logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Drama Ibu mertua

SATU ATAP DUA DAPUR
BAB 2
Tapi kenapa sepertinya memang Ibu sengaja mengambil. Padahal, kan kalau ibu meminta pasti aku berikan. Kenapa musti diam-diam mengambilnya.
****************
Setelah selesai memasak, gegas aku ke kamar untuk membangunkan Mas Rudi. Karena usai salat subuh dia akan kembali tidur.
"Mas, bangun." Kugoyang-goyang tubuh Mas Rudi. Hingga akhirnya teebangun.
"Hoam ... jam berapa ini, Dek?" terlihat sekali kalau suamiku ini masih mengantuk.
"Jam enam, Mas. Ayo cepetan mandi!" Kutarik tangan Mas Rudi hingga berdiri kemudian kudorong tubuhnya sampai depan pintu kamar mandi. 
Segera kusiapkan pakaian seragam milik Mas Rudi. Suamiku itu bekerja di kantor PLN. Usai menyiapkan seragam untuk Mas Rudi. Segera ku ke dapur untuk menyiapkan kotak bekal makan siang untuknya.
Ku ambil kotak, kutata nasi beserta lauknya. Dari seberang dapur kulihat ibu mertua begitu kerepotan. Setiap hari dia memasak sendiri tak pernah adik iparku itu membantu ibunya. Kasihan sebenarnya, tapi semua itu adalah keinginan ibu mertuaku sendiri agar kita memasak sendiri-sendiri. Entah ... apa yang membuat Ibu tidak mau memasak makan bersama seperti dulu. Awal aku tinggal disini sebenarnya kami tidak masak sendi-sendiri, tapi entah kenapa tak berapa lama Ibu memintaku untuk memasak makanan untukku dan Mas Rudi sendiri. Tapi meski begitu Mas Rudi tetap memberikan jatah bulanan kepada Ibu. Aku juga tak pernah keberatan, karena aku tau ibu juga masih menjadi tanggungan dari anak laki-lakinya. Aku tak pernah melarang Mas Rudi untuk berbakti pada orang tuanya. Karena aku tak mau orang tua mas rudi menganggap aku telah merebut anak lelakinya.
"Dek." Mas Rudi menepuk pundak ku. Seketika aku tersadar dari lamunanku.
"Eh ... iya, Mas."
"Lagi ngelamun, ya?" tanyan Mas Rudi padaku seraya menarik kursi.
"Tidak, Mas. Ya, sudah yuk sarapan," ucapku. Segera ku sendokkan nasi ke dalam piring, kutambahkan lauk. Hari ini aku masak makanan kesukaan Mas Rudi yaitu opor ayam. Aku masak agak banyak, karena aku fikir supaya cukup untuk makan malam. Tak perlu memasak lagi dan tinggal dihangatkan saja.
"Hmmm .. enak sekali ini, Dek." Puji Mas Rudi. Dia berbicara dengan mulut yang penuh dengan makanan. 
"Yang bener, Mas? Kalau gitu nambah lagi masih banyak itu lauknya."
Saat sedang asyik makan, tiba-tiba ibu mertua menghampiri kami. 
"Rud, bilang pada istrimu. Jangan kurang ajar sama Ibu. Dia menuduh Ibu mencuri belanjaannya." Ibu berucap sambil menangis terisak.
"Benar itu, Dek?" tanya Mas Rudi menyelidik.
"Aku tidak bermaksud menuduh, Mas. Aku hanya ingin menanyakannya saja." jawabku pada Mas Rudi
"Lalu apa namanya kalau bukan menuduh, sampai-sampai kamu lancang membuka barang Ibu," sela ibu masih terisak.
"Kenapa sih, Dek, masih aja dibahas soal belanjaan itu. Dan kalaupun benar ibu yang mengambil, juga tak masalah,kan? Toh dia itu ibuku. Kamu kok perhitungan sekali sama Ibu." Mas Rudi pergi begitu saja tanpa menghabiskan sarapannya.
"Rasakan itu, makanya jangan kurang ajar padaku," gumam ibu sambil tersenyum sinis. Mungkin ia merasa di bela oleh anak lelakinya. Lantas dia berlali dari hadapanku.
Segera kususul Mas Rudi untuk memberikan kotak bekalnya. Kulihat dia hendak bersiap pergi.
"Mas, ini bekalnya." Kuletakkan kotak bekal di atas meja. 
"Iya," jawabnya singkat tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. 
Usai memakai sepatu Mas Rudi tergesa pergi naik motor. Dia berangkat tanpa berpamitan padaku. Bahkan belum sempat ulurkan tangan, dia sudah berlalu begitu saja. Aku termenung melihat kepergian Mas Rudi. Hingga suara motor Mas Rudi tak terdengar lagi.
Apa Mas Rudi marah padaku karena tak biasanya dia pergi tanpa berpamitan padaku. Aku jadi berpikiran yang aneh-aneh.
Dari pada berfikiran yang tidak-tidak. Kuputuskan saja untuk mencuci baju.
Kuambil keranjang yang sudah penuh dengan baju kotor. Karena aku memang sengaja mencuci dua hari sekali. Dan juga aku mencuci menggunakan mesin. Mesin cuci ini dibelikan Mas Rudi sebagai hadiah ulang tahunku. 
"Mbak, nitip cucikan punyaku!" Erna menenteng keranjang cucian miliknya, yang terlihat sangat penuh.
"Mbak, budek atau apasih? Diajak ngomng diam aja." Erna meninggikan suaranya.
"Ada apa sih, aku gak dengar," jawabku tanpa menoleh padanya. Sedangkan tanganku sibuk memasukkan baju kedalam mesin cuci. Sebenarnya bukanya tak mendengar tapi karena malas saja menanggapinya. 
"Ini, nitip cucikan punyaku"
"Maaf, cucian Mbak juga banyak. Jadi kamu cuci sendiri, ya!" jawabku menolak perintahnya. Karena kurasa dia bukannya meminta tolong lebih terkesan memerintah.
"Aku mau kerja, Mbak! Jadi mana bisa aku mencucinya. Lagian kan Mbak nganggur jadi apa salahnya jika mencucikan bajuku.
"Kamu, kan bisa bangun lebih awal buat nyuci. Dan kurasa juga tidak susah tinggal colokin dan putar tombol mesin cuci sudah beres, kan.
Bukan sekali ini saja dia nitip mencucikan baju. Awalnya aku kasihan padanya. Kupikir karena di lelah bekerja, namun lama-lama kok dijadikan sebagai kebiasaan.
Setelah memutar tombol pengatur waktu pencucian. Aku tinggalkan dia yang masih saja mengomel. 
Aku kedepan bermaksud untuk menyiram tanaman di depan. Bukan hanya bunga, tapi juga ada sayuran. Lumayan kan ngirit uang belanja.
"Heh, kamu itu kenapa sih, dititipin cucian Erna saja tidak mau." Tiba-tiba saja Ibu 
sudah mengomel di belakangku.
"Tapi, cucian saya juga banyak."
"Halah banyak alasan kamu itu, kamu kan di rumah nganggur jadi apa salahnya cucikan baju milik Erna. Dia itu mau berangkat kerja." Yah aku sudah menduga pasti dia mengadu pada Ibu. Dan seperti biasa ibu mertua akan membelanya.
"Tapi, Bu, Erna kan bisa bangun lebih awal buat cuci baju lagian kan nyucinya juga pakai mesin."
"Kamu itu ngeyel aja. Lagian kamu kan disini numpang, jadi jangan kurang ajar." Selalu itu yang dikatakan mertuaku seolah mengingatkan kalau aku disini hanya sekedar menumpang.
"Betul itu, Bu. Mbak itu disini cuma numpang," timpal Erna yang entah sejak kapan dia ada di belakangku. 
"Sebenarnya aku juga terpaksa mengizinkan kalian menikah, karena Rudi yang terus memaksaku untuk menerima dirimu. Kalau saja Rudi tidak menolak dijodohkan dengan Lila anak juragan Gani, pasti sekarang aku sudah hidup enak," ucap ibu tanpa memikirkan perasaanku.
"Lagian apa sih yang dilihat kakakku itu, 
bila dibandingkan dengan Lila, Mbak itu jauh banget. Oh, iya kalian itu sudah menikah hampir dua tahun tapi kok, Mbak belum hamil juga, atau jangan-jangan Mbak itu MANDUL."
Plak ... ku tampar pipi Erna. Entah mengapa aku tidak terima jika dia mengatakan aku mandul. 
"Beraninya kamu menampar putriku."
"Erna sudah keterlaluan, Bu. Jadi jangan salahkan aku jika aku menamparnya."
"Kamu ... Ya." 
ketika Ibu mengayunkan tangan ke udara bersiap untuk menamparku, tiba-tiba terhenti karena teriakan seseorang.
"Ada apa ini."
Reflek kami semua menoleh ke sumber suara.
bersambung ....

Comentário do Livro (39)

  • avatar
    Slamet Budiono

    jadi ga sabaran kelajutanya suka banget ceritanya kehidupan rumah tangga bikin jengkel sm mertuanya bikin yng berani tu mantunya biar ga dizollmi terus biar mertuanya takut 👍👍👍👍jangan terlalu lama nunggu kelanjutanya sukses mantap sekaleeee

    21/01/2022

      4
  • avatar
    MirulBotak

    good

    14d

      0
  • avatar
    TriyanaRiska

    jadi ngga sabar cerita berikutnya

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes