logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

6. Ganjen

Hari menjelang petang. Shaka dan Shaina menyambangi lapak pedagang kaki lima di pinggir jalan. Tertulis pada tenda itu "bubur kacang ijo" Shaka dan Shaina duduk bersama menghadap mangkuk burjo masing-masing.
Sulit dipercaya, Shaka menuruti permintaan Shaina lagi. Mungkin sebagai ucapan terima kasih, jadi Shaka mau menemaninya. Kelinci dalam hati Shaina susah dikendalikan kalau sudah seperti ini, maunya lompat-lompat terus. Padahal hanya sekedar makan bersama.
Disela-sela kebisingan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya, Shaina dibuat senyum-senyum sendiri selama menyesap suap demi suap burjo hangat itu. Bercampur dengan bubur ketan hitam, dipadukan dengan santan dan susu coklat, terasa lembut dan sangat menggoda lidah hingga melahirkan rasa hangat dari mulut sampai perut.
Sesekali Shaina menatap ke arah Shaka, rasanya damai melihat Shaka menikmati makanannya dengan tenang. Shaina juga masih kurang paham, dalam keadaan apapun raut wajah Shaka selalu cool. Seperti halnya sekarang ini. Dengan pencahayaan yang minim, Shaka tetap tampan dengan bayangan hidung dan rahangnya dari samping.
"Biasa aja liatinnya, awas itu mata mau keluar." Shaka tiba-tiba menyeletuk tanpa menengok. Sejurus kemudian Shaina kembali fokus pada mangkuk burjonya, sedikit grogi Shaina melahap tak sadar wajahnya memerah.
"Emang gak ada kerjaan selain liatin gue hah?" lanjut Shaka, kini giliran ia yang mengintimidasi Shaina lewat tatapan mata elangnya. Hingga Shaina tak bisa berkutik dan memilih untuk menunduk. Mendadak tenggorokan susah payah menelan makanannya karena rasa gugup.
"Sori, Ka, gak maksud apa-apa kok." ujar Shaina nyaris tak terdengar, tak berani memandang Shaka. "emang salahnya dimana? Mata kan gunanya untuk melihat?"
"Tapi gue bukan pemandangan, ngerti? Lo gak sopan!" tegas Shaka menuntut, nadanya agak meninggi dan terdengar tidak suka. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan Shaka ada hati kecil yang baru saja tersayat. Ternyata sebegitu berpengaruh, Shaina merasa jadi tidak enak.
"Iya gue minta maaf kalo udah mengusik lo." Shaina memegang sendok bebeknya agak gemetaran, perlahan kepalanya menengadah dan melihat Shaka. "gue minta maaf udah bikin lo gak nyaman, jangan marah dong Ka."
Tidak ada respon, Shaka cepat-cepat menghabiskan makannya yang tinggal sedikit. Astaga, mengapa Shaka jadi marah sungguhan? Mengapa dia tidak membiarkan Shaina senang sebentar saja? Mengapa? Dalam sekejap selera makan Shaina hilang entah kemana. Padahal sangat sepele, tapi Shaina sudah berbuat kesalahan.
Selesai biaya makan dibayar, Shaka dan Shaina keluar dari lapak itu dengan suasana canggung. Benar-benar sepuluh menit yang tak berarti, Shaka marah dengan Shaina hanya karena wajahnya diperhatikan. Entah, apa mungkin kadar ketampanannya akan berkurang jika diamati lama-lama makanya Shaka semakin dingin.
"Shaka, sekali lagi gue minta maaf." ucapan Shaina seketika menghentikan langkah Shaka. Shaina hanya melihat ke bawah sembari mencengkram ujung belt terusan celananya yang menggantung di depan dada.
"Maaf gue gak sopan, maaf kalo sikap gue bikin lo ilfeel. Gue hanya terlalu seneng bisa makan bareng sama lo." lanjut Shaina dengan segenap perasaan tak menentu.
Barang sesenti pun, Shaka enggan menatap Shaina. Sorot mata tajamnya mengarah lurus ke depan, memandang lampu-lampu kota dan sepanjang trotoar yang lengang. Dengan pernapasan teratur, tak ada yang tau jika Shaka sedang bergulat dengan pikirannya. Sangat kontras.
"Kita masih temenan kan, Ka? Baru tadi siang lo janji sama gue kita bakalan bertemen baik. Tapi kenapa lo sekarang marah cuma karena .." Shaina tak melanjutkan perkataannya. Persis, area matanya mulai berkaca-kaca.
Cengeng sekali, Shaina spontan berbalik memunggungi Shaka. Bertepatan dengan itu Shaka menengok. Terlihat sebelah tangan Shaina bergerak mengusap pipi, disertai bahu yang agak berguncang. Tapi Shaka masih bungkam.
"Kenapa sih, cuma hal kecil aja lo gede-gedein segitunya? Kenapa buat temenan sama lo tuh susah. Apa lo alergi sama cewek? Perasaan, di sekolah lo cuma akrab sama Jafar aja, selebihnya gak ada. Apa hidup lo emang gak butuh temen?" kata Shaina parau disela-sela sesegukan.
Mengundang rasa iba yang memenuhi dalam relung dada, Shaka mengulum bibir dan membasahinya dengan lidah. Seumur-umur, baru kali ini Shaka menjumpai ada cewek yang menangis di hadapannya. Dan alasannya adalah sikap Shaka sendiri yang terlalu menyinggung hatinya.
"Shaina." Shaka memanggil dalam satu tarikan napas.
"Ka, gue tuh gak pernah minta di-PDKT-in sama elo, gue cuma pengen kenal elo." timpal Shaina cepat. "tapi sepertinya lo gak seneng ada gue, apa gue terlalu jelek, udik, dan katro .. sampe-sampe lo jijik diliatin sama gue."
"Shaina .." panggil Shaka untuk kedua kalinya. Tidak kuasa mendengar ocehan Shaina yang terluka, Shaka hendak menggapai pundak rapuh itu tapi tak sampai, Shaka menarik kembali tangannya. "Shaina, sori tadi gue gak bermaksud apa-apa, gue lebay, gue yang minta maaf."
Shaina membalikkan badannya kilat. Saat itu Shaka berkacak setengah pinggang dan memegang sisi kepala. Seperti orang pusing yang sedang berpikir keras, Shaka tampak gusar mengusap wajahnya hingga menyugar rambut ke belakang dan sebisa mungkin tersenyum.
"Pulang ya?" ujar Shaka pada akhirnya.
Shaina pikir Shaka mau mengatakan sesuatu, ternyata hanya itu. Tanpa ia ajak pun, Shaina juga mau pulang. Tak ingin menuggu lagi Shaina melongos pergi mendahului Shaka dengan raut wajah masam. Kecewa, lumayan.
Malam ini Shaka tidak bisa tidur. Berulang kali sudah ia mengubah posisi tidurnya miring ke kanan dan ke kiri hingga terlentang tapi mata masih terjaga. Bersama detik jarum jam dinding yang terdengar keras, Shaka bangkit bangun dan meneguk segelas air putih di atas nakas.
Bayang-bayang Shaina dan segala ucapannya terus berlarian di dalam kepala Shaka. Rasanya sulit untuk berdamai dengan diri sendiri, Shaka menyibakkan selimut dan beranjak keluar balkon untuk mencari udara segar. Shaka mencengkram erat pagar pembatas, menikmati setiap desiran udara malam yang menerpa wajahnya.
Tak lama ponsel Shaka bergetar.
Jafar : gimana hubungan lo sama shaina?
Semenit berselang, pesan lain masuk.
Jafar : menurut gue shaina anaknya easy going, jadi kalo dideketin sama lo kemungkinan besar bakalan cocok
Jafar : shaina juga udah nolak ervan depan lo kan, itu harapan buat lo man! pepet terus dia jangan dilepas!
Shaka : biasa aja
Shaka : gausa sotoy
Shaka : belum tentu
Jafar : pliss ka shaina kurang apa sih
Shaka : biar waktu yg jawab
Read.
Shaka langsung offline. Malas dengan Jafar yang rempongnya melebihi emak-emak.
Di tempat lain, Shaina memeluk guling empuknya erat-erat membelakangi pintu. Tidak jauh berbeda dengan Shaka, Shaina juga tidak bisa tidur. Sejujurnya Shaina heran dengan dirinya sendiri, mengapa hatinya begitu sakit saat Shaka marah padanya. Apa mungkin benar, cewek lebih dulu merasakan suka dari pada cowok. Hm.
"Dek, pinjem stabilo dong!" suara Naufal terdengar bersamaan pintu dibuka. Tapi Shaina hanya acuh saja menyuruhnya mengambil sendiri di sekitar meja belajar. Batin Shaina mengumpat keras Naufal tidak modal.
Kembali lagi Shaina melamun dan menerawang jauh. Berharap Shaka mau menghubunginya meski hanya mengirim satu kata atau satu huruf saja. Tapi, sampai lebaran monyet sepertinya itu tidak akan terjadi. Ajaib.
"Heh! Dipanggil mama tuh!" Naufal menyahut sebelum membawa keluar stabilo berwarna hijau menyala. "woy! Itu kuping apa cantolan wajan sih! Dipanggil oneng pe'a!"
Dalam sekejap kesadaran kembali ke dalam raga. Sejurus kemudian Shaina meloncat kilat dari tempat tidur dan terbirit-birit berlari keluar menuruni tangga, menghampiri Andika dan Kanaya yang bercengkrama di ruang tengah.
"Mama panggil Shaina?"
"Itu di luar ada temenmu dateng."
"Dera?"
"Bukan, cowok."
"Hah?"
Siapa datang bertamu malam-malam, apa mungkin Shaka. Dengan semangat 45 Shaina bergegas keluar dan mendapati seseorang duduk di kursi teras sembari menyisir jari ujung rambutnya, beserta kantung keresek metalic tergeletak di atas meja. Seketika senyum Shaina luntur, dasarnya harapan yang terlalu tinggi. Tak lama cowok itu menengok dan tersenyum tipis ke arah Shaina.
"Kak Ervan ngapain kesini? Kok tau rumah gue?" tanya Shaina sembari mendaratkan pantat di kursi kayu itu.
"Mm.. insting, hehe." Ervan sempat nyengir kuda sebelum menegakkan punggung. "gue ganggu ya? Lagi belajar?"
"Engga kok, udah selesai dari tadi. Btw kakak ada perlu apa?" tanya Shaina, dalam hati sudah menebak pasti karena gagal diajak jalan pulang sekolah makanya Ervan menyambangi kediaman Shaina. Ambisius. Shaina juga tau pasti Dera yang memberi tau alamat rumahnya.
"Gak ada perlu apa-apa juga sih, iseng aja." Ervan lagi-lagi menyunggingkan senyum. "kebetulan juga, tadi gak sengaja ketemu martabak di jalan yaudah gue kesini aja."
"Kakak repot-repot segala sih, makasih ya."
"Gapapa lah sekalian mampir."
Sesaat hening menyelimuti, keduanya asik terdiam memperhatikan taman kecil yang temaram di depan rumah Shaina, dimana berbagai tanaman menghias di sekitarnya, termasuk bonsai. Bahkan ketika sudah ada Ervan di sisinya, Shaina masih saja sempat melamunkan Shaka, Shaka berhati beku sulit ditebak dan ditaklukkan.
Sungguh menyebalkan, bisa-bisanya presiden kutub itu merajai otak Shaina. Sampai kepala rasanya pening dan Shaina ingin menenggelamkan diri ke dalam lemari es. Ekspresi kesalnya kian mengundang kerutan di dahi Ervan, tapi baru saja ingin buka mulut suara lain datang.
"Shaina, temennya dateng kok gak dibikinin minum?"
Kanaya-ibunda Shaina, keluar dan membuyarkan lamunannya. Sontak Shaina mengerjap dan masuk ke rumah setelah sebelumnya berucap maaf kepada Ervan agar menunggu sebentar. Selama Shaina pergi ke dapur, Kanaya menemani Ervan untuk bercakap-cakap ringan. Hingga Shaina kembali lagi membawa minuman sirup, Kanaya menyingkir meninggalkan mereka bersama.
"Shaina, tadi nyokap lo bilang, dikiranya gue cowok yang kemarin nganter lo balik. Emang, lo udah punya pacar ya?" tanya Ervan setelah meneguk sedikit minumnya.
"Hah! Oh, itu, bukan, temen doang kak." kata Shaina. Dan Ervan masih penasaran karenanya. "Tapi deket banget?"
"Ya, deket lah sekelas." Shaina mengusap tengkuk serasa diinterogasi, terlebih lagi tatapan Ervan bagai menusuk.
"Siapa?" tembak Ervan antusias, merasa terancam.
"Mm .. Shaka." ujar Shaina ragu-ragu.
Sial. Diam-diam jemari Ervan mengepal erat.

Comentário do Livro (91)

  • avatar
    milakarmilah

    keren bgt cerita nya ..ga ribet,ga drama,singkat padat n jelas,suka banget aku...sukses selalu kakak🥰

    26d

      0
  • avatar
    Puspa

    bagus saya suka shaina

    11/08

      0
  • avatar
    MaurantiVia

    kayaknya seru ini cerita

    30/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes