logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Tentang Rasa

***
Selang seminggu sejak kepergian ibu, aku kembali menjalani kehidupanku. Mengais puing puing pertahanan yang masih tersisa untuk menuntaskan kewajibanku. Impian ayah agar kedua anaknya jadi sarjana harus terlaksana. Setidaknya sebagai tanda baktiku untuk mereka yang sudah bahagia di surga.
"Veiry Ve!". Ares kembali meneriakkan namaku. Membuat aktifitas orang orang terhenti untuk sesaat. Mungkin mereka berpikir ada dua orang aneh sedang bercengkerama saat ini.
Jangan tanya padaku kenapa Ares hobi sekali meneriakkan namaku ketika kami bertemu. Aku pun tidak tau. Yang jelas dia selalu melakukannya dengan wajah berseri dihiasi senyum lebar di wajahnya sebelum menghampiriku.
"Sejak kapan masuk? Kok enggak nyamperin sih?". Tanya Ares masih terengah karena berlari ke arahku.
"Baru aja. Udah kelamaan absen kayaknya. Takut ntar nilaiku turun. Sekalian mau nanya project ke bu Yanti. Kayaknya aku harus mulai nyicil skripsi sekarang gak sih?". Panjang lebar ku jelaskan pada Ares.
Sementara Ares hanya menyambar minuman di tanganku dan langsung meneguknya. Wajar sih, soalnya dia lari lumayan jauh. Terlihat dari keringat sebiji jagung yang memenuhi dahinya.
"Haus banget?". Tanyaku saat sebotol penuh air mineral diteguknya sampai habis.
"Hehe iya". Jawab Ares di tengah tawanya.
"Lagian ngapain sih lari larian kayak anak kecil gitu".
"Kangen".
"Dih".
"Nanti ku jemput di kos ya. Ku traktir es krim". Ares kabur duluan sebelum obrolan kami selesai.
Aneh sih emang. Tapi entah kenapa, aku nyaman di dekatnya. Meskipun banyak bertingkah konyol. Tapi Ares memberi warna sendiri di kehidupanku. Mungkin itu yang membuatku dan Ares bisa berteman selama ini.
***
Pagi ini kampus tidak seramai biasanya. Agak lengang. Karena sejauh mata memandang hanya ada beberapa mahasiswa saja yang berlalu lalang.
Di ruangan bu Yanti juga terlihat sepi. Pintu masih tertutup rapat. Dan ketika ku intip dari jendela, ruangan masih kosong. Mungkin aku datang terlalu pagi. Maka ku putuskan untuk menunggu dan duduk di depan ruangan beliau.
Mau tidak mau, aku harus bertemu dengan bu Yanti. Aku harus mulai skripsiku secepat mungkin. Sebenarnya bisa dengan dosen lain, tapi sepertinya bu Yanti lebih pas untukku. Paling tidak itu yang sudah ku perkirakan.
"Ve.. Udah lama di sini?". Kayla mengagetkanku.
"Eh kay. Belum kok. Barusan aja".
"Ngapain di sini Ve?". Tanya Kayla.
"Mau ketemu bu Yanti. Tapi masih kosong ruangnnya".
"Sama dong".
"Oh iya? Ngapain?". Tanyaku penasaran.
"Mau bimbingan".
"Loh udah mulai skripsian kamu?".
"Udah sebulanan lalu. Aku ikut project bu Yanti".
"Oh". Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Aku nggak bilang kamu, soalnya kupikir kamu gak tertarik". Jelasnya padaku.
Aku hanya diam sembari tersenyum kecut. Segampang itu dia berucap. Padahal ku pikir satu semester ini kami sudah cukup sangat dekat. Kayla pun tau aku terobsesi untuk bisa lulus tepat waktu atau lebih cepat dari yang seharusnya. Tapi diam diam dia sudah meminta project ke bu Yanti dan menyembunyikannya dari ku.
Ya memang itu hak nya. Aku pun tidak bisa menyalahkan. Tapi rasanya seperti dihianati teman sendiri. Apa salahnya kalau dia menawariku. Atau paling tidak bisa ceritakan padaku. Ah mungkin aku yang terlalu sensitif. Ditambah lagi emosiku belum sepenuhnya stabil sejak kepergian ibu. Baiklah tarik nafas. Buang semua pikiran pikiran jelek itu.
***
Tidak berselang lama, bu Yanti datang. Kemudian memaparkan senyum setelah kami menyapanya. Dan seketika jantungku berdegub kencang. Seakan berorasi karena bahan yang ku miliki belum cukup kuat untuk ku diskusikan dengan bu Yanti.
"Kamu mau masuk duluan?". Tanya Kayla padaku.
"Kamu duluan aja deh. Kan kamu udah janjian pasti".
"Iya sih. Yaudah aku masuk dulu ya". Ucap Kayla sembari berjalan masuk ke ruangan bu Yanti.
Sembari menunggu, ku atur lagi nafasku yang saling memburu. Ku baca lagi materi yang akan mendukung hipotesisku nanti. Setidaknya jika ditanya aku bisa menjawab dengan bekal yang sudah aku persiapkan. Aku tidak mau terlihat konyol. Apalagi di pertemuan pertamaku dengan bu Yanti di luar kelas.
Kayla keluar dengan senyum mengembang setelah beberapa saat. Terlihat sekali bahwa bu Yanti puas dengan kinerjanya. Mungkin dia dapat pujian. Atau ah entahlah aku harus fokus pada diriku sendiri.
"Permisi". Ucapku lirih sambil mengetuk pintu.
"Iya masuk". Bu Yanti menyambutku dengan ramah.
"Maaf, begini bu. Saya Ve dari psikologi tingkah laku. Rencananya, saya mau minta dibimbing bu Yanti untuk skripsi saya. Atau kalau misalnya ibu masih ada project, saya mau bergabung". Agak takut langsung ku jelaskan tujuanku bertemu dengan beliau.
"Ya nggak apa apa kalau sama saya. Kalau untuk project, sebenarnya masih ada. Kalau kamu mau bisa tanya Kayla saja. Dia sudah jalan setengah, masih ada variabel lain yang bisa dianalisa lebih dalam. Bisa kamu ambil".
"Oh begitu. Baik nanti akan saya diskusikan dengan Kayla. Mungkin setelah itu saya akan menemui ibu lagi".
"Begini ya Ve. Boleh saja kalau mau bertemu dengan saya. Tapi sebelum itu tolong hubungi saya dulu. Karena kan saya juga sibuk. Jadi harus buat janji dulu". Sindir bu Yanti kepadaku.
"Baik. Maaf bu sebelumnya. Lain kali saya akan buat janji dulu. Saya permisi. Terima kasih". Aku pamit dengan suara super lirih.
Rasanya seperti ditampar dengan kekuatan penuh. Malu sekali. Seperti tidak pernah diajarkan tata krama. Salahku juga sih, karena terburu buru mengambil keputusan sebelum tau bagaimana medan perangnya.
Memang benar pepatah dimana bumi berpijak, disitulah langit dijunjung. Indonesia memang kental dengan budaya ketimuran. Salah satunya adab dan sopan satun. Tata krama yang semestinya dijunjung tinggi, malah ku abaikan. Ya enggak salah juga kalau akhirnya kena teguran. Memang harus belajar lebih banyak lagi sepertinya.
Pertemuan pertamaku dengam bu Yanti di luar kelas yang ku gadang gadang akan lancar malah berjalan sebaliknya. Aku terlihat konyol dan bodoh. Ah sial.
"Eh kay. Masih di sini?". Aku terkaget karena Kayla masih ada di depan ruangan bu Yanti.
"Iya. Bingung mau ngapain sambil nunggu kelas". Sambil merapikan beberapa kertas Kayla menjelaskan padaku.
"Kay, aku mau tanya tentang..".
"Project bu Yanti?". Potong Kayla seakan mengerti maksudku. Sementara aku hanya mengangguk untuk mengiyakan.
"Masih ada kok. Tapi tinggal variabel individu yang tersisa. Kalau mau ambil aja. Aku ambil yang variabel lingkungan". Tanpa memperhatikanku Kayla menjelaskan sambil terus merapikan berkasnya.
"oh oke. Makasih ya". Balasku seadanya.
"Aku duluan ya. Kayaknya aku mau fotocopy dulu ada yang kelupaan". Kayla langsung melenggang pergi tanpa memperhatikanku.
Entah kenapa tingkah lakunya beda sekali. Apa karena project bu Yanti ini?. Perubahan Kayla sangat drastis. Tidak mungkin kan kalau dia berubah tanpa ada sebab. Kayla kan bukan power rangers. Tapi yasudah lah, hak Kayla untuk merespon ku seperti apa.
***
Sesuai janji Ares, dia menjemputku tepat pukul tujuh. Tentu saja aku belum siap. Ares hanya bilang akan menjemputku tanpa memberikan kepastian dipukul berapa. Dan tidak ada kabar juga. Jadi bukan sepenuhnya salahku kan?
Aku baru sadar, ternyata sepenting itu ya memberikan konfirmasi ke orang sebelum menemuinya. Pantas saja bu Yanti menegurku.
"Kok ga bilang dulu sih?". Agak grusah grusuh ku tanya Ares sembari merapikan rambut.
"Hehe biar kamu nungguin". Ares malah nyengir.
"Enggak gitu dong konsepnya. Aku kan jadi ga siap. Gini aja gapapa kan?". Kuperlihatkan padanya bahwa yang ku kenakan hanya kaos oblong dengan celanan belel serta sendal jepit. Sementara rambut yang sudah ku rapikan akhirnya ku sanggul asal.
"Ya gapapa lah orang kita cuma mau beli krim. Bukan mau lamaran".
"Dih! Ngaco". Ku pukul pelan lengan Ares. Kemudian langsung naik ke motor matic kesayangannya dan memakai helm.
"Yuk! Siap ditraktirrr!". Teriakku antusias.
"Girang banget?".
"Iyaaa".
Ternyata jawabanku memancing gelak tawa Ares. Lalu berlanjut dengan obrolan obrolan konyol lainnya di sepanjang jalan. Rasanya aku jadi manusia paling bahagia malam ini. Ditambah tawa renyah Ares yang terdengar nyaring di tengah keramaian kota. Seakan membius duniaku untuk berhenti berputar. Karena aku terlalu rapuh untuk menghadapi kenyataan. Dan aku terlalu takut untuk menghadapi hari esok.
"Sudah sampai". Ares menyadarkanku.
"Asikk ditraktir". Aku masih menggoda Ares.
"Iya.. Iya.. Ditarktir". Ares melepaskan helmku. Kemudian menggandengku masuk.
Mungkin aku yang terlalu sensitif akhir akhir ini. Tapi aku rasa orang orang mulai menatapku dari atas sampai bawah. Kemudian saling berbisik dan diakhiri dengan tawa.
Ku alihkan pandanganku pada Ares. Pantas saja orang orang menertawaiku. Mungkin karena penampilanku. Dibanding dengan Ares yang berpakaian rapi, meskipun memakai jeans dan kemeja yang digulung sampai siku dipadukan dengan sepatu kets. Tentu akan berbanding terbalik denganku yang berantakan. Apalagi aku tidak menggunakan make up sama sekali.
"Mau pesen apa?". Ares mengagetkanku untuk kesekian kalinya.
"Eh.. Apa? Rasa coklat deh". Aku mulai gelagapan.
Kenapa sih orang selalu melihat dari cover. Padahal kan selalu ada alasan dibalik itu semua. Tapi orang selalu acuh dan merasa dirinya lebih tinggi. Akhirnya jadi congkak dan malah menyakiti manusia lainnya yang dianggap rendah.
Oh iya, aku lupa. Itu yang membedakan antar manusia. Akal pikiran dan nurani.
"Mikir apa sih? Dari tadi bengong terus?". Ares membuyarkan lamunanku lagi.
"Kamu malu nggak jalan sama aku?".
"Enggak lah. Kenapa harus malu?".
"Aku berantakan. Kan enggak good looking juga. Tuh pada ngeliatin kan".
"Udah cuekin aja. Ngapain minder. Cuma penampilan. Bisa dipoles. Belum tentu mereka yang penampilannya lebih oke lebih hebat dari kamu juga. Santai aja".
"Tapi orang orang selalu ngeliatin aku kayak gitu. Apa mending aku berubah aja?".
"Ngapain berubah untuk orang lain? Nggak akan ada habisnya. Ambil sisi positifnya. Kalau memang ada yang diperbaiki, ya lakuin. Tapi nggak perlu sampai ngikutin kata orang. Baru diliatin sekali ini kan?".
"Enggak tau. Waktu itu pernah pas naik bus. Ada mas mas nawarin bangku. Ternyata buat mbak mbak cantik di belakangku. Kan aku malu". Sengaja ku manyunkan bibir pertanda bahwa aku sedang kesal.
"Udah. Lupain aja. Makanya semangat. Buktiin bahwa orang orang salah. Ambil positifnya. Tunjukin ke mereka kalau kamu jauh lebih baik dari yang mereka pikirin. Aku juga kalau enggak dari kampus tadi pakai sendal jepit doang. Udah PD aja".
Semakin ku kerutkan kening. Ku perhatikan Ares lekat lekat. Semua perkataannya padaku selalu tulus. Ada gurat kebahagiaan di wajahnya. Sesekali dia tersenyum tipis. Manis sekali. Terasa begitu nyaman. Ah tidak. Sepertinya perasaanku bias. Aku hanya merindukan rasa nyaman. Aku dan Ares kan berteman.
"Udah. Makan es krimnya keburu cair". Ares mengacak rambutku asal. Kemudian mulai memakan es krimnya dengan suapan besar.

Comentário do Livro (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes