logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Pagi Hari Itu

Pukul 05.00 Wib.
"Non Rei!"
"Bik, tolong."
Dengan tertatih Reisa melangkah. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak tertahankan lagi.
Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang terlihat tidak seperti biasanya. Dia tergopoh-gopoh memeluk agar wanita itu tak luruh ke lantai.
"Astagfirullah, Non. Kenapa?"
Inah memapah dan membantu Reisa duduk di sofa. Sebagian pakaiannya robek dengan rambut yang acak-acakan. Ada bekas lebam di kedua pergelangan tangannya. Juga ... bercak darah.
"Panggilin taksi, Bik. Aku mau pulang," lirihnya.
Mata Reisa terlihat bengkak dengan air mata yang tak berhenti menetes. Rintihan kesakitan terus saja terucap dari bibirnya.
"Ada Tarno, Non. Sebentar Bibik panggilkan di belakang."
Inah berlari ketakutan. Dia hendak memanggil supir yang baru saja datang.
"Ya Allah, Non Reisa kenapa? Apa Den Andra?"
Inah menepis semua prasangka. Seingatnya, Reisa sudah pulang tadi malam karena sudah berpamitan. Dia sendiri tertidur karena kelelahan. Namun, jika melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu.
Tuannya juga tidak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamar Andra setengah terbuka walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Dia tidak berani mengintip karena itu tidak sopan.
"Nok, Nok! Cepetan udah ke sini." Setengah berlari Inah memanggil Tarno di belakang rumah.
Rutinitas Tarno setiap pagi adalah mengantar Andra berangkat bekerja. Saat ini dia sedang membersihkan mobil, memeriksa mesin, dan segala sesuatunya agar saat perjalanan nanti berjalan lancar.
"Kenape lu, Jah? Kayak di kejar setan aja."
Tarno menghentikan pekerjaannya. Terkejut saat melihat Inah yang berlari tak karuan juga ketakutan tidak jelas.
"Tolongin Non Reisa, Nok," ucap Inah setengah terisak. Lalu, dia menceritakan semua yang dilihat tadi.
Tarno yang sigap siaga segera bergegas ke depan. Melihat kondisi Reisa, dia hanya bisa mengelus dada. Gadis itu terbaring di sofa dengan kondisi lemah.
"Non Reisa kenapa?"
Tarno memeriksa keadaan Reisa, lalu mengucap istigfar berulang kali.
"Ya Allah, Non. Ini kayak abis di perko--"
Tarno berbalik ke arah Inah, mencoba meminta penjelasan. Namun wanita paruh itu tidak bisa menjawab apa-apa. Reisa sendiri sudah tak dapat bersuara. Gadis itu sudah hampir pingsan.
Melihat Inah yang mulai ikut terisak, Tarno semakin bingung.
"Cepetan, Nok. Bawa Non Rei pulang," titahnya.
Inah membantu Tarno membawa Reisa ke mobil.
"Den Andra?" Tarno bertanya.
"Udah nanti aja. Tolongin Non Rei dulu. Kasian dia."
Inah membuka pintu mobil, lalu membantu Reisa masuk dan membaringkannya pelan.
"Jalan, Nok," ucapnya sembari melambaikan tangan.
Inah mengucap doa dalam hati, semoga nonanya baik-baik saja saat tiba di rumah nanti. Dia berharap bahwa keluarga Reisa akan memperlakukannya dengan baik, mengingat kondisinya yang cukup parah. Semoga apa yang dia duga tadi tidak terjadi.
Sepanjang perjalanan, Tarno terus saja melihat keadaan Reisa di belakang. Gadis itu menangis sesegukan, lalu tak lama tertidur dengan kondisi yang memperihatinkan.
"Ya Allah. Semoga apa yang aku takutkan tidak benar adanya," batin Tarno.
Dalam keadaan begini hatinya merasa tak tenang. Reisa sudah biasa dan sering datang ke rumah tuannya. Kadang gadis itu membawakan makanan dan buah tangan. Sifatnya begitu manja karena sudah tidak memiliki ibu.
Setahu Tarno, Reisa dan Andra sudah seperti kakak adik. Namun, kalau memang benar mereka akrab layaknya saudara, kenapa Andra ....
Tarno kembali menepis pikiran itu. Lalu, dibenaknya melintas sesuatu. Apa tuannya diam-diam menyukai Reisa?
* * *
Andra terbangun dari tidur panjang. Kepalanya terasa sakit akibat pengaruh alkohol yang ditenggak. Walaupun dia tidak mabuk parah, tetap saja barang haram itu membuatnya tubuhnya tak nyaman. Dia jarang menyentuhnya, hanya sesekali saat ada perayaan tertentu.
Andra duduk dan bersandar head board di ranjang, kemudian tersadar saat melihat kondisi tubuhnya hanya berbalut selimut.
"Gue abis ngapain?"
"Reisa mana?"
"Ya Allah!"
Andra berlari ke kamar mandi saat merasakan mual yang hebat melanda perutnya. Gaegas dia memakai pakaian dan segera keluar mencari Reisa. Seluruh rumah dia kelilingi. Namun, hasilnya nihil. Lelaki itu tidak menemukan keberadaan gadis itu sama sekali, di ruang mana pun.
"Rei! Rei!" teriaknya.
Tidak ada jawaban, rumah itu sunyi sepi. Ke mana yang lain? Mengapa tidak ada orang?
"Inah! Inah!"
Suara Andra menggelegar, membuat Inah yang sedari tadi bersembunyi menjadi semakin ketakutan. Belum pernah seumur hidupnya mendapati keadaan rumah seperti sekarang.
Inah bergegas datang karena tuannya sudah memanggil.
"Mana Reisa?!"
Setengah membentak, Andra bertanya kepada orang yang sudah merawatnya sejak bayi.
"Pu ... lang, Den."
Lutut Inah gemetaran karena selama ini tuannya tidak pernah marah.
Sekalipun dia hanya pembantu, Andra tidak pernah berlaku kasar kepada semua orang yang bekerja di rumahnya. Begitu pula mendiang orang tuanya.
"Siapa yang antar?" Kali ini suara Andra sedikit melunak.
"Si Nok, Den."
Inah tertunduk. Sepuh usianya, renta tubuhnya. Hanya saja dia masih tahu diri apa posisinya di rumah ini.
"Mobil Non Rei masih di parkiran," jelas Inah.
"Rei ..." Andra jatuh terduduk.
"Maafin gue. Maaf."
Andra bersimpuh di hadapan Inah terisak. Dia tidak tahu apa dirasakan saat ini. Apakah dia menyesali perbuatannya atau malah bahagia dan mensyukurinya.
"Den."
Inah mendekati tuannya dan ikut menangis. Andra yang dia kasihi seperti anak sendiri. Entah apa yang telah terjadi dia tidak akan bertanya. Dia hanya perlu ada untuk mendengarkan dan menguatkan.
Dalam posisi ini, Andra hanya perlu seseorang untuk tempatnya berbagi. Inah akan melindungi, menjaganya sampai kapan pun. Bila perlu, mungkin hingga menutup mata kelak.
"Maafkan aku Ma, Pa."
Andra meraung di pelukan Inah. Segalanya tumpah ruah di bahu renta itu. Di antara tangisnya, dia menceritakan semua.
Semua rencana yang sudah disusun sejak lama. Sejak Dimas melamar Reisa. Sejak gadis itu bercerita dengan mata berbinar bahwa mereka akan mempercepat rencana pernikahan.
Reisa mengajaknya pergi ke mana-mana untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang pernikahan. Amdra muak mendengarnya. Muak karena calon suami yang dibanggakan gadis itu tidak bisa menemani dengan alasan sibuk.
Andra sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegah terjadinya pernikahan mereka. Untuk itu, dia merencanakan semua dengan sangat matang.
Sebuah diskotik menjadi pilihan. Andra menyewa seorang wanita malam dan berpura-pura mabuk, lalu menelepon Reisa untuk datang dan meminta untuk mengantarnya pulang.
Jantungnya berdebar kencang menunggu momen itu. Sandiwaranya berhasil. Semuanya berjalan sesuai dengan alur yang direncanakan.
Ketika Inah keluar dari kamar dan menutup pintu, Andra menarik Reisa ke pelukan. Lalu, memaksa untuk menuruti semua keinginannya.
Malam itu, Andra telah berubah menjadi sosok yang bejat. Dia merenggutnya, merampas apa yang dimiliki Reisa dengan alasan cinta.
Andra lupa bahwa cinta itu menjaga, bukan menghancurkan. Cinta itu mengasihi, bukan merusak. Cinta itu berkorban. Cinta itu ketulusan.
Cinta itu mengikhlaskan, bukan memaksa. Ikhlas sekalipun dia bahagia bersama orang lain.
Semua impian indah Reisa tentang pernikahan kini hancur lebur. Namun, apa yang sudah dipersiapkannya tidak akan sia-sia. Dia akan menjadi mempelai wanita paling cantik. Bersanding dengan seorang lelaki gagah yang telah bersumpah bahwa seumur hidup akan menjaganya.
Takdir untuk Reisa telah ditetapkan. Maka, dia harus menerima semua dengan lapang dada, sekalipun itu menyakitkan.

Comentário do Livro (71)

  • avatar
    Mapafi des Laia

    saya suka dengan ceritanya

    03/03/2023

      0
  • avatar
    Gem Bocil

    sangat berkualitaa

    05/02/2023

      0
  • avatar
    Jasmine

    jos

    04/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes