logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

DIBLOKIR SUAMI_4

#DIBLOKIR SUAMI_4
Sekarang aku kebingungan sendiri. Bagaimana menanggapi Mas Didi yang ingin menghubungiku. Meminta bantuan kepada orang lain, tapi siapa? Hampir semua temanku Mas Didi mengenalinya.
"Duh, bagaimana ini? Atau mungkin lebih baik aku beralasan pada Mas Didi kalau kamera ponselku rusak dan tidak bisa melakukan panggilan video, ya?" Aku berpikir keras mencari alasan yang hendak kukatakan pada Mas Didi.
Tiba-tiba ponselku kembali berdering. Tanda panggilan masuk lewat aplikasi pesan facebook. Setelah kulihat nama akun yang menghubungiku, ternyata Mas Didi. Panggilan videonya sengaja kuabaikan. Aku benar-benar merasa tersudut sekarang. Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menerima telepon itu.
[Kok, nggak diangkat?] Pesan masuk dari Mas Didi. Sudah kuduga sebelumnya, kalau Mas Didi hendak mengirimkan pesan kepadaku.
[Maaf, Mas! Ponsel aku ponsel biasa, nggak ada fitur kamera depan. Jadi aku nggak bisa video call.] Dengan balasan seperti itu mungkin bisa meyakinkan Mas Didi bahwa alasanku masuk akal.
[Oh, iya, nggak papa. Kalau gitu aku telepon kamu aja, ya?]
Ternyata alasanku cukup diterima oleh Mas Didi. Kemudian ia memintaku agar mengirimkan nomor WhatsApp. Untung saja nomor WhatsApp Mbak Dina yang ada di ponsel yang kupakai sudah kuganti dengan nomor yang baru. Dan sengaja aku tidak memakai nomor pribadiku yang sebelumnya hanya dapat kugunakan untuk berbalas SMS dan menerima panggilan telepon biasa saja di ponsel jadulku.
Beberapa menit setelah aku mengirim nomor WhatsAppku pada Mas Didi, ia benar-benar meneleponku.
Teleponnya sengaja kuabaikan sejenak. Aku mempersiapkan diri agar tidak gugup ketika berbicara dengan Mas Didi. Aku tidak mau penyamaranku menjadi wanita lain terbongkar saat itu juga.
"Halo," sapaku dengan suara yang kubuat-buat selembut mungkin.
"Hai, Amira. Senang berkenalan denganmu!" ucap Mas Didi genit.
Dasar buaya darat! Nggak bisa sedikit saja nggak genit ketika kenal wanita.
Obrolan kami pun berlanjut. Setelah satu jam lamanya aku dan Mas Didi ngobrol nggak jelas, akhirnya aku pamit hendak melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
Semua pembicaraan Mas Didi via telepon WhatsApp tadi sudah kurekam. Mulai dari status yang ia katakan sampai rayuan-rayuan gombal untuk mendapatkan hatiku. Di telepon tadi Mas Didi berkata bahwa ia adalah duda tanpa anak. Lantas apa status keberadaan Rasya selama ini? Mas Didi juga mengutarakan isi hatinya bahwa ia menyukaiku dan ingin menjalani hubungan lebih serius. Meski aku dan Mas Didi tidak pernah bertemu, ia rela menjalani hubungan via dunia maya.
Daripada memikirkan hal rumit, tetapi tidak bermanfaat, lebih baik sekarang aku beristirahat. Jika dipikir terlalu dalam, hatiku sakit. Wanita mana yang rela jika suaminya berselingkuh. Tak akan ada yang mau bukan?
💔💔💔
Sambil menunggu jam sekolah Rasya pulang, aku berselancar di dunia maya. Tentunya dengan akun Facebook yang baru. Sesuai tujuan awal dan janjiku pada Mbak Dina, aku mencoba untuk bergabung dengan grup-grup menulis di facebook. Setelah itu aku mencoba untuk kembali menyalurkan hobiku yang sempat terhenti.
Cerita pendek pertama berhasil kuunggah di beranda dan grup-grup kepenulisan. Tidak kusangka, banyak sekali reaksi dan komentar positif dari para pembaca. Tak sedikit juga yang memintaku untuk segera melanjutkan cerita yang kutulis meski itu cerita pendek. Awal yang baik menurutku.
Notifikasi komentar dari beberapa grup membanjiri akunku. Aku hanya bisa membaca satu persatu dan menyukai komentar para pembaca ceritaku. Tak mungkin aku membalas komentar mereka satu persatu. Belum juga satu jam aku mengunggah cerita pendek yang kubuat, aku sudah mendapatkan seribu lebih reaksi bagus.
"Mama!" Aku mendongak cepat ke arah suara.
Ternyata gadis kecilku yang memanggil. Seruannya membuyarkan konsentrasi saat aku sibuk membaca semua komentar. Dengan segera aku segera menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celanaku.
"Hai, Rasya, bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku pada anak semata wayangku dengan Mas Didi.
Rasya tersenyum manis, ia menceritakan semua kegiatan di sekolahnya hari ini. Celoteh gadis berusia sembilan tahun itu sangat menggemaskan. Sampai aku ingin sekali mencubit pipinya dengan sayang.
"Ih, Mama! Kok, pipi Rasya dicubit, sih?" protes Rasya sambil mengusap pipinya yang baru saja kucubit gemas.
"Habis kamu gemesin, deh! Yaudah, kita pulang, yuk! ajakku pada Rasya.
Baru saja aku menyalakan mesin motor, terdengar suara dering ponselku. Kumatikan kembali mesin motor yang sudah hidup dan merogoh saku celanaku untuk meraih ponsel. Satu nama terpanjang di layarnya. "Lelaki Penipu" yang tak lain adalah nama kontak Mas Didi.
Aku sangat malas menerima telepon dari Mas Didi. Maka kuputuskan untuk mengabaikan dan segera pulang ke rumah.
Di perjalanan, ponselku tak berhenti berdering. Pasti itu panggilan telepon dari Mas Didi. Sudah bisa kupastikan, saat ini ia sedang cemas karena wanita yang baru saja dikenalnya sangat sulit dihubungi.
"Ma, ponselnya dari tadi bunyi. Kenapa nggak diangkat aja teleponnya?" tanya Rasya yang kubonceng di belakangku.
Aku melihat Rasya dari kaca spion motor. Menyinggungkan senyum saat Rasya membalas tatapanku.
"Biar nanti saja di rumah. Teleponnya juga nggak penting banget, kok, Nak," jawabku pada Rasya.
Gadis yang kini duduk di sekolah dasar kelas tiga itu tampak membulatkan mulutnya.
Sesampainya di rumah, aku segera memarkirkan motor ke tempat biasa. Sedangkan Rasya sudah turun lebih dulu dan menungguku untuk membuka pintu rumah yang terkunci.
Rasya berjalan lebih dulu di depanku saat pintu terbuka. Aku mengekor di belakangnya sambil menutup kembali pintu rumah.
"Rasya, ganti seragam kamu setelah itu cuci tangan dan kaki. Mama tunggu di meja makan untuk makan siang!" perintahku pada Rasya.
"Siap, Ma!" jawab Rasya bersemangat.
Sambil menunggu Rasya, aku menyiapkan makan siang untuknya. Ketika tengah sibuk dengan peralatan masak, ponselku kembali berdering. Dapat kutebak, itu pasti Mas Didi.
Benar saja, nama kontak lelaki penipu terpampang di layar ponsel. Tak membuang waktu lagi, aku segera menerima panggilannya.
"Halo," sapaku dengan suara masih sama seperti awal Mas Didi meneleponku.
"Kok, dari tadi nggak diangkat, sih?" tanya Mas Didi dengan nada kesal.
Rupanya ia mulai emosi. Terdengar dari nada bicaranya yang sedikit menyentak.
"Maaf, Mas, tadi aku di jalan. Aku habis beli makan. Namanya juga anak rantau, Mas. Apa-apa kan mesti beli yang instan," kilahku. Sepertinya Mas Didi percaya dengan semua yang aku katakan.
"Amira, boleh aku mengunjungimu ke kota rantaumu?" tanya Mas Didi langsung. Seketika dadaku sesak. Rupanya Mas Didi nekat.
Aku kelabakan, bingung harus beralasan apa lagi.
"Ehm ... maaf, Mas ...."
Baru saja aku hendak beralasan, suara Rasya mengagetkanku. Mendadak aku terdiam, memandang ke arah Rasya. Sebelum Mas Didi menanyakan suara Rasya yang kemungkinan terdengar, maka kuputuskan terlebih dahulu sambungan teleponnya.
"Waduh, gimana kalau sampai Mas Didi mengenali suara Rasya?"
Next ....

Comentário do Livro (95)

  • avatar
    DroopNoo

    bagus

    14d

      0
  • avatar
    RifandiAch

    sangat bagus dan nyaman

    08/08

      0
  • avatar
    HarsonoToto

    mantapp

    23/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes