logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

bag 6. Persiapan Akad Nikah Musa

Bag 6. Persiapan Akad Nikah Musa
"Pengumuman apa? Aku belum buka hp dari tadi, masih sibuk dengan jamu nih. Harap maklum aku kan pejuang receh!" jawabku.
"Ealah, malah pidato cepat buka grupnya! Benar tidak itu nama kamu?" teriak Winny.
"He … iya, sebentar aku buka," jawabku.
"Bismillah," gumamku.
Dias Pesona Putri reward 20 gram logam mulia
"Alhamdulillah, alhamdulillah … benar itu namaku,Win!" teriakku. Alhamdulillah tabungan emasku bertambah lagi.
"Bagaimana dengan pencapaianmu, Win? Pastinya lebih besar dariku!" tanyaku semangat.
"Alhamdulillah, aku juga dapat, yang paling atas," jawab Winny sambil senyum-senyum.
"Alhamdulillah ya Win, berkat bantuanmu aku bisa seperti ini. Selamat ya, mobil HRV sebentar lagi mendarat di depan rumahmu," ucapku haru.
***
Dua bulan berlalu
Minggu ini semua orderan jamu instan dan wedang uwuh sudah selesai dikerjakan, dan dikirimkan. Pusat oleh-oleh banyak yang memesan produk jamuku, mungkin karena harganya lebih rendah daripada tempat lainnya. Aku dan Dira mulai memasarkan secara online, kami membuat website tentang jamu dan wedang uwuh. Alhamdulillah banyak orderan masuk, keuntungan yang lumayan mulai bisa kunikmati. Tidak hanya aku, warga desa juga ikut menikmati hasilnya.
"Mah, minggu depan kita sudah sibuk persiapan pernikahan Musa lho, tolong kegiatan Mamah dikurangi sedikit! Pastinya tenaga kita sangat dibutuhkan pada acara tersebut," tanya Mas Anung santai.
"Iya, Mas, ini juga sudah pengemasan pesanan terakhir minggu ini. Mulai besok kita libur produksi, tiga hari," aku berkata sambil mengangsurkan segelas kopi kegemaran Mas Anung.
"Mbak, souvenir pernikahanku sudah disiapkan belum?" tanya Musa yang tiba-tiba masuk tanpa permisi.
"Souvenir apa? Tidak ada omongan tentang souvenir pernikahanmu?" tanyaku heran.
"Dasar kamu, menantu tidak tahu diri, keluarga kebingungan tidak membantu!" Aku mendesah mendengar kemarahan ibu mertua.
"Membantu dalam arti apa, Bu?" Aku mulai berfikir. Memikirkan sesuatu yang tidak ku tahu jawabannya.
"Sekarang siapkan jamu-jamu instan untuk souvenir, Musa!" Aku menatap tajam kedua mata ibu mertuaku, sudah tidak ada sopan santunku untuk beliau. Dan akhirnya aku yang mengalah.
"Baik Ibu, akan aku siapkan, tiga ratus bungkus," jawabku. Kulihat Mas anung beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar.
"Bagaimana persiapan lainnya, apa sudah selesai?" Mas Anung menatap tajam laki-laki berkacamata itu.
"Mahar dan perhiasan sudah beres," jawab Musa sambil mengacungkan jempolnya.
"Sekarang bantu, Mbak Dias untuk menyiapkan souvenir!" Musa tetap melangkahkan kaki keluar secara perlahan.
"Mbak Dias kan punya pegawai, suruhlah pegawainya yang mengerjakan!" Musa menjawab dengan santai.
"Sudah, ayo kita pulang! Souvenir itu urusan Dias, biar dia yang menyelesaikan! Anung, armada untuk berangkat akad nikah disiapkan sekalian, ingat kamu kakak laki-laki, jadi kamu yang harus bertanggung jawab semuanya!" Kami tidak menyahut atau memberikan jawaban. Yang kami lakukan hanya menarik nafas dalam-dalam.
Mungkin bagi ibu mertua dan Musa, mereka bisa menyuruh seenaknya pegawai di produksi jamu kami, tetapi bagiku mereka bukan pegawai, mereka yang membantu proses produksi jamu kami. Tanpa mereka, usaha ini tidak mungkin bisa berkembang.
"Dek, ini uang proyek kemarin, rencana untuk menebus logam mulia. Tapi, sebaiknya kita tunda dulu pembayarannya, uang itu untuk membayar armada pernikahan Musa dulu!" Mas Anung berkata sambil menarik nafas dalam-dalam, kemudian menyerahkan amplop berisi uang proyek.
Aku tidak menjawab, hanya menatap tajam Mas Anung. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya.
Keesokan harinya
Alhamdulillah, jamu instan untuk souvenir Musa sudah selesai dan terbungkus dengan rapi. Aku dibantu satu pegawai untuk menyiapkannya. Beruntung bahan-bahan kering sudah tersedia jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan tiga ratus bungkusnya. Sedangkan Mas Anung sudah menyewa sebuah bus untuk berangkat ke acara akad nikahnya Musa.
Setelah kurasa persiapan untuk besok sudah selesai, segera aku menuju rumah ibu mertua. Disana sudah berkumpul beberapa warga desa untuk membantu menyiapkan mahar berupa makanan tradisional dari desa kami.
"Dias, malah enak-enakan duduk di depan, bantu Mbah Marni membuat makanan di belakang. Tenagamu itu dibutuhkan di belakang, cepat!" Aku hanya menatap tajam ibu mertua, dan segera menuju rumah belakang.
Mas Anung dan anak-anak berkumpul di depan, bermain dengan teman dan saudara sebaya mereka.
"Terima kasih lho, Mbak, kunyit dan jaheku sekarang bisa menghasilkan uang!" Mbah Marni berkata tanpa melepas mengaduk adonan jenang di atas kompor.
"Sama-sama, Mbah, kita saling membantu kok, njenengan dapat penghasilan saya juga dapat." Jawabku singkat.
"Mbak, apa benar njenengan tidak membantu sama sekali biaya pernikahan Musa?" salah satu warga bertanya.
Aku mengerutkan kening dan memandang ibu tersebut, "sinten ingkang sanjang, Bu?" tanyaku penasaran.
"Ibu mertua dan kakak ipar njenengan, Mbak?" jawab ibu itu ragu-ragu.
"Oh …," hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku diam dan mengamati perempuan yang ada di depanku.
"Mbak, pupuk dari batang-batang tanaman empon-empon sudah jadi lho, kemarin sudah mulai dipindah ke kantong-kantong plastik, sesuai yang diperintahkan Mbak Dias," ibu itu berkata tanpa mengalihkan pandangan dari tangannya.
"Alhamdulillah, berarti sudah bisa memproses sendiri-sendiri ya, Bu," aku menjawab tanpa semangat.
"Dias, makanan yang sudah jadi tolong dibawa masuk, sekalian kamu bungkus!" Ibu berteriak dari dalam rumah.
"Iya, Bu, sebentar!" Aku menjawab sambil berjalan membawa masuk makanan yang dibutuhkan.
"Apa yang kamu kerjakan dari tadi, kenapa makanan yang kau bawa hanya sedikit?" Ibu mertua berkata dengan menahan amarah.
"Ibu, sebenarnya yang dibutuhkan itu apa saja? Mengapa semua harus serba banyak? Sedangkan besok kita hanya mengantarkan Musa untuk akad nikah, bukan mengadakan resepsi disini!" Aku berkata tanpa memperdulikan sopan santun lagi.
"Tugasmu itu hanya membantuku, bukan mengaturku!" ibu berbicara dengan menunjukkan jari padaku.
"Mbak Nina, sekarang ada dimana? Dia yang seharusnya membantu ibu menyiapkan segalanya," ucapku sinis.
"Jangan sok ngatur kamu, Dias, ingat statusmu disini sebagai apa? Kamu itu cuma debu di keluarga besar kami, sebanyak apapun kamu membantu, debu tetaplah debu." Ibu berbicara dengan penuh amarah.
"Oke, oke, mohon maaf ibu, seandainya saya tidak mengingat kalau Mas Anung saat ini sebagai pengganti bapak, sebagai tuan rumah di acara ini. Saya tidak mau berada di sini." Aku sudah benar-benar tidak bisa menahan sesak didada. Sudah tidak kupedulikan lagi, norma yang ada. Ibu-ibu yang mendengar pertengkaran kami, hanya melihat dan tidak bisa melakukan apapun.
"Ibu, Dias, ada apa ini? Malu didengar tetangga!" Mas Anung bertanya dengan lembut.
Ibu hanya diam, tetapi matanya menyimpan dendam padaku.
"Mas, souvenir untuk besok diambil sekarang saja ya," aku mengajak Mas Anung meninggalkan rumah ibu sebentar. Meninggalkan ibu mertua yang masih menatap penuh kebencian kepadaku.
"Ayo, Mah," jawab Mas Anung sambil menggandeng tanganku.
Tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depan rumah ibu mertua.
"Assalamualaikum, Mbak, apa benar disini rumah Ibu Zaenab?"
Alhamdulillah, akhirnya bisa up bab ini, saya ucapkan terima kasih kepada pembaca setia, semoga selalu diberikan kesehatan dan rejeki melimpah. Aamiin
Jangan lupa follow, akun author, supaya tidak ketinggalan update bab terbaru, like dan komennya juga sangat ditunggu, karena itu jadi penyemangat untuk terus berkarya. Selamat membaca

Comentário do Livro (10)

  • avatar
    VitorPaulo

    tá B tá tá tá tá tá tá

    22h

      0
  • avatar
    rmdhni_16aulia

    bagussss

    07/03/2023

      0
  • avatar
    a******8@gmail.com

    semangat kak ♥️ Bila berkenan, silahkan mampir ke Phoenix King Resurrection 🤗🙏🏼 kisah Kaisar Dunia yang bangkit setelah dibuli dan akan balas dendam pada Klan yang telah membuangnya ✨

    02/07/2022

      1
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes