logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Firasat

Aku mendekati Utari. Ia sudah terisak-isak. Air matanya mengalir di kedua belah pipi. Ada apa sebenarnya?
"Ri, cerita sama Mbak. Parman kenapa di sana?" Aku memegang pundaknya yang bergetar karena menahan tangis. Kepalanya menggeleng-geleng dan tertunduk. Aku khawatir, apakah Parman sakit atau bagaimana?
"Mas Parman ... Ka–katanya pa–pacaran sama orang sana, Mbak!" Terbata-bata ia mengucapkan kalimat itu.
"Astaghfirullah, Allahu akbar! Kata siapa, Ri? Apa informasinya benar? Jangan-jangan itu bohong?" Aku sangat terkejut mendengar penuturannya. Apa mungkin Parman tega berbuat begitu? Setahuku ia sangat sayang pada Utari dan Cici. Sulit membayangkan ia akan berkhianat.
Utari mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Minggu kemarin ... Temanku yang jadi TKW di sana ketemu sama Mas Parman, Mbak. Dia lalu meneleponku. Katanya gak sengaja, lihat Mas Parman lagi jalan bergandengan di Mall sama perempuan, orang sana. Temanku itu ketemu pas lagi ikut majikannya belanja." Utari mengembuskan napas. Tangisnya sudah mulai reda. Matanya memerah dan sayu. Kuperhatikan, sekarang ia makin kurus saja.
"Ya Allah, Ri .... Tapi, itu kan baru omongan aja. Temanmu juga gak punya fotonya, kan? Siapa tahu dia salah lihat orang? Bisa jadi itu bukan Parman!" Aku terus memberinya semangat.
"Entahlah, Mbak. Aku juga gak yakin. Buktinya sudah berbulan-bulan gak ada kabar darinya," kata Utari sambil menerawang jauh lewat jendela kayu.
"Yang penting kamu do'akan terus. Jangan putus asa, Ri. Kalau masih berjodoh, pasti dia akan kembali!" Aku mengusap-usap pundaknya. Utari mengangguk.
Sejujurnya nasibku hampir sama dengan Utari. Bedanya, Mas Yoga tidak menghilang. Ia masih di sini, walaupun sudah tak pernah memberi nafkah lahir. Bahkan, nafkah batin pun sudah jarang kali, bisa dihitung dengan jari. Entahlah, belum setahun berumah tangga tapi hidupku sudah seperti ini.
Tiba-tiba terdengar tangisan dari bilik. Cici sudah bangun rupanya. Utari segera bangkit untuk mengambil si buah hati.
Lama kami bercengkrama. Saat hari mulai sore, aku segera berpamitan untuk ke rumah Mas Azka. Perasaanku sedikit tidak tenang. Sebenarnya tak mau meninggalkan Mas Yoga seperti itu, tapi aku harus tega. Semoga saja dia sadar akan perbuatannya yang salah.
🌷
"Yoga mana, kok ke sini sendiri?" Aku langsung disambut pertanyaan saat sampai di rumah Mas Azka. Masku itu sedang mencuci motor. Tangannya penuh busa.
"Mas Yoga gak ikut, dia di rumah aja," jawabku sambil terus masuk ke dalam rumah. Mbak Sari, iparku, pasti ada di dalam. Soalnya tercium aroma sedap dari dapur. Mas Azka langsung membersihkan tangan, lalu mengikutiku dari belakang.
"Terus, ngapain kamu bawa tas begitu?" selidik Mas Azka. Duh, jadi laki-laki kok banyak sekali pertanyaan. Aku kan, jadi gak enak.
"Diah mau nginap, Mas. Boleh, kan? Diah kangen sama Raisa." Aku beralasan, meskipun benar kalau aku kangen dengan keponakanku, Raisa.
"Hmm. Ya sudah." Mas Azka akhirnya diam, lantas berlalu keluar.
Tiba di dapur, kulihat Mbak Sari tengah memotong sayuran. Keponakanku yang masih bayi, ia taruh di ayunan. Bayi berumur tujuh bulan itu tampak tertidur nyenyak. Raisa adalah buah hati pertama mereka, setelah 3 tahun menanti.
"Lho, Diah? Baru datang?" Iparku sedikit kaget. Kegiatan memotong sayurnya langsung berhenti.
"Iya, Mbak." Aku tersenyum.
"Sendiri atau sama Yoga?" Mbak Sari lalu melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Matanya terpaku pada tas pakaian yang aku bawa.
Kuhempaskan pantatku ke kursi di samping ayunan Raisa.
"Sendiri, Mbak. Mas Yoga di rumah," jawabku lirih.
"Lagi ada masalah apa?"
"Kok Mbak tau, kalau aku lagi ada masalah?" Mau tak mau aku tersenyum. Apakah ini perasaan peka sesama perempuan? Belum bicara saja, ia sudah tau apa yang terjadi.
"Tau lah, Di. Kamu bawa pakaian mau nginap, kan? Gak mungkin kamu tiba-tiba datang begitu saja," ujar Mbak Sari sambil mengangkat gorengan ikan dari wajan.
Aku mendesah. Tanganku mendorong pelan ayunan Raisa. Ia tampak imut sekali dengan bulu mata lentiknya.
"Ya, biasa lah, Mbak. Mas Yoga, masih betah menganggur. Aku sampai pusing dibuatnya. Kerjaannya sekarang cuma malas-malasan aja. Malah tadi ada yang nagih hutang di rumah. Mas Yoga diam-diam sering berjudi ternyata."
"Hah, judi?!" Iparku itu kaget.
Aku mengangguk. "Iya, judi. Gak tau lah, Mbak. Makin hari tingkahnya makin gak karuan."
"Sudah kamu coba carikan kerjaan, belum?"
"Ah, sudah berkali-kali, Mbak! Tapi selalu ditolak. Alasannya ya, mau nunggu panggilan lagi dari pabrik. Padahal gak tau kapan. Kalau dihitung-hitung, sudah lima bulanan Mas Yoga nganggur." Rasanya kesal sekali jika teringat. Sekarang aku benar-benar menjadi seorang tulang punggung.
"Oooh, gitu ceritanya!" Mas Azka tiba-tiba sudah berdiri di dapur. Menuang air ke gelas lalu minum. Aku dan Mbak Sari sampai terkejut dibuatnya.
"Mas kenapa, sih. Ngagetin aja!" protesku.
"Suami udah gak guna gitu, tinggal buang aja ke laut!" ucapnya enteng.
"Jangan ngomong gitu, Mas! Gak baik!" Mbak Sari mengingatkan suaminya. Mas Azka malah melenggang pergi tanpa rasa bersalah.
Dulu, sebenarnya Mas Azka tidak setuju aku menikah dengan Mas Yoga. Alasannya karena Mas Azka merasa Mas Yoga bukan orang yang baik. Waktu itu aku tak terima, karena menurutku Mas Yoga lah yang terbaik. Kami berpacaran selama tiga bulan, lalu aku langsung merasa cocok dengannya. Aku harus mati-matian meyakinkan Mas Azka agar merestui pernikahan kami. Setelah melalui banyak drama dan perdebatan panjang, akhirnya restu itu kudapatkan.
Sekarang, rasa menyesal kadang menghantui. Andai saja saat itu aku mendengarkan Mas Azka. Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Hari semakin petang, Mbak Sari bergegas membereskan dapur. Aku lantas berlalu untuk mandi.
🌷
Mataku tak kunjung terpejam. Pikiranku melayang-layang. Apakah Mas Yoga sudah makan? Bagaimana kalau dia kelaparan? Argh, sudahlah! Toh dia sudah dewasa, punya pikiran. Harusnya bisa menjaga dan merawat diri sendiri. Lagi pula, hanya kutinggal satu malam saja. Kalau lapar, dia akan berusaha. Membeli mie atau apalah.
Kulirik ponsel yang tergeletak di samping bantal. Mas Yoga tidak menghubungi sama sekali. Padahal, satu jam yang lalu WAnya aktif. Aku sedikit berharap kalau Mas Yoga akan menyusulku ke sini, lalu mengajak pulang. Atau paling tidak, dia akan menelpon. Hanya saja, apa yang diharapkan menjadi impian semata.
Menepiskan segala ego, akhirnya kucoba menelpon. Tak ada jawaban darinya. Kuembuskan napas kasar. Ke mana dia jam segini? Tidak mungkin sudah tidur. Jangan-jangan dia pergi ke luar untuk berjudi lagi? Aku seketika cemas. Kucoba menelpon sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Ah, sudahlah!
🌷
Paginya, kuputuskan untuk tidak pulang. Baru setelah dari mengajar Angel, kulajukan motor ke kontrakan. Kulihat pintu terbuka lebar, yang artinya Mas Yoga ada di rumah.
"Assalamu'alaikum!" seruku ketika sampai.
Mas Yoga duduk sambil menyantap sesuatu. Wanginya enak sekali. Dia sampai-sampai tak membalas salamku. Apa dia marah?
"Mas, Diah ucap salam kok gak dibalas!" sindirku.
"Hmm," jawabnya. Oh, sepertinya ia sedang merajuk. Kutaruh tas dan bawaan lainnya di kamar. Kali ini, ruangan ukuran 3x3 itu terlihat lebih berantakan dari biasanya. Aku menggeleng.
"Makan apa, Mas?" tanyaku sambil mendekat. Mas Yoga melirikku sekilas, lalu melanjutkan makannya. Terlihat pentol-pentol bakso dan mie di mangkuk itu. Aku meneguk liur. Tadi pagi aku sarapan nasi goreng di tempat Mas Azka.
"Bakso!" jawab Mas Yoga ketus. Tanpa menggubrisku, ia melanjutkan makan.
"Diah gak dibeliin, Mas?" Air liurku rasanya sudah mau menetes.
Mas Yoga mengelap keringat di pelipisnya.
"Gak, cuma satu." Tangannya dengan cekatab menyendokkan mie dan kuah ke mulut.
Aku baru teringat. Mas Yoga kan, tak punya uang. Lantas, bagaimana dia bisa membeli bakso? Jangan-jangan ...
"Mas, uang dari mana beli bakso?" Aku tak tahan untuk bertanya.
Mas Yoga tak langsung menjawab. Ia masih sibuk mengunyah. Sedangkan aku, mati-matian menahan lapar. Walaupun di tempat Angel sudah minum dan makan camilan, tapi tetap saja aku tergoda melihat bakso itu. Mas Yoga memasukkan pentol terakhir ke dalam mulutnya. Hanya menyisakan kuah saja. Tak ada sedikit pun ia menawari. Awas saja nanti, aku akan beli yang lebih enak!
Karena tak ada jawaban, akhirnya kuulangi pertanyaan.
"Mas, Diah tanya loh! Beli bakso uang dari mana?"
"Kerja. Ikut panen sawit," jawabnya singkat.
"Ooh, ya sukurlah kalau gitu. Dapat uang berapa?" Aku sedikit lega. Paling tidak, Mas Yoga sudah inisiatif untuk kerja.
"Dua ratus." Suamiku lalu bangkit ke dapur, menaruh mangkuk kotornya di meja. Dari sini pun, terlihat dapur sangat berantakan. Lantai juga terasa sangat berdebu. Sudah pasti Mas Yoga tidak menyapu sama sekali.
"Mau keluar dulu beli rokok," pamitnya kemudian. Ia lantas berlalu keluar dari rumah.
Aku mengembuskan napas kasar. Mas Yoga marah. Aku bisa merasakannya. Mungkin ia kesal karena kutinggalkan tanpa uang. Biarlah, toh akhirnya dia terpikir untuk bekerja walaupun hasilnya tak diberikan untukku sedikit pun.
Dengan langkah gontai, aku masuk ke kamar dengan membawa sapu. Jika tak dibersihkan, aku takkan bisa tidur nyenyak nanti malam. Kusapu setiap sudutnya yang berdebu. Kasur yang kusut masai kurapikan sedemikian rupa. Saat menyusun bantal, mataku menangkap sesuatu. Benda bundar berwarna merah. Hah, kancing baju? Punya siapa? Seingatku aku tak punya baju berwarna merah dengan kancing model begini. Kenapa benda ini ada di kasur kami? Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.
🌷🌷🌷

Comentário do Livro (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes