logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Kafe belion

Rara menopang dagunya di atas meja belajarnya. Entah apa yang merasuki dirinya, beberapa hari ini dia memikirkan Fahri. Cowok itu selalu membuat jantungnya berdegup dengan kencang. Semenjak pertemuan itu, dia selalu terbayang wajah cowok itu. Kadang Rara sadar apakah dia bisa mengenal Fahri lebih jauh lagi?
"Fahri itu cowok idaman gue banget! " serunya sembari tersenyum.
**
Azar mencengkram celana jinsnya.  Sungguh,  dia sangat kesal terhadap Vino, yang sepertinya masih berharap pada Isna.  Terlihat beberapa waktu lalu saat Vino dan Rara melihat mereka bermesraan, sangat jelas cowok itu tidak suka melihatnya.
"Gue harus kasih pelajaran ke dia! " serunya lirih. 
Azar bangkit dari kursi panjang yang berada di taman kampus.  Kebetulan Isna belum datang, jadi hal ini akan dia gunakan untuk memberi pelajaran pada Vino.  Azar takut kalau Isna tahu,  dia juga tidak akan terima.  Bagaimana pun Isna adalah mantan pacar cowok itu.  Ya,  walaupun sekarang mereka sudah resmi pacaran. Azar tahu betul sikap Isna,  dia gadis yang lembut dan tidak bisa melihat kekerasan. 
Dengan langkah cepat,  Azar mencari Vino ke seluruh seantero kampus.  Tapi,  tanda-tanda cowok itu belum ada.  Tak menyerah,  Azar terus mencarinya.  Akhirnya,  dia menemukan Vino sedang berjalan menuju ke ruangan ruang Prodi. 
Tidak mau melewatkan kesempatan,  dari belakang Azar langsung mencengkram kerah belakang baju Vino dan menariknya secara kasar,  membuat cowok itu kaget dan memutar badan.
"Lo apaan,  sih?" Vino berusaha melepaskan cengkraman itu.  Apa daya dia kalah kekuatan,  karena badan Azar lebih kuat dan besar darinya.
Azar melepaskan cengkraman dan maju satu langkah.  Menatap lawan bicaranya itu sangat tajam dan menusuk.  "Gue udah peringatin lo,  lupain Isna! " serunya lalu menepuk bahu Vino bergantian.
"Gue juga baru berusaha lupain dia,  kok," jawab Vino tak mau kalah.  Padahal hatinya berkata lain,  dia benar-benar belum bisa melupakan mantan pacarnya itu,  yang kini berpacaran dengan Azar.
"Omong doang lo! " Azar mengepalkan tangan,  mendaratkan sebuah hantaman keras pada wajah Vino. Sayang,  hantaman itu meleset saat Rara mendorong tubuh Vino sampai terjatuh, sedangkan Rara yang terkena pukulan dari Azar. Pukulan yang tepat mengenai hidung Rara,  membuat hidungnya mengeluarkan darah.  Azar yang sadar kalau pukulan itu kena sasaran langsung kabur begitu saja.  Tak ada kata maaf apa pun untuk Rara. 
Vino yang masih terjatuh di tanah melihat Rara memegangi hidungnya yang berdarah pun segera berdiri dan menghampiri gadis itu.
  "Ra,  lo nggak apa? " Ada rasa bersalah pada dirinya.  Semua ini salahnya,  hidung Rara berdarah hanya karena ingin menolongnya.
Rara hanya menggeleng.
"Beneran?"
Rara kembali menggeleng.
Vino segera mencari daun sirih yang pernah dia lihat di sebrang kampus. Cowok itu menyebrangi jalan,  dan mengambil daun sirih. Lalu kembali ke tempat kejadian perkara.
"Ra,  lo pakai daun sirih ini,  deh. " Vino menggulung daun sirih itu dan memberikannya pada Rara.  "Lo masukin ke hidung lo,  biar darahnya berhenti."
Rara segera memasukkan daun sirih yang sudah digulung pada hidungnya lalu menekan daunnya supaya lebih masuk lagi ke dalam hidungnya.
Benar apa yang dikatakan Vino,  darah dari hidungnya sudah berhenti setelah beberapa menit.  Gadis itu berterima kasih pada Vino. 
"Azar harus minta maaf ke lo,  deh,  Ra! " seru Vino kesal. Dia merasa Azar seorang pengecut yang lari begitu saja dari masalah.  Bagaimana pun harusnya dia tetap minta maaf pada Rara, apalagi Azar salah sasaran malah memukul hidung Rara sampai berdarah.
  "Nggak apa,  Vin.  Santai aja, " jawab Rara sambil tersenyum.
"Ya nggak bisa gitu,  Ra! "
"Gue nggak apa-apa,  Vin.  Lo ada urusan apa lagi sih sama Azar? " tanya Rara ingin tahu.  Rara bertanya seperti itu hanya basa-basi saja.  Ya,  sebenarnya dia sudah tahu kenapa Azar akan memukul Vino. Apalagi kalau bukan masalah Vino yang kelihatannya masih mencintai Isna.
"Gara-gara Isna. Lo tahu sendiri lah. "
Rara mengangguk.  "Astaga!  Kalian berantem cuma gara-gara satu cewek? " Rara menggeleng tidak percaya.
"Azar, tuh,  possesif banget! Dia kira ngelupain seseorang itu kayak kilatan petir? "
Rara tertawa terbahak. "Lucu juga perupamaannya kilatan petir."
Vino menengok ke arah Rara.  "Bener kan,  gue bilang.  Petir itu kan datang secepat kilat,  habis itu hilang gitu aja.  Sama halnya kayak kita mau lupakan seseorang, istilahnya nggak bisa secepat kilat seperti petir. "
Rara mengangguk membenarkan apa yang dilontarkan Vino.  Gadis itu tersenyum sekilas.  Semakin dia mengenal Vino,  ternyata tak seburuk apa yang dipikirkan sejak pertama pertemuannya yang menyebalkan. 
"Vin,  gue boleh pegang tangan lo?" Rara menaikkan sebelah alis.
"Buat apa? " Vino berbalik bertanya.
"Udah sini."
Rara mengenggam paksa tangan Vino, lalu membuka lengan panjang baju cowok itu perlahan.  Gadis itu kaget bukan main saat melihat goresan pada lengan cowok itu bertambah banyak.  Baru saja tadi malam mereka bertemu,  luka tangan Vino tidak sebanyak sekarang.
"Lo sebenernya kenapa,  sih? " Rara mulai penasaran.  
"Apanya? " Vino terlihat kebingungan.
"Luka tangan lo! "
"Cakar kucing."
Rara semakin curiga dengan gelagat Vino yang berubah gugup saat dia menanyakan hal tersebut.
"Bohong? "
"Beneran. "
Rara akhirnya mengiyakan.  Dia semakin aneh dengan sikap Vino yang  ditutup-tutupi.  Pasti ada rahasia di balik luka di tangannya itu.
"Jadi bimbingan? " tanya Vino kemudian.
Rara mengangguk.  Lalu,  keduanya. menuju ruangan Kaprodi.
***
Drt
Drt
Ponsel Rara bergetar. Dengan malas dia mengangkat panggilan WhatsApp.
"Hmm? "
"Ra, gue gabut di rumah. Keluar bentar, yuk? " ajak Vino.
Rara berpikir sejenak. "Ya, deh. Mau ke mana?"
"Kafe depan kampus aja, deh. Gue tunggu di sana, ya? "
"Ya. Buruan. Gue baru mau siap-siap. "
Rara segera mematikan telepon. Gadis itu bangkit dan menuju kaca besar yang ada di kostnya. Dia menyisir rambut pendeknya itu dengan rapi. Setelahnya, dia keluar dari kamar kos.
Rara menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Sesampainya di lantai dasar, dia bertemu dengan Isna sedang bercengkrama dengan teman kostnya yang lain. Ternyata Isna melihat Rara yang akan keluar dari gerbang kost pun segera menyusul gadis itu.
"Ra, lo mau ke mana? " tanya Isna menyamakan langkah.
"Gue mau ke kafe depan kampus sama--" Rara tidak melanjutkan perkataannya. Gadis itu takut menyinggung perasaan Isna. Ya, walaupun Isna tidak pernah mencintai Vino, tapi bagaimana pun Isna tetap mantan cowok itu. Rara takut Isna berpikiran kalau Rara disebut "Teman makan teman"
"Siapa? "
Rara terdiam.
"Rara? " Isna melayangkan tangan kanannya tepat di wajah gadis itu. Sontak Rara gelagapan, dia bingung akan menjawab apa.
"Sama Vino, " jawabnya keceplosan.
Begok banget, sih! serunya kesal.
Rara malah tak sengaja keceplosan.
Isna malah tertawa riang. "Gue seneng kalian bisa akur. Apalagi kalau sampai jadian."
Rara memasang wajah tidak suka. Jadian dengan Vino? Mana mungkin! Dalam hatinya sudah ada Fahri yang entah bagaimana perasannya terhadapnya.
"Ya kali gue jadian sama mantan lo! Ogah banget! " timpal Rara berlalu pergi begitu saja.
Isna masih terpaku di sana sambil terus tertawa.
Rara akhirnya sudah sampai di kafe Belion depan kampus. Gadis itu juga bingung kenapa Vino mengajaknya ke kafe dekat kampus? Apa rumah Vino dekat sini juga? Entahlah.
Akhirnya, Rara masuk kafe, terlihat Vino melambaikan sebelah tangannya. Tak mau membuang waktu, Rara segera menemui Vino.
"Ngapain lo malam-malam ngajak gue ke sini? " Rara duduk di sebelah Vino, sambil berkacak pinggang.
Vino langsung membuka tas dan mengambil laptopnya kemudian menyalakannya.
"Bantuin gue revisi naskah skripsi gue, Ra!" Vino terkekeh.
"Jadi lo nyuruh gue ke sini buat lo babuin bantuin revisi skripsi lo? " Raut wajah Rara mendadak kesal. Dia mengira Vino mengajaknya ke sini untuk mentraktirnya atau sekadar omong kosong belaka. Dugaannya salah besar.
Kembali, Vino memohon pada Rara. Cowok itu memegang tangan Rara dengan kedua tangannya. "Plis! " serunya.
"Nggak usah pegang tangan gue, bukan mukhrim! Hush... hush. Singikirin tangan lo ini, " Rara mencubit tangan Vino yang berada di atasnya. Cowok itu mengaduh kesakitan.
Tak menyerah, Vino merangkul bahu Rara. "Ayolah, Ra. Bantuin gue. Oke? " Vino menaikkan sebelah alisnya bergantian, membuat gadis itu luluh, tepatnya kasihan.
"Hmmm. Yang mana? " Rara mendekat ke arah laptop Vino.
"Yang ini, Ra."
Rara mengangguk." "Itu kamu salah penulisannya, yang benar gini, " Rara mengetikkan sebuah kalimat, membetulkan revisian skripsi Vino.
Vino menepuk jidatnya. "Pantesan aja dicoret satu deret sama dosennya. "
Rara setengah melirik ke arah Vino. Sudah lima belas menit mereka berdua ke sini, tapi cowok itu belum juga memesan makanan atau minuman.
"Lo nggak pesen minum? " sindir Rara.
Kembali Vino menepuk jidatnya. Cowok itu berdiri untuk memesan minuman dan beberapa saat kembali dengan dua minuman di baki.
"Ini minumannya Mbak Galak, "ucap Vino membuat Rara semakin kesal dengan julukan "Mbak Galak" . Apa iya dia segalak itu?
"Lo yang traktir, kan? " Rara memastikan.
"Iya, Ra. Tapi... bantuin gue revisi ini, ya? Pokoknya kita bimbingannya tetep bareng kok."
Karena kebaikan Vino yang sudah mentraktirnya. "Oke."
Rara akhirnya membantu merevisi naskah skripsi Vino yang lumayan banyak.
Dua jam kemudian, semua revisian selesai. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Orang-orang yang berada di kafe satu persatu sudah keluar dari kafe.
"Pulang, yuk? " ajak Rara.
Vino mengangguk. Cowok itu memasukan laptopnya ke dalam tasnya.
"Udah lo bayar, kan? " Rara bertanya kembali memastikan.
"Udah pas gue mesen tadi."
Rara berjalan keluar kafe disusul Vino. Tepat di depan kafe, Rara masih penasaran dengan luka yang ada di tangan Vino kemarin. Dengan nekat, dia membuka lengan baju cowok itu.
"Sakit tahu! " rengeknya.
"Luka baru lagi? "
"Kucing gue nyakar gue lagi, Ra. "
Rara hanya terdiam, dia merasa ada yang aneh dengan cowok di hadapannya ini.
"Terserah lo deh," jawab Rara. "Gue balik dulu, ya? " Rara melambaikan sebelah tangan pada Vino. Lalu berjalan menuju kostnya yang hanya lima menit dari kafe. Dalam perjalanan, Rara merasa ada yang ganjil pada luka yang ada di tangan cowok itu. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***

Comentário do Livro (87)

  • avatar
    Erna Wati

    mantap

    7d

      0
  • avatar
    asmidahnurshamidah

    sangat terhibur

    8d

      0
  • avatar
    Kurnia Adhi

    mantap

    29d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes