logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Jika  Memang Jodoh, Bisa apa?

Jika Memang Jodoh, Bisa apa?

Yosi Hanr


1 | Cappucino Pengikat Jodoh

“Gimana? Bagus nggak cincinnya, Yank?” Dua muda mudi yang duduk di depannya terlihat sedang bahagia. Si pria sedang menggenggam jemari wanitanya yang baru saja di pasangi cincin.
“Bagus, Yank. Aku suka. Makasih, ya,” jawab si wanita genit. Jelas sekali si wanita kegirangan di kasih cincin bermanik berlian. Raut wajahnya mengambarkan itu semua.
Faiqa yang duduk di meja belakang pasangan yang berbahagia itu menirukan ekspresi orang sedang muntah, merasa mual mendengar celotehan romantis mereka.
Huek. Huek. Huek
Perutnya bereaksi beberapa kali. Dia yang belum pernah bersinggungan dengan lelaki mana pun itu merasa kegiatan pasangan di depannya terlalu merusak pandangan dan menggangu pendengaran.
Faiqa sedang menunggu kedatangan pesanannya, Cappucino dingin cukup terganggu dengan penampilan drama romantis di depannya. Gadis berwajah manis dengan alis tebal tanpa di sulam itu tengah menikmati waktu istirahat siang.
“Aku akan segera datang menemui orang tuamu untuk melamar secara resmi.” Faiqa masih bisa mendengar percakapan pasangan di depannya. Bukan sengaja ingin mendengar, tetapi jarak mereka terlalu dekat, sehingga dia bisa mendengar semuanya dengan jelas. Ingin pindah, tetapi keadaan kafe cukup ramai karena jam istirahat siang.
Faiqa Tsuraya, begitu nama lengkapnya. Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, tepatnya 32 tahun, tidak terbersit dalam benaknya untuk segera menikah. Jangankan menikah, berkenalan dengan pria saja dia ogah. Baginya, pria itu hanya menambah beban hidup saja. Hal itu di sebabkan trauma masa lalu yang membayanginya seumur hidup.
Faiqa mulai tak sabar, pesanannya tak kunjung datang. Dia berpaling melihat kasir, ingin menanyakan status pesanannya, sudah di buat atau masih menunggu antrian.
Disaat yang bersamaan, Pramusaji datang membawa pesanan di belakangnya. Faiqa yang kaget tidak sengaja mencondongkan tubuhnya kesamping, membuat langkah Pramusaji oleng, karena beradu dengan tubuh Faiqa. Seketika nampan yang berisi minuman itu jatuh menimpa Faiqa.
“Aduuh! Kalau jalan hati-hati, dong,” teriak Faiqa langsung berdiri, mengibas bajunya yang terkena minuman. Tetapi percuma, bekas kopi bercream itu tidak mau hilang dengan kibasan tangan belaka.
“Maaf, maaf, saya nggak sengaja, saya akan mengganti minuman Ibuk yang tumpah,” ucap Pramusaji sambil menunduk merasa bersalah.
Pramusaji pria itu mengambil lap kain yang tersampir di bahunya, lalu ikut membersihkan bekas Cappucino di baju Faiqa.
“Heh! Jangan sentuh-sentuh!” Kembali Faiqa berteriak, membuatnya jadi pusat perhatian semua pelanggan kafe, termasuk muda mudi yang tadi sedang bermesraan.
"Maaf, saya cuma mau bantu membersihkan," kata Pramusaji masih bersikap sopan. Dia menunduk di samping Faiqa, menunggu Faiqa memberaihkan pakaiannya.
“Minggir!” Faiqa menepis tubuh sang Pramusaji yang menghalangi langkahnya, dia hendak meninggalkan kafe.
“Tunggu, Buk,” ujar Pramusaji lantang, membuat langkah Faiqa terhenti.
“Apa lagi?” seru Faiqa seraya berbalik badan.
“Ibuk nggak usah bayar minuman yang tumpah barusan,” ucap Pramusaji dengan nama Satrio tertulis di name tagnya santai.
Faiqa yang berjalan berlainan arah dari tempat kasir merasa tersindir dengan ucapan Satrio, “Memang tak akan kubayar. Seharusnya kamu yang ganti rugi. Merusak baju mahalku. sudah baik aku pergi melupakan kejadian memalukan ini” ujar Faiqa kesal mulai tak sabar. Dia canggung sekali menjadi pusat perhatian dengan pakaian kotor tumpahan minuman seperti itu.
“ Ibuk yang salah, Ibu yang melengok ke belakang, lalu kaget melihat kedatangan saya, dan menyenggol saya yang sedang membawa nampan. Saya sudah minta maaf, walaupun bukan saya yang salah. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu galak, Buk. Nanti sulit dapat jodoh.” Satrio dengan percaya diri membalikkan keadaan, mencerca Faiqa tepat menghujam jantung. Tak lupa Pramusaji bernama Satrio itu memberikan senyum manis pada Faiqa.
“Heh!....” Tidak sempat Faiqa melanjutkan ucapannya untuk membalas Satrio, terlihat beberapa pelanggan mulai berbisik menatapnya sambil tersenyum geli.
Faiqa memutuskan untuk segera meninggalkan kafe, tak lupa sebelum membalik badan, dia memberi ancaman pada Satrio dengan isyarat mulutnya, ‘Awas kau ya!’
Setengah berlari, Faiqa berjalan menuju pintu keluar. Tak tahan terlalu lama menjadi tontonan banyak orang. Dia berjalan sambil menutup wajah dengan tanganya, agar tidak terlalu malu saat bertemu orang yang sedang menatapnya heran.
Hari ini moodnya mulai rusak semenjak kedatangan muda mudi masuk ke kafe. Mereka duduk tepat di depannya sambil bersikap mesra. Di tambah lagi barusan ke tumpahan minuman dan di permalukan seorang Pramusaji.
Bughk! Penuh kesal Faiqa memukul meja, mengingat kejadian yang menimpanya hari ini. Dia sudah mengganti baju dengan persediaan baju yang ada di kantor, baju yang sengaja di buatkan untuknya oleh karyawannya.
Tok. Tok. Tok
Pintu ruangannya di ketuk. Tari, Sekretarisnya muncul di balik pintu.
“Bu, ada tamu sedang menunggu di bawah,” ucap Tari berdiri di dekat pintu.
“Siapa?”
“Sepertinya teman kuliah, Ibuk,” jawab Tari.
Faiqa berfikir sejenak siapa kira-kira teman kuliah yang di maksud. Sejauh ini dia sudah tidak pernah berhubungan dengan teman kuliahnya dari habis wisuda.
“Baik, biar saya lihat bawah,” jawab Faiqa seraya berdiri.
Faiqa turun dari ruangannya menuju lobi, menemui teman kuliah yang sedang menunggu.
“Hai, Sis, ada apa gerangan membawamu kemari?” sapa Faiqa seraya menghampiri temannya yang sedang duduk di sofa lobi.
“Susah bertemu dengan bos, banyak jadwal meeting di luarnya. Sampai nggak sempat memikirkan masa depanya sendiri,” gurau Siska menyunggingkan senyum menggoda, menyambut kedatangan Faiqa. Keduanya duduk saling berhadapan.
Faiqa yang sudah rusak moodnya terpercik emosi mendengar gurauan temannya itu. Tetapi, dia berusaha tahan agar tidak menyemprot Siska dengan ucapan pedas, sepedas cabe setan level 10.
‘Dih, nih anak nggak pernah berubah, dari dulu suka resek mulutmu’ bathin Faiqa mengusap dada, menahan sabar.
“Langsung aja, apa tujuanmu ke sini?” lontarnya sopan. Faiqa berusaha menyaring ucapan yang keluar dari mulutnya. Tidak baik meyambut tamu dengan nada ketus.
“Idih, si bos, gampang sekali naik darahnya.” Siska masih terus menggoda temannya itu. Dia tidak tahu mood Faiqa sedang sangat buruk.
Faiqa memalingkan wajahnya menatap keluar. Dia menyesali Siska yang datang saat suasana hatinya sedang buruk. Faiqa bukan orang yang bisa menyembunyikan perasaan yang di alaminya. Jika kesal, maka akan terlihat jelas di raut wajahnya sedang kesal. Apalagi, Faiqa tidak sempat melampiaskan kemarahan pada Satrio sang Pramusaji yang menumpahkan minuman ke pakaiannya.
Beruntung Siska sudah mengenal watak Faiqa dari dulu, jika sedang kesal atau marah jangan harap cepat membaik.
Tak kunjung melihat Faiqa merespon candaannya, akhirnya Siska menyerah, “Oke, oke. Aku berkunjung ke sini ingin menyerahkan undangan ini. Pernikahan Paula. Datang, ya.” Siska mengeluarkan selembaran undangan dari tasnya dan menyerahkan ke Faiqa.
Faiqa mengambil undangan yang di ulurkan Siska.
“Udah mau menikah aja, si Paula. Perasaan baru kemarin aku menggendongnya dalam pangkuan.” Faiqa merasa takjub melihat undangan di depan matanya. Bukan karena undangannya yang indah, melainkan nama yang tertulis di sana. Paula, adik kecil yang sering minta gendong meski usianya sudah tujuh tahun waktu itu, saat Faiqa bermain ke rumah Siska di masa kuliah.
“Dia udah nggak kecil lagi, Fai, sudah 22 tahun,” kata Siska membuyarkan lamunan Faiqa yang membayangkan Paula sebagai anak kecil yang berusia tujuh tahun.
“Dunia cepat berputar, ya.” Faiqa menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa sambil menghela nafas berat. Entah apa yang sedang berkecamuk di benaknya.
“Tinggal kamu aja yang belum menikah, kapan lagi, Fai? Wanita jika sudah melewati usia 35 tahun bakal susah lakunya.” Kata Siska menasehati temannya. Ucapan Siska memang selalu pedas. Tak peduli siapa lawan bicaranya, dia akan langsung menyuarakan isi hatinya. Faiqa yang sedang sibuk dengan pikirannya kembali duduk tegap mendengar celotehan teman lamanya itu. Serasa ada asap keluar dari dua telinganya.
Sebenarnya tidak salah ucapan Siska, tetapi membicarakan pernikahan pada seseorang yang membenci kata sakral tersebut sepertinya sedang membangunkan singa yang sedang tidur.
“Baik. Baik. Aku nggak bahas itu lagi. Sebaiknya aku pamit undur diri, masih banyak undangan yang harus di sebar. Takut lama-lama di sini, bisa jadi mangsa singa lapar aku.” Siska buru-buru berdiri, dia cemas melihat ekspresi Faiqa yang siap menerkamnya kapan saja.
Secepat kilat Siska berlalu sambil tersenyum puas mengerjai temannya meninggalkan lobi, menyisakan Faiqa dengan wajah memerah menahan amarah.
“Siskaaaaa!” teriak Faiqa kencang. Melampiaskan seluruh emosi yang dari tertahan. Teriakan cemprengnya menggema di seluruh ruangan. Mengagetkan semua karyawan yang sedang fokus bekerja.
Para karyawan sudah paham dengan sifat bos mereka yang emosian. Hampir mereka semua di sana pernah kena amukannya.
Dada Faiqa sedikit plong setelah mengeluarkan lava kemarahan yang menumpuk di sana. Undangan yang berada dalam genggamannya remuk akibat di genggam terlalu kencang. Tak mengapa, asal hatinya senang. Dia bisa menghubungi Siska kembali untuk menanyakan kapan hari H.
Faiqa berjalan ringan menuju ruangnya kembali.
Bersambung

Comentário do Livro (42)

  • avatar
    69Rain

    cerita menarik mantap gan

    3d

      0
  • avatar
    RahmawatiSuci

    Bagus banget

    16d

      0
  • avatar
    Anisa Fauzia

    bagussss

    19d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes