logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Lima

Lima
Aku telah selesai memasang kamera pengawas dan kembali duduk sambil menatap layar di depanku. Kulihat Stefan masih belum tidur. Dia sedang duduk di kursi. Sebuah kaleng minuman berada di genggaman tangannya. Dia pasti kembali ingat pada Vita.
Gadis yang beruntung, ucapku dalam hati. Bahkan kepergiannya menyisakan kenangan yang begitu dalam untuk Stefan. Sementara aku, aku bahkan sudah lupa seperti apa wajah ayah dan ibuku. Satu-satunya yang membekas di benak hanya kebencianku pada mereka.
Waktu berlalu. Kulihat Stefan belum juga tertidur. Ia justru beranjak keluar dari kamar. Aku hendak beringsut keluar, saat melihat lewat layar dia menuju ke kamarku.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Rupanya dia telah berdiri di luar kamar.
"Apa kau sudah tidur?" tanyanya. Aku bingung hendak menjawab apa, bahkan pintu kamar tidak berani kubuka. Jadi hanya kulihat dia lewat layar.
"Bagaimana bisa seorang penjaga bahkan tidur lebih dulu dari orang yang dijaganya?" ucap Stefan lagi seraya duduk bersandar di pintu kamarku.
"Jika terjadi sesuatu padaku, bagaimana kau akan menolongku?"
Aku hendak menjawab, tetapi akhirnya kuputuskan untuk tetap diam. Mungkin dia ingin bercerita sesuatu dan tidak nyaman kalau tahu bahwa aku mendengar semua kata-katanya. Kulihat kembali lewat layar, ia menyalakan dan menghisap sebatang rokok. Dihembuskannya asap rokok itu ke udara.
"Kau tahu kau sangat mirip dengannya. Tentu saja itu bukan wajahmu, tapi sikapmu dengan dia begitu sama. Kalian sama-sama pemberani."
Dia kemudian tampak tersenyum miris.
"Kau tahu dialah yang menantangku menciptakan obat ini. Obat yang juga menyebabkan ia menderita karena terpapar dan akhirnya meninggal. Aku berada di sana dan aku tidak berdaya. Aku tidak bisa menyelamatkannya."
Aku hanya diam mendengar. Jadi seperti itu. Cara dia menatapku saat kami bertemu adalah karena aku mirip dengan Vita. Seberkas rasa kecewa menyeruak dalam hatiku.
Apa-apaan aku ini? Toh dia bukan siapa-siapa aku," marahku pada diri sendiri.
"Setelah Vita meninggal, aku ingin menghancurkan obat itu. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Itu sama seperti menghancurkan segala mimpi dan kenangan yang tersisa."
Dia kemudian meneguk minuman kaleng yang berada di sampingnya. Tawa pahit yang memilukan terdengar jelas di telingaku.
"Ini semua terjadi karena para pembunuh itu. Seandainya mereka tidak datang, obat tersebut tidak perlu dikeluarkan dari lemari steril oleh Vita. Mereka telah menyebabkan semua ini terjadi dan aku tidak berdaya untuk menghentikannya. Aku benar-benar lemah dan bodoh. Seharusnya aku yang mati untuk melindungi Vita, tapi aku terlalu pengecut."
Aku diam. Para pembunuh itu pasti juga sama sepertiku. Mereka hanya orang suruhan. Datang untuk melakukan tugas. Sama seperti yang selama ini. Stefan sangat membenci mereka. Jika dia tahu yang sebenarnya, ia pasti juga akan amat membenciku.
Aku kembali melihat Stefan lewat layar. Dia sedang kembali menyulut rokok dan menenggak minuman kaleng. Perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya muncul dalam benakku. Jika Stefan tampak begitu terpukul, bagaimana dengan keluarga orang-orang yang kubunuh? Apa mereka juga mengalami duka yang sama?
***
Pagi telah menjelang, tetapi semalam baik aku maupun Stefan nyaris tidak memejamkan mata. Setelah membersihkan diri, aku bergegas menuju dapur untuk menyeduh kopi. Kutuang kopi pahit yang baru selesai kubuat dan duduk di kursi ruang makan.
"Kau sudah bangun?" tegur Stefan. Ada bekas lingkaran hitam di matanya. Aku mengalihkan tatapan dan mengangguk.
"Apa kau tidur nyenyak semalam?" tanya dia lagi. Sekali lagi, aku hanya mengangguk. Setelah kata-kata dia semalam, aku merasa tidak enak dan tidak tahu cara menghadapi dia.
Dua orang yang melindungi dia juga mati di tangan pembunuh, ucapku dalam hati.
Itu pasti membuat kebencian dia semakin dalam.
"Ternyata kau tidak banyak bicara. Apa mungkin ...?"
"Kau hendak ke mana pagi ini?" tanyaku memotong ucapannya. Aku tidak ingin dia tahu aku mendengar semua yang dikatakannya semalam dan merasa tidak nyaman.
"Aku ada perlu. Ingin bertemu sebentar dengan seorang teman."
Aku bangkit berdiri.
"Kalau begitu, aku permisi. Aku harus bersiap-siap," ucapku sambil bergegas. Stefan bergegas ikut berdiri dan melangkah cepat untuk menghalangiku.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
"Aku tahu kau hanya melakukan tugas, tapi kuharap kau tidak bersikap terlalu formal padaku. Jangan perlakukan aku seperti atasanmu. Aku ingin kita menjadi teman."
"Aku selalu profesional dalam pekerjaanku. Kau bukan teman. Kau hanya klien bagiku dan aku tidak memiliki waktu untuk menjalin pertemanan dengan klien yang menjadi tanggung jawabku. Asal kau tahu, setelah kau aman, maka tugasku selesai dan kita tidak akan bertemu lagi."
"Kehidupanmu itu pasti sangat sepi."
Aku diam dan bergegas berlalu tanpa menghiraukan kata-katanya.
***
Aku memeriksa sekeliling untuk memastikan situasi aman. Kami sedang berada di taman. Tidak lama seorang pria bertubuh tambun datang. Dia tertawa lebar saat melihat kami.
"Wah, siapa dia, Bro? Akhirnya kau bisa move on juga dari Vita," ucapnya.
"Jangan asal bicara. Dia ini ...."
Stefan terdiam. Ia terlihat canggung, mungkin merasa bingung harus menjelaskan siapa aku pada orang yang kuduga adalah temannya tersebut.
"Aku adalah asisten pribadinya," ucapku akhirnya.
Sang teman tampak berdecak kagum dan mengamati aku dari atas ke bawah.
"Wow, Bro, benar dia hanya asistenmu? Dia ini cantik loh, Bro. Pasti banyak cowok yang antri untuk mendapatkan dia."
Stefan menatapku. Rupanya ia merasa tidak enak dengan perkataan temannya itu. Mungkin takut aku merasa canggung dan mengambil tindakan untuk menghajar dia.
"Sudah ah, jangan mengganggunya. Apa kamu menemukan sesuatu?" tanyanya.
"Bro, kamu tahu 'kan, ini berbahaya. Orang-orang jahat itu mungkin akan mengincar kamu jika mereka tahu kamu mencari tahu tentang mereka."
"Tidak apa-apa. Aku sudah bertekad untuk mencari tahu siapa yang bermaksud mencelakai aku dan Vita. Ini semua demi Vita."
Pria gemuk itu kembali menatapku. Stefan mengangguk.
"Tidak apa-apa. Dia tahu semuanya."
Aku masih melihat sekeliling dengan waspada. Instingku mengatakan kami sedang diawasi. Ternyata tidak meleset saat aku melihat seseorang bersembunyi di balik semak dan mengarahkan pistol kepada kami. Pembunuh itu ternyata bertindak nekad meski suasana sedang ramai.
"Awas menunduk!" teriakku sambil mendorong Stefan dan memeluk dia. Kami jatuh di tanah. Peluru pistol tersebut hanya menggores dan melukai lenganku. Orang-orang di sana menjerit ketakutan melihat yang baru saja terjadi. Teman Stefan bahkan terlihat shock. Wajahnya nyaris seputih kertas.
Aku kembali melihat ke arah orang yang hendak membunuh kami. Segera aku bangkit berdiri dan bergegas mengejar.
Sial, aku kehilangan jejak! makiku saat tidak lagi melihat orang berbaju hitam tersebut. Rupanya ia menghilang di tengah keramaian. Aku terkejut saat seseorang memegang tanganku. Ternyata dia adalah Stefan.
"Kau mengagetkanku. Hampir saja aku menghajarmu!" dumelku.
"Apa yang kaulakukan?" gertaknya. Aku menatap bingung. Mengapa dia terlihat begitu marah? Apa karena aku gagal menangkap orang yang hampir membunuhnya?
"Apa kau sudah tidak waras? Kau langsung pergi padahal kau sedang terluka! Apa kau tidak peduli pada dirimu sendiri?"

Comentário do Livro (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes