logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

episode 3

Buntelan tisu terlihat bertebaran di lantai kamar yang didominasi oleh warna pink itu. Dengan sweater tebal yang membalut badannya, Bulan kini duduk bersila di atas kasur sambil menonton serial TV kesukaannya, apalagi kalau bukan tentang anak kecil yang nakal dan si beruang.
"Hatchim!!!"
Untuk kesekian kali Bulan memencet hidungnya yang sudah memerah dan becek karena ingus itu dengan tisu, lalu membuangnya ke sembarang arah. Hampir menghabiskan satu kotak, itulah kegiatannya dari tadi.
"Bulan,"
Di pintu masuk yang tidak tertutup sepenuhnya itu datang seorang pria setengah baya dengan kemeja garis-garis, Armand Sasongko--papinya.
"Papi.. papi udah pul-hatchim!!!" Bulan mengusap-usap hidungnya yang gatal. "papi udah pulang?"
Armand berjalan mendekati putri semata wayangnya itu sambil geleng-geleng kepala. "Kata bibi, kamu seharian ini main sama Satria sampe hujan-hujanan ya, bener begitu?"
"Emang kenapa pi?" Bulan menatap lelaki itu. "ini kan hari libur."
Armand terlihat menghela napas sembari duduk di tepi tempat tidur Bulan. Lalu diusapnya puncak kepala gadis itu perlahan. "Bulan, papi kan udah bilang berkali-kali sama Bulan, Bulan gak usah main sama Satria lagi, temen Bulan kan masih banyak yang lain, gak cuma Satria."
Memang, minggu-minggu ini beliau sudah sering berucap hal yang sama, untuk perihal alasan Bulan tidak tahu menahu. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan, ia sering mengabaikan perintah papinya itu. Karena beliau juga jarang di rumah, hari libur sekalipun seperti hari ini Armand tetap sibuk bekerja sampai malam.
"Satria kan juga temen Bulan pi, dia baik sama Bulan, Bulan seneng main sama Satria." bantahnya.
"Tapi papi gak suka kamu deket-deket sama dia. Tolong nurut sama papi." ujar lelaki itu sambil menyentuh pundak Bulan. "liat aja kamu sekarang, gara-gara main sama Satria kamu jadi sakit begini kan?"
"Ini cuma flu biasa pi, hatchim!!"
Lagi, Bulan bersin sampai tenggorokan rasanya kering.
"Bibi bilang, kalian main di sungai. Pasti Satria juga kan yang ngajakin kamu? Iya kan? Kalo seandainya kalian hanyut kebawa arus gimana? Siapa yang mau nolongin? Bahaya, jangan pernah diulangin lagi ya? Dan kalo kamu gak main sama Satria, kamu gak bakalan jadi sakit begini. Pokonya Satria itu gak baik, Bulan."
"Jadi papi nyalahin Satria?!!"
Entah, Bulan merasa tidak terima jika Satria dijelek-jelekkan seperti itu, sampai suaranya naik beberapa oktav. Padahal ini tidak sepenuhnya salah Satria, semua berawal karena Bulan sendiri. Bulan yang mengajak Satria main sepeda dari pagi.
"Papi gak nyalahin siapa-siapa, kok." Armand mengangkat pundak dan telapak tangan bersamaan. "papi cuma gak mau kamu kenapa-kenapa, ini karena papi sayang sama Bulan. Setelah mami gak ada, sekarang cuma Bulan yang papi punya."
"Papi selalu bilang kaya gitu, tapi kenyataannya apa?! Kalo papi sayang sama Bulan kenapa papi gak pernah ada saat Bulan butuh papi?!" pekik Bulan dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Bulan kesepian pi! Setiap Bulan butuhin papi, papi gak pernah punya waktu sedikitpun! Jadi, apa salah kalo Bulan main sama Satria?!"
Dan, pecahlah sudah pertahanannya. Tapi buru-buru Armand langsung memeluk dan mengusap-usap rambut Bulan. "Bukan begitu Sayang. Kamu boleh kok main, boleh, asal jangan sama Satria ya? Papi gak suka kamu deket-deket sama dia."
"Tapi kenapa pi?!!" gadis itu melepaskan dirinya dari Armand dengan air matanya yang turun deras. "kenapa papi selalu ngelarang Bulan main sama Satria?!! Satria punya salah apa sama papi?!!"
Mungkin karena sudah terlalu sering keduanya bersama-sama sejak orok. Jadi Bulan sudah menganggap Satria seperti saudaranya sendiri. Saudara yang amat dia sayangi dan kasihi. Tapi malah Armand melarangnya seperti itu sejak Agnesa meninggal.
"Bulan tolong dengerin papi, papi melarang Bulan deket sama Satria.. itu, semuanya cuma buat demi kebaikan Bulan sendiri."
"Kebaikan apa pi?!!"
Sejenak lelaki itu mengalihkan pandangannya dan mengusap mukanya yang sedikit frustasi. Sementara Bulan masih menangis kenceng, bahkan sampai bawah hidungnya basah. Entah ada apa sebenarnya, Bulan tidak tau menahu.
"Besok kita pindah dari sini, papi dimutasi ke Jakarta."
"Apa pi?! Pindah ke Jakarta?!"
"Iya, papi juga udah urusin semua kepindahan sekolah kamu." Armand beranjak berdiri dan mengusap-usap kepala Bulan. "sekarang kamu tidur ya, besok kita berangkat pagi-pagi."
Setelah itu, beliau keluar dari kamar Bulan, dan sampai pintu tertutup rapat gadis itu masih mematung di tempatnya. Besok? Mereka pindah? Berarti Bulan dan Satria.. tidak akan bisa bermain bersama lagi? Kenapa harus mendadak seperti ini?
Lima menit kemudian. Bulan sudah berada diluar, bukan di kamarnya lagi. Kaki kecil itu membawanya berlari, sekencang yang dia bisa. Menyusuri jalanan setapak yang gelap sampai depan rumah Satria, yang notabene letaknya hanya di ujung jalan.
Jalan depan rumah Bulan.
Bukannya bagaimana-bagimana, Bulan hanya berhenti sampai di depan pagar sambil memperhatikan jendela kamar Satria yang lampunya menyala terang.
"Hikz.. hikz.."
Lalu, Bulan terduduk di depan pagar itu sambil sesegukan. Suara tangisannya berpadu dengan suara jangkrik malam di balik semak-semak di sampingnya. Menit demi menit, entah mendapat keberanian dari mana Bulan tetap stay disana padahal sekelilingnya gelap gulita.
Hingga beberapa saat kemudian, terlihat dari kejauhan setitik cahaya terang. Cahaya yang semakin lama semakin mendekat, dan terus mendekat sampai di samping Bulan. Gadis itu seketika mengangkat kepala saat mendengar suara rem sepeda.
"Satria," Bulan langsung berdiri.
Ternyata orang itu tak lain dan tak bukan adalah Satria, dimana kini ia mengapit ayamnya di lengan kiri. Lalu turun dan mendekat kearah Bulan dengan membawa lilinnya. Lilin elektrik yang panjang dan slim.
"Bulan," panggilnya. "kamu ngapain malem-malem disini? Kok nangis?"
Tangan Bulan bergerak menghapus sisa-sisa air matanya. "Kamu darimana Satria?"
"Dari rumah kakek, nyari ayamku nih, ternyata maen sampe kesana." ujarnya sembari menunjukkan si Jago. "kamu sendiri.. ngapain?"
"Hatchim!!" gadis itu menggosok bawah hidungnya sejenak.
"Kamu sakit ya? Kan.. pasti gara-gara hujan-hujanan tadi sore."
"Aku gapapa kok, cuma flu aja."
Dan Satria langsung mengecek dahi Bulan. Memang sedikit hangat. "Iya sama aja kamu lagi sakit,"
"Aku abis dimarahin sama papi, Sat.."
"Dimarahin kenapa?"
"Papi bilang aku gak boleh main sama kamu."
"Kenapa?"
"Aku juga gak tau." ia menggelang. "dan terus, besok.."
"Besok kenapa?"
"Besok aku harus ikut papi, pindah ke Jakarta." Bulan seketika tertunduk, dan cairan bening di sudut matanya kembali berlomba-lomba keluar. "besok pagi, aku berangkat."
Satria juga sempat terkejut begitu mendengarnya. Jadi Bulan datang ke rumahnya hanya untuk pamit? Secepat ini kah? Padahal Satria sudah berfikir jika ia ingin membantu Bulan belajar naik sepeda barunya.
"Jadi kamu mau pergi? Ninggalin aku?" tanya Satria pelan, tampak tidak bersemangat.
Bulan mengangguk lesu.
"Terus, nanti aku main sama siapa?"
Kali ini Bulan menggeleng. Satria lalu duduk di bawah sambil menyender di pintu pagar rumahnya itu dan tetap memeluk si Jago. Bulan juga ikut mengambil tempat di sampingnya. Dan dalam kegelapan itu keduanya hanya ditemani cahaya dari lilin elektrik yang dipegang Satria.
"Udah, gak usah sedih, kamu kan emang harus nurut sama papi kamu." celetuknya sambil menengok kearah Bulan.
Tapi dia masih belum mau membuka suara, dan mukanya masih ditekuk cemberut. Hingga Satria teringat sesuatu, lalu merogoh saku bajunya sebentar.
"Nih," telapak tangannya terulur memberikan tiga butir kembang gula. "untung aku punya ini, ambil."
"Permen kacang buatan mama kamu?" tanya Bulan, lalu segera merampasnya dari tangan Satria tanpa basa-basi lagi, dan senyumnya tampak mengembang.
"Iya, di rumah masih banyak kalo kamu mau."
"Engga usah ini aja,"
Mulut Bulan bergoyang sambil mengunyah satu butirnya. Memang benar adanya bahwa Rosaline Ambarwati--ibunda Satria, itu suka sekali membuat sendiri permen berbahan kacang tersebut, yang juga disertai mentega dan cokelat.
Dan ini yang selalu menjadi moodbooster Bulan saat sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Enak, Sat.."
"Iyalah, mamanya siapa dulu dong yang bikin?" Satria menjulurkan bibir bawahnya dan membusungkan dada.
"Iya iya, mamanya kamu. Mamaku kan udah engga ada."
Tak disangka, ucapannya ternyata menyebabkan Bulan kembali murung. Betapa bodohnya Satria. Kini ia jadi merasa bersalah sendiri.
"Eh eh eh.. Bulan, liat ke atas deh, bulannya terang banget tuh.. tuh.. bintangnya juga banyak tuh.."
Untung Satria tidak kehabisan akal, Bulan langsung menengadahkan kepala ke langit. Karena memang benar disana bulan sabit tengah bersinar terang dan di sekelilingnya milyaran bintang bertaburan dengan kerlap-kerlipnya yang indah.
"Cantik ya, Sat.."
Dan Satria tidak pernah gagal mengembalikan senyum itu. Wajah Bulan terlihat berseri-seri sambil menatap langit yang biru gelap namun selalu gemerlap.
"Bulan itu selalu cantik, dan gak pernah berhenti bersinar." ujar Satria pelan, lalu menengok kearah gadis kecil di sampingnya. "sama kaya kamu, kamu itu Bulan. Kalo kamu sedih, kamu gak bersinar. Jadi kamu gak boleh sedih ya, karena Bulan gak pernah berhenti bersinar."
Bulan mengerjap menatap Satria, dan ia sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata. "Gitu ya, Sat?"
"Iya, kamu janji ya sama aku, jangan sedih-sedih lagi. Kamu harus inget baik-baik, Bulan itu gak pernah berhenti bersinar. Karena Ksatria akan selalu bersama Bulan."
Satria mengangkat jari kelingking. Bulan mengangguk sebentar lalu mengaitkan jari kelingking mereka. Dan keduanya saling melempar senyum, cukup lama. Hingga Satria tiba-tiba merasakan sesuatu yang lancip mencubit perutnya.
"Aw!"
Dan ternyata si Jago'lah tersangka pelaku, dengan paruh kecilnya. Kesal sendiri, Satria langsung menyentil kepala ayam itu dengan gemas. "Huuu.. dasar nakal!"
Bulan tertawa melihatnya. "Ayam kamu lucu banget,"
"Perasaan juga tadi dia udah tidur, kenapa bangun ya?"
"Hahahaa.."
Satria geleng-geleng kepala. Dan ia baru menyadari jika malam sudah semakin larut. Segera diberikannya lilin elektrik itu untuk Bulan.
"Nih, buat kamu, buat penerangan di jalan. Kamu berani gak pulang sendiri?"
Menatap benda itu sejenak, Bulan lalu menerimanya. "Ehm.. makasih ya, Satria. Iya aku berani kok, rumahku deket dari sini."
"Yakin?"
"Iya." ia mengangguk kecil.
"Yaudah, kalo gitu, aku liatin aja dari sini ya. Nanti kalo kamu udah masuk ke rumah kamu, aku juga langsung masuk." tutur Satria.
Mereka lalu berpisah di sana. Satria tetap berada di tempatnya sementara Bulan berjalan menuju rumahnya yang berada di ujung lain, berbekal lilin elektrik pemberian Satria. Dan, di tengah jalan itu tiba-tiba Bulan berhenti dan balik badan.
"Mulai besok jangan cari aku!"

Comentário do Livro (32)

  • avatar
    FahriZul

    saya sangat suka

    05/07

      0
  • avatar
    NgarsoDenbagus

    ceritanya bagus

    14/06

      0
  • avatar
    SiapaGa tau

    bucin sekali

    11/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes