logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 8 PoV Yoga

Perasaanku tak karuan. Kejadian tadi siang masih membuatku syok bukan kepalang. Bagaimana tidak, saat sedang berduaan dengan Lastri, tiba-tiba pintu didobrak. Di sana sudah berdiri Pak RT, istrinya, dan Diah. Aku yang tadinya sedang dipijat, kaget sampai menembus tulang. Begitu juga dengan Lastri, dia terlihat sangat cemas. Untung saat dilabrak, Lastri berpakaian lengkap dan aku memakai celana pendek.
Biasanya sih Diah belum pulang jam segini, entah kenapa hari ini dia pulang lebih cepat. Memang sedang sial saja nasibku. Baru enak, eh ... malah ketahuan. Sebenarnya, sudah beberapa kali aku hampir ketahuan Diah. Istriku itu sangat jeli. Mungkin firasat seorang wanita memang kuat seperti itu. Namun, dulu keberuntungan masih berpihak padaku. Aku selalu lolos dan lolos.
Pernah satu kali, saat Lastri baru beres memijat, suara Diah terdengar di depan. Aku sampai lupa waktu karena pijatan Lastri yang mantap. Akhirnya, secepat kilat kusuruh dia keluar lewat pintu belakang. Saat itu, Diah sudah curiga karena aku tak sempat merapikan kasur. Belum lagi, badanku yang berkeringat sehabis dipijat. Sengaja aku minta Lastri memiijat tanpa minyak atau lotion, agar tidak meninggalkan bau.
Kemudian lagi, saat Diah marah dan tidur di tempat Mas Azka, kumanfaatkan waktu itu untuk memanggil Lastri lagi. Waktu itu kupanggil dia malam-malam, karena kalau siang takut Diah pulang pas aku sedang diservis. Malam itu, aku hampir khilaf karena melihat kemontokan Lastri. Hasratku rasanya sudah di ujung. Badannya yang semok dengan make up tebal, membuatku hampir lupa daratan. Tak ayal, kami sempat bercumb* sesaat. Untunglah aku cepat sadar diri saat melihat foto pernikahan yang tergantung di dinding. Lastri terlihat sedikit kesal karena aku menolaknya. Tampaknya, ia mulai menyukaiku. Setelah membereskan bajunya yang sempat terbuka sedikit, kusuruh ia pulang. Saat itu, aku berhutang dulu pada Lastri. Aku berjanji akan memberi dobel jika sudah ada uangnya.
Esoknya saat Diah pulang, dia beres-beres kamar. Di sana malah kancing baju Lastri tertinggal. Pasti terlepas saat kami sedang bercumb*. Tanganku tak sadar sudah melakukan itu. Ah, nasib baik aku masih bisa mengelak. Diah sudah curiga bukan kepalang.
Setelah ikut kerja panen sawit, aku dapat uang lumayan, tiga ratus lima puluh ribu. Langsung saja aku beli bakso, rokok, dan pulsa. Sekarang Diah pelit karena jarang membelikan makanan enak atau pun memberiku uang. Akhirnya, saat ia tanya aku dapat uang berapa, kujawab saja dua ratus ribu. Baru mendengar suaminya dapat uang, dia langsung bertanya tak henti-henti. Sisa uang itu tadinya mau kugunakan untuk membayar Lastri. Naas, saat sedang dipijat, malah ketahuan.
Sudah lima bulan ini aku tidak bekerja. Aku sih senang-senang saja, karena semua kebutuhan dipenuhi oleh Diah. Hanya saja, akhir-akhir ini dia semakin cerewet untuk menyuruhku cepat-cepat mencari kerja. Jujur saja, aku malas untuk kerja serabutan. Aku gengsi, selain itu pasti badanku capek semua. Sengaja kuulur-ulur waktu dengan alasan menunggu panggilan dari pabrik. Padahal, aku pun tahu bahwa kecil kemungkinan kalau mereka akan memanggilku lagi.
Sekarang, Diah sangat marah padaku. Aku sudah ketakutan bukan kepalang. Pak RT memberiku hukuman untuk jaga ronda seminggu penuh. Argh, sial! Padahal selama ini aku selalu bolos ronda karena malas. Lastri pun dihukum tidak boleh masuk ke daerah sini. Makin malang saja nasibku. Sudah sial, semakin malu pula dengan tetangga sekitar. Pasti mereka sudah menganggap aku orang mesum. Bagaimana jika Diah mengadu pada Mas Azka? Bisa-bisa mati aku!
Dulu, Mas Azka tidak merestui hubunganku dengan Diah. Entah apa alasannya. Padahal aku waktu itu punya pekerjaan. Selain itu, kata orang aku lumayan gagah dan ganteng. Pokoknya aneh saja kalau Mas Azka tidak suka padaku. Diah sangat sedih dengan sikap Mas Azka. Aku pun sudah pasrah jika seandainya kami tak jadi menikah. Toh, kalau pun tidak dengannya aku masih bisa mencari gadis lain. Namun, setelah penuh perjuangan dalam meyakinkan kakak iparku itu, akhirnya restu kami dapatkan.
Awal-awal pernikahan adalah masa yang paling indah. Diah adalah sosok istri yang tak banyak menuntut. Tak pernah terucap meminta bulan madu atau apalah. Dia pun ikut bekerja sehingga jarang meminta uang. Memang, untuk bayar kontrakan masih memakai uangku. Untuk keperluan dapur dan lainnya, kubiarkan Diah mencari sendiri. Dia tak pernah protes. Bahkan, istriku itu juga sering memberi uang untuk adik dan ayahku yang sudah tua renta. Aku saja malas memberi mereka uang, nanti malah keenakan. Belum lagi si Utari itu, punya suami kok malah kabur entah kemana. Ayah pun sudah tak kerja, alasannya karena sudah tua dan tidak bertenaga. Padahal kalau mau, mereka tinggal duduk saja di pinggir jalan sambil menengadahkan tangan. Hahaha!
Ah, aku malah sudah bicara terlalu jauh. Hatiku masih tak tenang, tak karuan. Setelah tadi Lastri pergi dan orang-orang pun bubar, Diah masuk ke kamar dan melucuti satu per satu sarung bantal serta sprei. Ia bawa semua kain itu ke depan, lalu dibakarnya. Astaga, apakah istriku sudah gila? Aku sedikit ketakutan. Bagaimana kalau dia nekat melakukan sesuatu saat aku sedang tidur? Akhir-akhir ini dia jadi sedikit menakutkan dan melawan. Bahkan malam kemarin dia membanting mangkuk mie beserta isinya ke lantai, karena aku protes tak mau makan.
Tak mau memperpanjang masalah, aku langsung meminta maaf padanya walaupun aku tak merasa bersalah. Bukankah wajar aku panggil tukang pijat? Lastri tak pernah memijatku. Saat malam, ia cepat sekali tertidur. Alih-alih melayaniku, ia malah sudah mengorok duluan. Memang sih, aku juga sudah agak malas merayunya seperti dulu.
Tampaknya kalimat permintaan maafku tidak mempan. Diah masih bergeming. Dia tak ingin disentuh olehku, katanya jijik. Argh, padahal sudah dijelaskan kalau aku tidak melakukan apa-apa dengan Lastri! Kami hanya cupika cupiki sebentar, lalu saling meraba sana-sini, kemudian terakhir barulah aku dipijat. Memang sih, aku jadi sedikit bergairah, tapi hanya sampai di situ saja. Lah, kok bisa Diah merasa jijik?
Kalimat permintaan maafku sepertinya tidak mempan. Diah malah meminta cerai! Oh tidak, tidak bisa. Aku tak ingin menjadi duda secepat ini. Siapa yang akan mengurusku nanti? Dengan terpaksa, akhirnya aku berakting dan mengiba. Kupeluk lututnya sambil memelas. Memalukan sekali harus melakukan hal seperti ini. Aku tahu Diah merasa kasihan. Dia tak pernah bisa marah terlalu lama denganku.
Akhirnya, dia hanya memintaku untuk berubah. Selain itu, dituntutnya pula aku untuk mencari kerja. Ah, untuk sekarang sepertinya aku terpaksa benar-benar harus mencari pekerjaan baru. Ya sudah, untuk sekarang aku turuti saja apa maunya. Yang penting, aku tidak menjadi duda. Karena kalau tidak dapat pekerjaan, sepertinya Diah benar-benar akan menuntut cerai.
Malam ini aku sudah mulai harus ikut ronda, sampai seminggu penuh. Diah juga menyuruhku untuk tidak tidur di kamar. Di dapur juga tak ada makanan yang terhidang. Sungguh malang nasib seorang Yoga. Diah kulihat terduduk di lantai kamar, badannya bersender di tepi ranjang. Punggunnya terlihat membungkuk dan bergetar. Sepertinya dia menangis. Ada sedikit rasa bersalah. Huh, ini semua berawal dari Lastri. Semua salah Lastri. Kalau saja, aku tidak tergoda tukang jamu abal-abal itu ... pasti tak akan jadi begini.
Sudahlah, sebaiknya sekarang aku menuruti keinginan Diah saja. Kalau pun nanti aku mau bertemu Lastri lagi, kami akan jauh lebih berhati-hati!
🌷🌷🌷

Comentário do Livro (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes