logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Cinta Segitiga

***
Aku selalu salut, dengan orang orang yang mudah berbaur pada orang lain. Seakan tanpa tekanan dan beban. Bisa nyambung di berbagai topik pembicaraan tanpa harus menyamakan frekuensi. Sepertinya seru.
"Mbak Ve.. Yaampun kok makin kurus". Ibu kos menegur ketika melihatku keluar. Kebetulan rumahnya ada di sebelah kos persis. Jadi nggak heran kalau beliau selalu memperhatikan anak anak kosnya.
"Hehe enggak kok bu". Agak canggung ku jawab seadanya.
"Kurus banget sekarang mbak. Makan yang banyak. Nggak usah kepikiran macem macem. Kuliah mah dijalani aja, nanti juga selesai". Sesekali bu kos memegangi pundakku. Memastikan bahwa perasaannya benar, bahwa aku sudah kehilangan banyak berat badan.
"Semangat mbak. Yang penting tetep usaha sambil berdoa". Lanjut beliau.
"Iya bu. Makasih semangatnya. Minta doanya aja bu. Saya pamit dulu ya, ada kelas. Permisi". Ku paparkan seulas senyum kemudian pamit. Enggan berlama lama terjebak di perbincangan menyebalkan ini.
Andai saja semua orang tau bahwa teori selalu lebih gampang daripada praktek. Pasti mereka tidak akan semudah itu ketika berkata kata. Lagipula mereka hanya tau dari luarnya saja. Tanpa pernah memikirkan bagaimana usahaku dibalik itu semua.
***
Hari ini kampus ramai sekali. Mungkin karena hari senin. Jadi semua orang padat berkegiatan. Ada yang bersantai di taman sambil mengerjakan tugas, ada yang lari terburu buru karena takut telat masuk kelas, beberapa juga masih santai makan snack di depan kelas.
Berbeda sekali denganku yang datang ke kampus tanpa tujuan jelas. Niatku hanya ingin bertemu dengan manusia untuk sekedar diajak berbicara. Aku sudah terlalu lelah mengurung diri di kamar tanpa pernah berkomunikasi dengan orang lain.
"Ve!". Kali ini yang meneriakkan namaku adalah Kayla. Dia menghampiriku dengan membawa setumpuk buku tebal. Aneh sekali, padahal beberapa waktu lalu dia sangat dingin kepadaku.
"Iya, kenapa?". Ku perhatikan ekspresi Kayla. Ada gurat kemarahan di wajahnya. Namun dia masih bisa mengendalikannya dengan sangat amat baik.
"Aku mau ngomong". Jelasnya singkat. Aku semakin tidak mengerti. Biasanya Kayla akan langsung berbicara panjang lebar tanpa harus konfirmasi terlebih dahulu padaku.
"Iya". Jawabku agak gamang. Sementara muka Kayla semakin berkerut.
"Katanya kamu sama Ares cuma temen?". Tiba tiba Kayla bertanya. Aku semakin bingung dibuatnya.
"Iya. Kenapa?".
"Kalau cuma temen ngapain sampai pergi makan es krim berdua, ke pantai berdua. Bahkan sampai rela nggak kuliah buat nganterin kamu pulang waktu itu".
"Kita emang udah temenan sejak SMA. Dia udah biasa kok kayak gitu".
"Biasa katamu? Tau nggak, gara gara kamu dia jadi nggak mau buka hati buat aku. Tapi kamu malah kayak sampah". Kemarahan Kayla meledak. Dia menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf sampai menarik perhatian beberapa orang.
"Apa sih maksud kamu?". Aku masih tidak mengerti.
"Nggak usah pura pura bodoh. Ares suka sama kamu. Tapi kamu cuma manfaatin dia. Tega ya kamu". Kayla sampai menunjuk ke arahku.
"Dasar gatau diri". Lanjutnya dengan penuh penekanan. Kemudian Kayla pergi meninggalkanku sendirian. Disambut dengan tatapan menyelidik dari orang orang yang sedari tadi memperhatikan kami.
Aku seperti mati rasa. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Tapi yang bisa aku telaah adalah Kayla menyukai Ares dan dia telah salah paham denganku karena aku dekat sekali dengan Ares. Lantas bagaimana dia bisa tau sampai sedetail itu, aku juga tidak paham.
Aku pikir semua harus segera diluruskan agar tidak semakin jauh kesalahpahaman ini. Maka aku langsung mencari Ares di tempat dia biasa nongkrong.
"Ares!". Kali ini aku yang memanggilnya. Tepat sekali, dia sudah ada di kantin bersama dengan beberapa temannya. Dia memang hobi minum kopi pagi pagi.
"Eh udah ke kampus. Tumben manggil?". Ares menjawabku dengan sangat antusias
"Aku mau ngomong penting".
"Apa?".
"Kayaknya Kayla salah paham deh sama kita. Kamu bilang apa ke dia?". Aku langsung to the point.
"Bilang apa?".
"Kok balik nanya sih? Kamu cerita ke dia kalau kamu yang nganter aku pulang ke rumah waktu itu? Cerita kalau kamu ngajakin beli es krim berdua? Ngajakin ke pantai berdua?".
"Hah apa sih? Kayla bilang ke kamu kayak gitu?".
"Aku tanya kamu. Jawab lah. Jangan malah balik tanya ke aku. Aku nggak enak ke dia. Kita kan emang udah jadi temen dari dulu. Aku juga nggak pernah minta kamu buat ngelakuin itu semua ke aku kan?".
"Nanti aku yang jelasin ke Kayla. Udah nggak usah dipikir". Ares menenangkanku.
"Enggak semudah itu Ares. Kita harus ngomong bertiga deh. Aku nggak mau ada salah paham".
"Nanti aku yang jelasin ke Kayla. Kamu istirahat aja deh. Jangan banyak pikiran".
Aku tidak tau kenapa aku selalu terbius pada perkataan Ares. Dengan mudahnya aku langsung menurut. Dan keinginanku untuk bersosialisasi mengudara seketika. Ku putuskan untuk kembali ke kos. Sepertinya aku memang butuh mengosongkan pikiran sebelum melakukan kegiatan lainnya.
***
Kata kata Kayla kembali berputar di otakku. Ada benarnya juga, bahwa aku seharusnya tidak boleh sepenuhnya bersandar pada Ares. Karena Ares hanya seorang teman. Aku harus mulai berdiri dengan kaki ku sendiri. Serapuh apapun itu, aku sendiri yang harus menopangnya. Aku harus bertanggung jawab atas diriku sendiri.
Asik memikirkan tentang apa yang telah terjadi, tiba tiba aku terkaget karena dering telepon yang menggema.
"Iya halo". Jawabku dengan cepat.
"Maksudmu apa sih ngadu ke Ares. Dasar nggak tau diri!". Kayla langsung memakiku tanpa ampun.
"Maksudnya ngadu? Kamu salah paham Kay, kita harus ketemu bertiga deh kalau gini caranya".
"Nggak perlu. Bacot!". Kayla langsung menutup teleponnya setelah membentakku.
Demi apapun aku masih belum paham dengan apa yang terjadi. Kami memang sudah berteman sejak SMA. Aku cukup mengerti jika Kayla menyukai Ares dan iri dengan kedekatan kami. Tapi kenapa harus dengan memaki sebelum dengar penjelasanku.
"Ares dimana?". Aku langsung menelepon Ares. Semuanya harus selesai hari ini. Aku tidak mau masalah ini terjadi berlarut larut.
"Aku di rumah sakit".
"Siapa yang sakit".
"Harusnya aku yang tanya. Kamu ngapain Kayla sampai dia sesak nafas gini. Kan aku udah bilang. Aku yang bakal jelasin ke dia". Gantian Ares yang memarahiku.
Tidak bisa. Ini sudah keluar dari jalur. Bahkan aku belum sempat menjelaskan apapun pada Kayla. Tapi kenapa harus aku yang disalahkan. Jelas jelas Kayla yang membentak dan memakiku.
"Di rumah sakit mana? Aku ke sana". Tanyaku ketus. Masih tidak terima dengan perlakuan mereka.
"Nggak perlu tau. Kamu cuma bakal memperkeruh suasana".
"Oh gitu? Kamu lebih percaya sama dia yg baru kenal? Aku temen kamu dari SMA.".
"Bukan gitu Ve. Kayla masih butuh aku disini. Biarin dia tenang dulu". Kali ini Ares agak melunak.
Aku hanya diam. Tak hilang akal, ku cari record panggilanku dengan Kayla. Karena aku memang terbiasa menyimpan setiap panggilan yang masuk.
"Dengerin". Ku putarkan rekaman pembicaraanku tadi dengam Kayla.
"Udah ya. Simpulin sendiri siapa yang salah. Urusan kamu masih mau temenan sama aku atau enggak. Terserah". Lanjutku dengan nada lebih tinggi. Lantas kumatikan telepon.
Aku tidak mengada ngada. Apa yang aku sampaikan ke Kayla memang fakta. Aku tidak mau disalahkan. Memangnya siapa dia. Enak saja merusak kepercayaan temanku yang sudah aku jaga sejak lama. Yang jelas Ares sudah tau kebenarannya. Urusan dia mau percaya lagi padaku atau tidak aku tidak peduli lagi. Itu hak dia sepenuhnya.
Orang mungkin tak akan percaya. Tapi hidupku sudah seperti sinetron rasanya. Pelik sekali. Masalah datang silih berganti. Susah sekali menjadi dewasa.
***
Tanpa aku duga, Ares menemuiku saat senja sudah kembali ke peraduannya. Dia datang ke kos dengan ekspresi penuh penyesalan.
"Ve.. Maaf ya". Ucapnya lirih.
"Untuk apa?". Aku masih dingin.
"Udah bentak kamu tadi".
"Iya aku tau".
"Maaf juga karena aku kamu jadi dimaki Kayla. Aku nggak nyangka dia bakal setega itu".
"Iya".
"Udah gitu doang?".
"Ya terus harus gimana?". Emosiku terpancing lagi.
"Aku sayang sama kamu Ve".
"Ya kamu pikir aku enggak? Udah sejak SMA kita temenan. Kalau enggak sayang udah aku gampar kamu berani bentak bentak aku".
"Bukan sayang sebagai temen Ve".
"Terus?".
"Aku nyaman sama kamu. Aku sayang sama kamu lebih dari temen. Aku cinta sama kamu".
"Gila kamu. Ngaco ih. Sana pulang". Ku usir Ares karena ucapannya sudah mulai ngelantur.
"Aku serius. Aku mau jadi pacar kamu". Ares menatap lekat ke arahku.
Mata kami sempat beradu. Tapi langsung ku alihkan. Ares sudah ngelantur terlalu jauh. Mungkin dia lelah. Makanya perasaannya bias. Kami sudah berteman sejak lama. Mana mungkin dia bisa dengan mudahnya menghianati pertemanan kami.
"Udah gih pulang dulu. Istirahat. Kamu cuma capek. Makanya ngawur kemana mana". Usirku sekali lagi. Dan langsung ku tinggal masuk ke dalam kos.

Comentário do Livro (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes