logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Hutang

"Ayah belum makan? Kalau gitu masuk dulu, Yah! Makan bareng Mas Yoga!" ajakku seketika. Hatiku rasanya teriris membayangkan betapa laparnya lelaki tua yang kupanggil Ayah itu. Meskipun hanya mertua, tapi aku menyayanginya seperti ayahku sendiri.
"Gak usah, Di ... Ayah buru-buru. Kasihan Utari dan Cici di rumah!" Aku semakin terenyuh. Saat ia sendiri sedang kelaparan, Ayah masih memikirkan anak dan cucunya.
"Kalau begitu, tunggu sebentar, Yah!" Sedikit tergesa aku masuk ke rumah, langsung menuju dapur. Kubuka tempat penyimpanan beras, lalu memindahkan semua isinya langsung ke dalam kantong plastik. Kue brownies yang belum sempat aku makan, aku taruh di wadah toples kecil. Mas Yoga hanya melongo memandangiku.
"Mau dibawa ke mana?" tanyanya. Aku berlalu tanpa menjawab.
"Heh, ditanya malah kabur! Gak sopan kamu!" hardik Mas Yoga, yang kemudian menyusulku ke depan.
Kutemui Ayah terduduk di samping sepeda ontelnya. Tubuhnya yang ringkih dan tulang punggungnya yang sudah sedikit membungkuk, membuatku iba.
"Yah, gak mau minum dulu?" tawarku. Ia langsung bangkit.
"Loh, Ayah ngapain ke sini!?" tanya Mas Yoga tanpa rasa prihatin.
"A–anu, Ga, Ayah minta tolong sama Diah. Di rumah tidak ada yang bisa dimasak. Utari belum gaji—"
"Halah! Ayah tuh sama Utari, bisanya cuma merepotkan saja!" Kasar sekali Mas Yoga memotong ucapan ayah kandungnya. Aku mendelik.
"Lho, Mas! Sama Ayah kok gitu! Harusnya Mas malu, belum bisa ngasih apa-apa!"
Mas Yoga mendengkus kesal, kemudian berlalu ke dalam. Tak mau tahu urusan adik dan ayahnya. Sejak dulu Mas Yoga memang selalu pelit dan perhitungan. Jika memberi sedikit saja, selalu diungkit-ungkit.
Kukeluarkan dompetku yang tinggal berisi dua lembar uang sepuluh ribu dan selembar uang lima ribu.
"Ini yah, ada beras segini. Ini kue untuk Cici. Uangnya segini dulu ya, Yah. Nanti kalau gajian, Diah mampir ke rumah jenguk Cici!" Aku menyerahkan bungkusan dan uang lima belas ribu ke tangan Ayah.
"Te–terima kasih, Di! Semoga rejeki dan kerjaanmu lancar, ya!" ucap Ayah dengan suara bergetar.
"Aamiin, makasih do'anya, Yah!" Aku tersenyum.
"Kalau begitu, Ayah pamit dulu, Di. Utari dan Cici sudah menunggu di rumah! Assalamu'alaikum!" Ayah bergegas menaiki sepeda tuanya.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan, Yah!" balasku sambil menatap punggungnya yang perlahan menjauh.
🌷
Kumasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Mas Yoga benar-benar keterlaluan. Aku tak boleh diam saja. Biarlah hari ini aku datang sedikit terlambat ke tempat Angel.
"Mas, kamu keterlaluan sama Ayah! Dia ayah kandungmu sendiri! Setidaknya jangan berbicara kasar!" ujarku tanpa basa basi.
Mas Yoga yang sedang menonton TV sambil menggaruk perutnya langsung menatapku tajam.
"Gak usah sok baik sama Ayah dan Utari! Nanti mereka malah kebiasaan! Ngelunjak!" sentaknya.
"Sok baik, Mas bilang? Mereka sedang kesusahan, Mas! Bayangkan, mereka bertiga belum makan sejak kemarin sore!" Aku sungguh tak habis pikir dengan perkataan Mas Yoga.
"Ya salah sendiri! Ayah udah gak mau kerja, Utari cuma kerja cuci gosok, suaminya juga merantau gak ada kabar! Kan bukan salah kita?" Mas Yoga menggendikkan bahu. Astaghfirullah.
"Pakai perasaanmu, Mas. Lalu bercerminlah sedikit. Mas saja, tak akan sarapan pagi ini kalau bukan karena aku. Diah, istrimu!"
"Mulai mengungkit-ungkit lagi! Kamu benar-benar tidak ikhlas, hah? Dulu juga Mas kerja, uangnya kamu ikut menikmati!" balas Mas Yoga.
"Mas kerja dan aku pun kerja. Asal Mas tahu, memang sudah kewajiban suami menafkahi istri. Suami itu tulang punggung, Mas! Jangan malah terbalik menjadi tulang rusuk!" Aku mulai benar-benar emosi.
Dada Mas Yoga naik turun. Tangannya mencengkram remot TV dengan erat.
"Terus maumu apa, hah?" desisnya.
"Mauku? Mauku, Mas kerja! Kerja! Kerja! Kerja! Kalau tidak, pakai saja daster sekalian, lalu bersihkan rumah!" Aku berlalu sambil menghentakkan kaki.
Sebaiknya aku berangkat saja sebelum keadaan semakin memanas. Emosiku mulai tak terkontrol.
"Heh, mau ke mana kamu? Mas belum selesai bicara! Lancang ya kamu, menyuruh Mas pakai daster! Diah!"
Tak kuhiraukan lagi ocehan Mas Yoga. Langsung kunyalakan motor, lalu meluncur di jalan aspal.
Kucoba tenangkan pikiran dan darahku yang rasanya mendidih. Masih tak habis pikir dengan sikap dan sifat seorang Yoga Pratama. Aku sangat marah tiap kali ia memperlakukan ayah atau pun Utari dengan seenaknya.
Ayah sudah sepuh, sudah tak sanggup lagi bekerja. Dulu, ayah adalah seorang buruh tani penyadap getah karet. Namun, di umurnya yang sekarang, orang sudah tak membutuhkan tenaganya lagi. Gerakannya yang sudah tak gesit, serta staminanya yang jauh menurun, membuat pemilik kebun karet menghentikannya sebagai penyadap.
Sekarang, Ayah hanya mengandalkan Utari dan aku. Sedangkan Utari, hanyalah buruh cuci gosok. Pendidikannya yang hanya tamatan SMP tak memungkinkan untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Suaminya merantau ke Taiwan setahun yang lalu. Setelah tiga bulan di sana, tak pernah ada kabar lagi. Entah apa yang terjadi padanya. Mas Yoga yang seharusnya bertanggung jawab, sudah tak dapat diharapkan.
🌷
Lelah tetapi senang rasanya, setiap kali selesai belajar bersama Angel. Hari ini pun, ia sangat aktif dan banyak akal seperti biasa. Di usianya yang baru masuk empat tahun, kecerdasannya luar biasa. Angel dapat mengingat hal-hal dengan mudah. Imajinasinya pun sangat bagus.
Hari ini, seperti biasa, Bu Widya sudah duduk di kursi ruang tamu. Minuman dan cemilan sudah tersedia seperti biasa.
"Oma, Angel capek sekali. Sepertinya hari ini Angel harus makan pizza!" ucap muridku itu sembari mendekati omanya.
Bu Widya terkekeh. "Kenapa harus pizza?" tanyanya.
"Harus pizza, Oma. Karena pizza membuat Angel bersemangat!"
Kami lalu tertawa bersama. Ada-ada saja.
"Mari Mbak Diah, kita minum dulu!" ajak Bu Widya.
"Inggih, Bu!" Aku segera duduk. Jus jeruk di gelas itu terlihat menggoda. Aku merasa sangat haus sedari tadi.
"Monggo, diminum saja!"
"Inggih, Bu. Terima kasih. Saya memang haus sedari tadi!" Aku segera menenggak minuman berwarna oranye itu. Sangat melegakan dan nikmat. Tenggorokanku seketika terasa sejuk.
"Mbak Diah, sudah sebulan mengajar Angel, ya?"
Aku berpikir sejenak. "Sepertinya belum genap sebulan, Bu. Sekitar sehari atau dua hari lagi!" jawabku. Aku benar-benar lupa tanggalnya.
"Oh, ya. Tidak apa-apa. Saya serahkan hari ini saja. Ini gaji Mbak Diah untuk bulan ini. Tolong diterima, ya!" Bu Widya menyerahkan sebuah amplop cokelat. Aku sedikit terkejut.
"Eh, ta–tapi ... kan, belum sebulan, Bu?" Aku tergagap.
"Tidak apa-apa, Mbak Diah. Tidak usah sungkan. Diterima, ya!" Amplop cokelat itu diletakkannya ke pangkuanku. Kenapa tebal sekali? Tanpa sadar, aku mengecek isinya. Mataku langsung melebar.
"Maaf, Bu. Tapi, ini banyak sekali! Gaji saya, tidak sebanyak ini!" Tak pelak aku menolak. Uang itu terlalu banyak untukku yang hanya seorang guru privat.
"Saya tahu, berapa gaji yang Mbak Diah minta di awal pertemuan kita. Hanya saja, saya merasa Mbak Diah berhak mendapatkan lebih. Cucu saya semakin pintar. Ia juga betah bersama Mbak Diah," kata Bu Widya sambil menatap Angel yang sekarang duduk di pinggir kolam renang.
"Ya ... tapi, ini terlalu banyak, Bu. Saya merasa tidak adil." Aku tertunduk memandangi amplop cokelat itu.
"Mbak Diah, tolong jangan ditolak. Saya justru senang kalau Mbak Diah menerima. Ingat, tidak boleh menolak rejeki!" bujuk Bu Widya.
Aku mendesah. Bukannya tak senang, tapi aku merasa tak pantas. Kutaksir, di dalam amplop itu setidaknya ada tiga puluh lembar uang berwarna merah. Padahal, di awal pertemuan, aku hanya meminta satu juta lima ratus saja.
"Baiklah, Bu. Uang ini saya terima. Saya benar-benar berterima kasih. Akan saya gunakan uangnya sebaik mungkin. Saya juga akan berusaha mengajari Angel dengan lebih baik lagi!"
Bu Widya akhirnya tersenyum. "Saya juga berterima kasih, Mbak Diah. Semoga betah mengajari Angel, ya!" ucapnya.
Kami lalu melanjutkan obrolan sambil menyantap cemilan. Setengah jam kemudian, aku pamit pulang. Tentu saja, tak pernah lupa Bu Widya menyiapkan bungkusan untukku. Kali ini, sebungkus apel merah di tangan. Ya Allah, semoga Engkau panjangkan umurnya.
🌷🌷🌷
Aku harus menyisihkan sebagian uang. Jangan sampai Mas Yoga tahu. Kalau tidak, dia akan meminta ini itu tanpa terpikir untuk berhemat. Satu juta setengah dari tiga juta itu, akan aku masukkan ke rekening rahasia yang aku buat bulan lalu. Tabungan darurat yang tidak diketahui suamiku.
Saat sampai di rumah, kudapati dua pria sedang mengetuk pintu. Mereka tampak gelisah dan terus-terusan memanggil Mas Yoga. Sesekali mereka berusaha mengintip ke dalam.
"Maaf, ada perlu apa, ya?" tanyaku setelah turun dari motor.
"Lah, Mbak ini, istrinya si Yoga, kan?" Pria berjaket kulit mendekat.
"Iya, betul. Ada apa?" Aku penasaran.
Kedua lelaki itu saling pandang.
"Kami ke sini mau menagih hutang sama Yoga!" Pria botak yang sedari tadi diam, sekarang angkat suara.
"Hu–hutang?" Mataku terbelalak.
🌷🌷🌷

Comentário do Livro (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes