logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Kecewa

***
Aku setuju kalau sakit hati itu susah diobati. Kalau ingatan mungkin bisa dilupakan. Tapi kalau hati, akan selalu membekas. Ada banyak triger dari lingkungan sekitar untuk menguak luka itu lagi. Menyisakan derita berkepanjangan. Memuakkan sekali.
"Harusnya kamu bisa cari referensi lain. Dari hipotesis kamu saja masih terlalu lemah. Coba tanya ke Kayla. Dia sudah betul. Tapi kenapa punya kamu hancur sekali". Bu Yanti menjelaskan dengan nada agak tinggi.
"Baik, nanti saya perbaiki bu". Aku hanya bisa menunduk memikirkan kebodohanku sendiri.
"Saya paham kalau kamu mau lulus tepat waktu. Tapi kamu belum mampu. Masih banyak yang harus diperbaiki".
"Iya saya mengerti bu". Hanya ku jawab sekenanya dengan suara lirih.
"Kamu lulus kuliah ada rencana kerja?". Tiba tiba bu Yanti memberikan pertanyaan yang tidak pernah aku pikirkan.
"Iya". Jawabku agak gagap.
"Kamu punya pacar?". Lagi lagi pertanyaan bu Yanti mengejutkanku.
"Belum ada bu".
"Kalau teman dekat ada?".
"Iya". Ku perhatikan gesture bu Yanti. Aku curiga kenapa beliau menanyakan pertanyaan pribadi disaat seperti ini.
"Kalau menurut saya, mending lulus kuliah kamu menikah saja. Udah nggak usah kerja. Nanti malu maluin. Universitas kita sudah cukup dipandang loh. Jangan sampai nanti kamu bawa pengaruh buruk".
Skakmat!. Rasanya menusuk lagi. Langsung terasa sesak di dada. Saluran pernafasanku kian menyempit. Seakan tidak sanggup untuk bernafas.
"Saya bukannya mau mematahkan semangat kamu. Saya bicara apa adanya. Jadi tolong diperbaiki dulu ya". Bu Yanti melanjutkan kalimatnya. Mungkin beliau sadar dengan perubahan ekspresiku.
"Baik. Terima kasih bu. Saya permisi". Suaraku agak bergetar.
Keluar dari ruangan bu Yanti aku langsung berlari ke halte. Aku mau pulang saja. Persetan dengan kuliah siang. Aku tidak peduli lagi. Seluruh ototku lemas. Dan mataku mulai memanas.
Aku tau aku tidak sempurna. Tapi apakah pantas bagi seorang tenaga pendidik berkata demikian. Apakah tidak ada kalimat lain yang bisa diucapkan? Apa sebodoh itu otakku? Apa se tidak berharga itu aku?. Tuhan, rasanya aku mau mati saja. Tapi bagaimana dengan impian kedua orang tuaku? Bagaimanapun juga aku masih ingin tetap berbakti. Tapi kenapa jalannya susah sekali.
Sampai di kos, ku tutup pintu rapat rapat. Sengaja jendela tidak ku buka. Lampu pun tidak ku hidupkan. Aku langsung menangis sejadi jadinya. Semua emosiku tercekat di tenggorokan. Tidak ada yang bisa aku keluarkan kecuali isakan isakan naas itu.
Menyedihkan sekali kehidupanku. Entah sudah ke berapa kali duniaku hancur. Parahnya orang yang aku pilih sebagai pembimbing yang malah mematahkan semua harapan dan usaha yang aku lakukan. Aku merasa seperti sampah.
***
Genap seminggu aku bolos kuliah. Hanya berdiam di kamar. Rasanya jiwaku hilang entah kemana. Tidak ada gairah hidup sama sekali. Mungkin bagi orang lain terlihat sepele. Tapi bagiku, ini seperti terkena ledakan bom dahsyat.
Bahkan aku ingat setiap perkataan sampai nada bicara bu Yanti. Dengan ekspresi merendahkan dan menatap nanar diriku. Ah sial. Kenapa harus aku.
"Mbak.. Ada yang nyari". Suara ibu kos mengetuk pintu kamarku.
"Iya bu". Balasku se alami mungkin. Berlagak seperti tidak terjadi apapun.
"Itu temennya di depan".
"Oh iya makasih bu". Ku paparkan seulas senyum kemudian pergi.
Tingkahku mengisyaratkan seolah tidak terjadi apapun. Tapi siapa yang percaya? Dengan mata super sembab dan merah, ditambah suara yang berat. Orang akan langsung tau kalau aku habis nangis. Kan?.
"Kamu sakit? Kok enggak ngabarin sih?". Ares terlihat sangat khawatir ketika aku menemuinya.
"Enggak".
"Abis nangis?". Ares penasaran.
"Lagi pilek". Jawabku sekenanya.
"Bohong".
"Enggak".
"Yuk! Naik". Ares menarik tanganku supaya lebih dekat. Kemudian menepuk jok motornya supaya aku menuruti kata katanya.
"Enggak ah. Males".
"Udah. Yuk. Naik". Ares memasangkan helm kemudian menurunkan kacanya sampai menutupi wajahku. Sementara aku hanya diam. Mencoba menuruti perintahnya karena sudah tidak ada pilihan lain.
Ares mengambil rute jalanan sepi. Aku juga tidak tau dia ingin mengajakku kemana. Sejauh edaran pandanganku hanya terlihat pohon pohon besar di bahu jalan.
"Nggak apa apa. Ada aku". Lagi lagi Ares mengusap tanganku yang berpegang di jaketnya dengan sebelah tangan. Aku hanya mengangguk. Tidak peduli Ares akan tau atau tidak bahwa aku meresponnya dengan anggukan kecil.
"Kamu bisa nangis sepuasnya. Aku nggak akan liat. Kan harus bawa motor. Jalanan juga sepi. Nggak akan ada yang liat. Ketutup kaca helm". Kali ini suara Ares terdengar jelas. Menyejukkan sekali. Tapi malah merangsangku untuk menangis lebih kuat.
Aku menangis sejadi jadinya. Terkadang aku meraung, menjerit, sampai isakan isakan itu tidak berirama. Aku ingin melepaskan rasa sesak itu. Memuakkan sekali.
Ares hanya diam. Menepati setiap perkataannya padaku. Dia tidak melihatku sama sekali. Bahkan dengan sengaja dia memperlambat kecepatan motornya dan hanya berputar di rute jalan yang sama.
Agak lega rasanya. Bisa meneriakkan semua kemarahan dan kekecewaan itu. Tidak perlu lagi aku menangis dalam diam supaya orang lain tidak tau. Meskipun akhirnya Ares jadi satu satunya orang yang tau kerapuhanku. Tapi percaya deh, menangis dalam diam itu ratusan kali lebih menyakitkan rasanya.
"Udah enakan?". Tanya Ares ketika aku sudah mulai tenang.
"Mmm".
"Kita pindah tempat ya?".
"Kemana?".
"Udah ikut aja". Tanpa mempedulikan pertanyaanku, Ares menaikkan kecepatan motornya. Kali ini dengan rute agak berkelok. Sesekali di jalanan terjal. Tapi tetap ada banyak pohon di bahu jalan.
Angin sepoi berhembus. Ku buka kaca helm yang menutupi wajahku. Segar sekali. Aku seperti mendapatkan energi baru.
"Udah sampai". Ucap Ares memperliatkan sebuah pantai di hadapanku.
"Sekarang, buang semua yang kamu rasain selama ini. Teriak aja sesuka kamu. Tapi harus janji. Nanti kalau udah pulang, udah harus jadi Ve yang baru. Nggak boleh sedih sedih lagi". Lanjut Ares. Tatapannya teduh sekali.
Aku tidak tau harus merespon seperti apa. Ku peluk Ares dan kembali terisak. Kenapa harus selemah ini di hadapan Ares. Ah aku bisa gila.
"Nggak apa apa. Masih ada aku". Ares mengelus rambutku. Ah kenapa nyaman sekali. Aku selalu menangis di dadanya yang bidang. Tidak tau sudah berapa kali aku menangis di pelukannya.
***
Aku tidak tau sejak kapan, tapi sepertinya ada perasaan yang diam diam menyusup dalam diriku. Dari tatapan teduh Ares, rasa nyaman yang selalu dia berikan. Seakan ada dewa Cupid yang selalu berbisik di telingaku.
Mungkin benar kata orang. Tidak ada pertemanan tulus antara laki laki dan perempuan. Pasti ada yang diam diam menaruh rasa suka. Apakah.. Ah tidak. Tidak boleh. Aku dan Ares sudah berteman sejak lama. Perasaanku hanya bias karena sudah terlalu lama sensitif. Nanti pasti akan normal kembali. Aku yakin.

Comentário do Livro (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes