selalu masak. Mel, apakah kamu tidak mau kembali gara-gara aku yang sering menghakimimu tanpa tahu kebenarannya?
Rasanya kesalahanku semakin tampak bagai gajah di pelupuk mata. Pantas saja jika kamu meninggalkan kami, Mel. Akan tetapi sungguh … kami ingin kamu kembali.
**
Satu semester setelah kepergianmu, Mel. Sampai sekarang tidak ada kabar, tidak ada jejak. Bahkan pihak polisi juga tidak berhasil menemukanmu. Hilangnya dirimu bagai misteri. Entah kapan akan terkuak?
Lihat rumah kita, Mel! Banyak rumput liar di halaman. Kemarin Dion berteriak, karena ada seekor ulat bulu sewaktu ia asyik main di teras. Jangan ditanya kalau didalam rumah bagaimana? Isinya bak kapal pecah, barang-barang sudah tidak pada tempatnya juga. Lantai lengket, barang berdebu dan tercium bau apek bagai tidak berpenghuni.
Lalu apa saja yang aku lakukan? Aku sibuk menyesali perlakuanku padamu. Sebuah penyesalan tidak berujung karena tidak pernah tersampaikan. Aku sibuk juga mengurus Dion, memandikannya, menidurkannya, dan memberinya makan. Kerjaanku di luar ada habisnya, tapi mengurus anak serasa tidak pernah selesai.
Lalu kemana ibu? Ibu marah padaku. Dia tersinggung saat kutanyai soal kesaharian kamu selama aku kerja. Entah aku yang salah ngomong atau ibunya yang sensitif.
“Tolong maafkan, Pras! Pras yang salah, Bu. Kalau ibu pulang, bagaimana Dion?”
“Urus saja sendiri! Biar kamu tahu rasa gimana repotnya ngurus anak. Ayo antar ibu ke terminal!”
Sebenarnya kami masih tinggal satu kota, tetapi jarak rumah ibu dan aku lumayan jauh. Menghabiskan waktu hampir dua jam. Ada transfortasi umum di terminal untuk pergi ke sana.
“Bu, Ibu di sana sama siapa? Apa ibu tidak kesepian nantinya?”
“Alah, kan ada banyak tetangga. Mereka pada baik.”
“Bu ….”
“Sudah jangan tahan-tahan Ibu! Si Melodi emang sudah membutakan mata hati kamu. Ayo, antarkan Ibu ke terminal! Kalau enggak, biar Ibu naik ojek saja,” sergahnya.
Aku pun mengantarkan ibu ke terminal dengan rasa bersalah. Tidak ada yang bisa kusampaikan lagi. Jadi ibu memutuskan pulang. Katanya lebih nyaman hidup sendiri dari pada tergantung sama anak. Sekarang aku pun mulai memikirkan untuk melanjutkan hidup kembali demi Dion. Tidak ada gunanya terus meratapi kepergian Melodi.
Aku serius memulai kerja kembali di bengkel. Dion juga mulai kumasukkan sekolah ke taman kanak-kanak, agar tidak kesepian. Untung pihak TK mau menerima, meski aku masukkan di awal semester dua. Setidaknya selama sekolah, dia tidak membuatku kewalahan. Usai sekolah baru aku bawa ia ke bengkel.
Dia akrab dengan rekan-rekan kerjaku sesama montir, akrab juga dengan beberapa pelanggan, bahkan ia akrab dengan Bos. Namanya anak-anak ada saja kelakuannya. Kadang ia rewel dan ngamuk di tengah kesibukanku.
Terpaksa sesekali aku titip ke tetangga dengan upah alakadarnya. Masih untung ada yang mau dititipkan juga. Apakah Dion mau-mau saja dititipkan? Tentu tidak. Ia suka menolak, kemudian menangis histeris sambil memanggil-manggil Melodi, "Mama … cepet pulang!"
"Saya mengerti, keadaanmu sedang sulit, tapi … kalau bawa anak terus, kerjaanmu akan terus terganggu. Sedangkan kamu tahu sendiri bengkel kita itu, bengkel besar, selalu ramai pengunjung," keluh Pak Burhan—pemilik bengkel, tempatku bekerja.
“Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong jangan pecat saya!”
“Siapa juga yang mau pecat kamu? Kamu itu montir terbaik yang saya punya. Makanya kemarin-kemarin saya sabar menunggumu balik lagi kerja."
“Iya Pak, terima kasih.”
"Begini saja, Pras. Kamu akan saya over ke cabang yang baru buka. Disana ‘kan belum terlalu ramai. Cocoklah buat keadaanmu sekarang. Cuma kayaknya, kamu tidak akan dapat banyak uang tip seperti di sini,” tuturnya.
“Tidak apa-apa, Pak. Jika itu sudah keputusan Bapak, saya ikut saja. Asal saya masih memiliki pekerjaan.”
“Baiklah. Mulai besok, ya! Kamu kerja di sana. Sudah tahu ‘kan alamatnya?”
“Iya, Pak. Siap.”
**
Hari ini, hari pertamaku kerja di bengkel cabang. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Jadi Dion bolos sekolah hari ini. Mana mungkin aku meninggalkan bengkel hampir dua jam untuk bolak balik menjemput Dion dari sekolah. Untuk besok-besok akan kupikirkan lagi jalan keluarnya.
Dion duduk sambil menyeruput es kelapa menghadap jalan raya. "Pah, Pah!" serunya tiba-tiba.
"Ada apa?" tanyaku santai.
Dion turun dari kursi langsung menghampiriku yang sedang belepotan oleh oli mobil. “Pah, tadi Mama lewat.”
"Mama?" Aku terperanjat dan langsung bangkit melihat-lihat ke luar bengkel.
"Iya, Mama." Katanya sambil mengekorku.
"Dimana, Ion?"
"Di sana, di jalan."
"Jalan mana?"
"Di mobil, Pah."
"Mamanya di dalam mobil?" Ia mengangguk, lalu menunduk. "Mungkin Dion salah lihat," sambungku.
"Itu Mama, Pah. Kenapa Mama tidak mau pulang?" Dion masih menunduk dan terisak.
Aku segera memeluknya. Tangis Dion langsung tumpah dan histeris. “Cup, cup,” ujarku sambil mengelus rambutnya.
“Mama … Mama …,” panggilnya serak.
***

Comentário do Livro (142)

  • avatar
    AjaVera

    SEMANGAT TERUSS!! APK INII BAIK SEKALIIIII LOVE YOUUU MAKASII SUDAH DI CIPTAKAN AKU JADI BISA TOP UPP

    17/08

      0
  • avatar
    MKSSultan

    jalan ceritanya sederhana tapi menarik

    11/07

      0
  • avatar
    Nurul Asyiqin

    👍👍👍👍👍👍

    06/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes