logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 6 Pura-pura

Happy reading ❤
"Ada apa, Pak? Kenapa bisa macet?" ucap Bagas pada sang sopir taksi, karena mobil yang kini ia tumpangi dengan sang istri yang berada di pangkuannya, tak bergerak sedikit pun. Banyak kendaraan di luar sana membunyikan kelakson hingga menimbulkan suara yang sangat bising di telinga. Ditambah cuaca hari ini sangat panas. Makin peninglah kepala Bagas.
"Itu, Pak. Sepertinya ada kecelakaan di depan." Sopir taksi berbicara sambil membalikan tubuhnya ke arah sang penanya.
"Ya Allah ... gimana ini." Bagas prustasi.
"Atau Bapak mau turun disini saja? Sepertinya macet akan masih lama," usul sang sopir. "Lagi pula jarak rumah sakit hanya tinggal seratus lima puluh meter lagi dari sini. Bapak bisa menggendong istri Bapak ke sana. Bagaimana, Pak?"
Bagas menimbang perkataan sang sopir, sepertinya ide yang bagus.
"Baik. Makasih, Pak."
Bagas memberikan beberapa lembar uang pada sopir taksi sebelum ia menggendong Seruni ke luar dengan tergopoh-gopoh serta keringat yang bercucuran. Hingga baju yang ia kenakan basah.
####
"Istri saya kenapa, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" Bagas bertanya pada pria ber-jas putih yang memakai kaca mata serta ada sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya, yang ia taksir berusia kurang lebih lima puluh tahunan itu.
"Tidak ada hal berat hanya stres saja, tapi jika diabaikan ini bisa berbahaya juga bagi Ibu dan juga bayi yang dikandung. Makanya Bapak harus memperhatikan istri Bapak agar terhindar dari stres di masa kehamilan ini," terang Dokter itu panjang lebar pada Bagas.
"Iya, Dok. Akan saya jaga."
"Istri Bapak hari ini juga sudah boleh pulang. Tinggal menunggu sampai cairan impus yang sekarang di suntikan habis."
"Baik, Dok. Terima kasih. Saya permisi," pamit Bagas pada dokter yang telah menangani Seruni tadi.
Bagas keluar dari ruangan dokter. Berjalan di lorong rumah sakit menuju ruang perawatan istri.
Saat masuk ke dalam. Bagas melihat Seruni masih tidur. Mungkin, karena pengaruh obat yang disuntikan.
Bagas duduk di kursi pinggir ranjang. Memperhatikan wajah Seruni yang sedikit pucat. Terdapat juga lingkaran hitam di bawah matanya walau hanya samar-samar. Melarikan pandangan ke bagian pipi, pria itu baru sadar bahwa pipi istrinya sangat tirus. Tak seperti kebanyakan orang-orang hamil yang biasanya memiliki pipi cuby.
Hati Bagas sakit melihat keadaan istrinya yang tak baik-baik saja. Ia turut andil dalam hal ini. Harusnya ia lebih memperhatikan Seruni, bukannya mencari kesenangan lain.
Menggenggam tangan istri yang bebas dari selang infus lalu menciumnya lembut.
Niatnya hari ini ia akan memberitahu sebuah kejujuran. Namun, melihat kondisi seperti ini ia tak sampai hati untuk mengatakan. Menunda lebih baik. Ia akan mencari waktu lain.
"Mas ...." Seruni berbicara lemah. Mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengembalikan fokus, lalu menatap Bagas yang ada di sampingnya yang kini sedang merunduk.
"Hei. Kamu udah bangun? Gimana, udah enakan? Atau kamu mau sesuatu? Bilang sama Mas."
"Aku haus, Mas."
"Sebentar." Bagas membantu Seruni menaikan ranjang dan mengatur posisi duduk agar lebih nyaman.
Menyodorkan minuman ke dekat sang istri yang kini tengah menyambut.
"Kamu mau, Mas belikan sesuatu nggak? Sekalian, Mas mau ke kantin?" tawar Bagas sekali lagi.
"Boleh. Seruni ingin dibelikan yang segar-segar, ya."
"Segar-segar yang bagaimana?"
"Rujak, Mas."
"Di kantin mana ada yang jualan rujak, Run. Lagian kondisi kamu lagi kaya gini, masa mau makan yang kaya gituan. Ganti yang lain aja, ya?"
"Pokoknya Runi ingin makan rujak! Nggak mau yang lain" ucap Runi sambil merajuk. "Ini bukan kemauan Runi, tapi dia." lanjut Seruni. Tangannya ia elus-elus pada perutnya yang belum kentara terlihat tonjolan, karena memang usianya yang baru menginjak dua bulan.
"Ya sudah, iya. Aku cari dulu di kantin. Semoga ada." Bagas akhirnya mengalah.
####
Bagas keluar menuju kantin rumah sakit yang letaknya di belakang dekat parkiran.
Memesan kopi dan sedikit cemilan. Bagas sudah menanyai setiap stand-stand yang ada di kantin ini, tapi tak ada satu pun yang menjual makanan keinginan Seruni.
Bagas duduk seorang diri di kursi depan stand untuk menunggu pesanan kopinya datang. Meraba kantung celana, untuk mencari keberadaan ponsel, namun tak di temukan. Sepertinya tertinggal di meja kecil yang terdapat di kamar rawat Seruni.
"Mas Bagas."
Merasa ada yang memanggil namanya dari arah samping kanan tempat duduknya, Bagas pun menoleh.
Bagas sedikit terkejut saat mengetahui orang yang berdiri tepat di sampingnya. Untungnya ia bisa cepat-cepat mengendalikan diri dan bersikap biasa-biasa saja.
"Eh, Mas Adit rupanya. Sedang apa, Mas di sini? Siapa yang sakit?" tanya Bagas berbasa-basi. Sebenarnya ia malas bercakap-cakap dengan pria di depannya. Hanya saja ia harus tetap menjaga sopan santun.
"Teman kerja saya, Mas. Tadi kecelakaan di sekitar sini, saat melakukan tugas lapangan."
"Jangan-jangan yang tadi di dekat pertigaan?"
"Iya, Mas. Di situ," Jawab Adit. "Kalau, Mas sendiri ada keperluan apa di sini?"
"Oh, itu. Istri saya dirawat di sini."
"Mbak Runi kenapa, Mas?"
"Udah nggak apa-apa, ko. Sekarang juga udah boleh pulang."
"Syukur kalo begitu. Semoga Mbak Runi bisa sehat seperti sedia kala."
"Iya. Terima kasih atas doanya."
"Sama-sama. Kalau begitu saya duluan, ya, Mas," pamitnya pada Bagas.
Bagas tersenyum membalas ucapan pamit pria itu.
"Ini, Mas kopinya."
Bagas mengangguk seraya mengucapakan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanan kopinya.
####
"Halo," sapa Seruni pada si penelpon. "Halo. Kamu bisa dengar saya, kan?" ulangnya lagi.
"Halo. Assalamualaikum," jawab si penelpon di seberang sana akhirnya.
"Waalaikumsalam."
"Ini, Mbak Runi, ya?"
"Iya."
Hening. Beberapa detik, tak ada satu pun dari mereka yang memulai untuk melanjutkan obrolan. Mereka seoalah sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Akhirnya, setelah mereka lama terdiam, Serunilah yang memulai duluan.
"Bisa jelaskan sesuatu pada saya?"
Setelah itu mengalirlah cerita. Semua. Tanpa ada yang ditutupi. Seruni sakit. Tentu. Ia hanya menahannya.
"Terima kasih atas kejujurannya ... saya meminta bantuanmu, bisa?"
"A-pa, Mbak?" tanya di seberang sana dengan hati-hati.
"Jangan beri tahu prihal ini pada, Mas Bagas. Bisa, kan?"
"Ba-ik, Mbak."
"Run." Mendengar suara sang suami nemanggil, Seruni tak lantas langsung menoleh. Tubuhnya masih kaku karena menahan kesakitan sekaligus amarah. Baru setelah Bagas berjalan lebih dekat padanya, wanita itu menolehkan kepala. Pun dengan sisa-sisa kekauan di wajah.
"Eh, Mas Bagas sudah kembali, rupanya. Maaf, ya udah angkat telepon ponsel, Mas. Ini ...." Seruni berbicara dengan memaksakan bibirnya agar tercipta garis senyum, walau hasilnya aneh. Mengangsurkan ponsel yang masih terhubung dengan si penelepon ke hadapan Bagas. "Dari, Mbak Melati."
Bersambung ....

Comentário do Livro (215)

  • avatar
    Jupe New

    seru sekali

    11d

      0
  • avatar
    Dwi Erna

    bgus bgt

    15d

      0
  • avatar
    FebriyawanFeri

    good

    21d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes