logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 37

Aku mengikuti Beno berjalan menuju taman samping ballroom. Di sana ada  playground, sejenak mataku mencari keberadaan kedua anakku. Bu Rini dan Bu Ida, pengasuh Arunika dan Langit, tadi sempat pamit katanya akan membawa keduanya bermain di playground. Nah, itu mereka. Aruni asik bermain perosotan dan Langit tertawa lepas saat ayunannya bergerak sedikit cepat. Kedua duplikat Mas Evan itu terlihat begitu bahagia.
Beno menghentikan langkahnya, lalu duduk pada kursi beton yang ada di sisi kanan taman, dekat kolam ikan.
"Duduk, Yun. Lebih enak kalau kita ngobrol sambil duduk." Beno menepuk kursi beton di sampingnya. Aku memilih duduk sedikit jauh darinya, tidak persis di sebelah Beno duduk. Beno tersenyum tipis melihat aku menolak duduk di sampingnya.
"Mau ngobrol apa, Ben?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Kamu apa kabar, Yun?" tanya Beno. Aku melirik sekilas ke arahnya, Beno tersenyum manis dengan mata yang menyipit. Senyum yang dulu sempat aku kagumi. Aku berdeham, lalu kembali mengalihkan pandangan dan berusaha bersikap normal.
"Baik, elo sendiri apa kabar?" tanyaku balik. Beno terkekeh pelan.
"Rasanya aneh denger kamu manggil aku pakai kata 'elo', Yun. Kenapa harus diubah, sih? Kamu takut Evan cemburu?" ujar Beno sedikit nyinyir.
Aku mendengus kasar, sedikit tersinggung dengan ucapannya. Apa yang salah jika suami cemburu pada istrinya? Aku rasa itu sesuatu yang wajar.
"Nggak usah melebar bahasannya, gue tahu elo pasti punya sesuatu yang mau diobrolin
'kan? Mau bahas apa?" Aku berkata tanpa menyembunyikan kekesalan.
"Ck! Kamu nggak seasik dulu," gumam Beno yang masih bisa aku dengar. Untuk beberapa saat, tak ada satupun dari kami yang berbicara.
"Kamu bahagia, Yun?" tanya Beno lirih. Aku melihat ke arahnya, Beno menatapku dengan tatapan sendu. Lagi-lagi aku membuang muka, aku tak mau larut dalam suasana nostalgia.
"Aku bahagia, Ben. Sangat bahagia. Begitu pun kamu, kamu juga harus bahagia," ucapku sambil sekilas melihat ke arahnya.
"Boleh aku tanya, kenapa kamu sering menghindar dari tatapanku, Yun? Apa rasa itu masih ada buat aku?" Pertanyaan Beno sontak membuatku kaget dan menatap ke arahnya.
"Maksud elo?!"
"Ck! Kenapa ganti pake elo lagi, sih ... udah bener tadi pake aku-kamu," sungut Beno.
"Nggak usah ngalihin pembicaraan! Gue nggak paham sama pertanyaan elo tadi! Perasaan apa yang elo maksud, Ben?" Kali ini aku menatap wajahnya. Beno masih menampilkan wajah sendunya. Wajah sendu yang membuat rasa bersalah itu muncul lagi.
Ck, sial! Kamu harus kuat, Yun. Ingat Mas Evan, Arunika dan Langit! Kamu sama Beno sudah selesai, Yun!
"Aku ... aku belum bisa lupain kamu, Yun. Semakin aku coba, aku malah makin inget kamu. Hati ini masih milik kamu seutuhnya, Yun," ucap Beno lirih, matanya berkaca-kaca. Aku mendesah pelan, menundukkan pandangan. Sejenak aku diam, menetralkan degup jantungku yang berdebar kencang setelah mendengar ucapan Beno.
"Ben, gue udah punya suami, gue udah punya anak. Anak gue udah dua, Ben! Elo ba---"
"Aku nggak peduli kamu udah punya anak berapa. Jangankan dua, kamu punya anak sepuluh pun, aku nggak peduli! Aku cuma mau kamu, Yun!" Beno memotong perkataanku dan bicara dengan sedikit keras.
"Gila! Elo gila, Ben!" hardikku.
"Yeah, aku gila gara-gara kamu, Yun," jawab Beno dengan santainya.
"Sama sekali nggak ada peluang buat aku, Yun? Kamu beneran betah sama suami cemburuan dan baperan kayak Evan?" tanya Beno, matanya mengarah pada pintu masuk ballroom. Aku mengikuti arah pandang Beno. Ada Mas Evan yang berdiri bersandar pada pilar, mengawasi kami dari jauh.
"Ck! Emangnya elo nggak cemburuan?  Elo juga sama cemburuannya!" ucapku mengingatkan kelakuannya dulu. Beno terkekeh kecil, kepalanya menggeleng.
"Iya juga, sih," ucapnya masih dengan tawa kecilnya.
"Ben, please, sebenci apapun elo sama Mas Evan, please .... Jangan doain gue jadi janda." Aku menatap tepat ke matanya. Terlihat Beno sedikit salah tingkah.
"Dia suami gue, Ben, ayah dari kedua anak gue. Gue sayang dan cinta sama dia. Cintaaa bangeet ...." Aku masih menatap Beno, dia tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca.
"Cerita kita udah selesai, Ben. Elo harus lanjutin hidup. Cari cewek baik-baik, yang bisa bikin elo bahagia. Nikahin dia, punya anak dari dia, dan berbahagialah," lanjutku.
Beno menunduk, menarik napas panjang lalu menengadah dengan mata terpejam.
"Andai itu semudah ucapan kamu, Yun, mungkin aku sekarang udah punya istri. Itu nggak gampang, Yun," ucap Beno lirih.
"Maafin gue, Ben. Di masa lalu gue udah nyakitin elo sampe kayak gini." Aku berusaha keras agar air mata tak turun membasahi dan merusak makeup-ku. Jauh di dalam hati, aku masih menyimpan rasa sayang yang dibalut kuat oleh rasa bersalah. Aku menyayanginya sebagai seorang sahabat. Bagaimana pun juga, Beno adalah seorang yang pernah berarti buatku.
Beno diam, matanya masih terpejam. Aliran air di sudut matanya makin membuat dadaku sesak. Ya Allah, Engkaulah Sang Pembolak-balikkan Hati, tolong bantu Beno melupakan aku. Aku ingin dia pun mendapatkan kebahagiaan.
"Yuna ... kalau kamu bener-bener bahagia, aku lepas kamu dengan ikhlas. Sekali lagi aku tanya, Yun. Apa kamu bahagia hidup sama Evan? Dia nggak pernah nyakitin kamu 'kan?" Beno menatapku dengan mata yang basah.
"Aku bahagia, Ben. Mas Evan memperlakukan aku seperti ratu. Dia suami dan ayah yang baik," ucapku sembari tersenyum. Beno mengangguk singkat.
Aku tidak bohong, Ben. Dengan semua kekurangannya, Mas Evan memperlakukan aku dengan sangat baik. Dengan semua kelebihannya, Mas Evan mau menerima semua kekuranganku.
"Elo harus bahagia, Ben. Carilah perempuan baik-baik, dan menikahlah," ucapku sembari menjulurkan tangan. Aku ingin kami sepakat untuk menyudahi kisah kami dengan perasaan damai.
Beno menjabat tanganku, bibirnya tersenyum. "Boleh aku peluk kamu, Yun?"
Aku menggeleng, "Nggak, Ben. Please, hargai gue. Gue seorang istri dan ibu sekarang."
Beno mengangguk lagi, lalu menepuk puncak kepalaku.
"Baek-baek ya, adek gua. Kalo laki elo nakal, elo boleh bilang ke gua! Oke?" Beno mengubah gaya bicaranya. Kembali seperti dulu waktu dia masih menganggapku adiknya.
"Iya, Bang Bendot. Makasiiih," jawabku tulus.
"Balik sono, laki elo udah cemberut aja dari tadi!" Beno menunjuk ke arah Mas Evan yang berdiri dengan wajah ditekuk. Aku tersenyum ke arahnya, dan melambaikan tangan. Mas Evan tersenyum lebar, lalu berjalan cepat menuju ke arahku.
"Udah, kan, Ben. Gue nggak punya utang lagi!" ucap Mas Evan sesaat setelah sampai di tempat aku dan Beno berada. Mas Evan langsung menarikku ke dalam pelukannya.
"Iya, thanks, Van. Gua udah plong sekarang." Beno menepuk bahu Mas Evan.
"Ck! Lain kali nggak ada kesempatan buat elo ngobrol sama istri gue. Awas aja, ketahuan deketin Yuna lagi, gue abisin!" ancam Mas Evan. Beno terbahak.
"Ya ... ya ... ya ... Gua juga kagak mau berurusan sama Dewa! Sinting emang temen elo itu, Van! Sadis!" ujar Beno.
"Kok, bawa-bawa Bang Dewa?" tanyaku tak mengerti. Beno dan Mas Evan saling pandang, keduanya kompak menggelengkan kepala.
"Ih, Mas, kenapa bawa-bawa nama Bang Dewa? Jangan bikin aku penasaran," rajukku. Bang Dewa itu sudah aku anggap kakak lelakiku semenjak dia menemani saat melahirkan Arunika dulu. Aku agak kaget saat Beno bilang Bang Dewa sadis. Karena setahu aku, meski dia tak banyak bicara, Bang Dewa itu baik banget.
"Bang Dewa 'kan posesif banget sama Evan, Yun! Elo harusnya curiga, jangan-jangan mereka punya hubungan asmara di belakang elo," sahut Beno dengan wajah jahil menggoda Mas Evan.
"Sialan, sembarangan aja kalau ngomong! Pergi elo sana!" usir Mas Evan sambil mendorong badan Beno. Beno terbahak, lalu melambaikan tangan dan beranjak pergi.
Mas Evan menatap kesal ke arah Beno yang berjalan menjauh.
"Mas, kenapa Mas biarin Beno ngobrol sama aku tadi? Mas Evan punya janji apa sama Beno?" tanyaku. Aku sangat penasaran, apa alasan Mas Evan memberikan kesempatan pada Beno tadi.
"Ck! Aku kalah taruhan sama dia, Ay," jawab Mas Evan sedikit kesal.
"Aku dijadiin bahan taruhan?!" tanyaku sambil melotot. Melepaskan pelukan Mas Evan.
"Ay, kamu jangan melotot gitu, dong. Bikin Mas makin gemes," ucap Mas Evan sembari tersenyum merayu.
"Jangan ngalihin pembicaraan! Jelasin ke aku, kalian taruhan apa!"
"Taruhan nilai saham, Ay. Aku bilang, saham perusahaan Aptex setelah skandal komisarisnya bakal turun, Bendot bilang bakal stabil. Terus dia bilang, kalau dia bener, dia minta dikasih kesempatan buat ngobrol sama kamu. Gitu, Ay. Bukan taruhan yang macem-macem, kok. Itu cuma iseng-iseng aja," jelas Mas Evan. Aku mengerutkan kening. Sejak kapan hubungan keduanya akrab seperti itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu kalau mereka sedekat itu?
"Sejak kapan kalian deket?" tanyaku. Mas Evan berdecak kesal.
"Nggak penting! Lagian aku nggak deket sama Bendot. Kita cuma sebatas partner bisnis. Perusahaan Om Rudi salah satu klien D'jake. Jadi mau nggak mau kita sering ketemu. Cuma itu."
Aku masih menatap curiga ke arah Mas Evan. Mas Evan mengecup singkat pipiku.
"Kamu masih kesel kenapa? Gara-gara Mas nggak cerita kalau Mas sering ketemu sama mantan kamu? Atau tadi kamu kurang puas ngobrol sama dia?" tanyanya.
"Kesel, karena Mas nggak jujur dari awal. Lagian nggak akan ngaruh kalau Mas bilang dari awal kalau Mas sering ketemu dia," omelku.
"Oh ya? Emang perasaan kamu buat dia udah nggak ada? Mas takut kamu kegoda lagi, Ay." Mas Evan kembali menarikku dalam pelukannya.
"Nggak akan, Mas. Aku udah terlanjur cinta sama Mas Evan. Yang ada di pikiran aku malah sebaliknya, apa Mas Evan nggak cinta sama aku sampai rela ngebiarin aku ngobrol sama dia?" Aku mendongak menatap wajah suamiku yang tampan.
"Astaghfirullah! Kamu pikir dari tadi Mas nggak nahan diri apa? Kamu tahu, Ay, Mas nahan sekuat tenaga buat nggak nonjok Bendot.  Mas cuma pegang janji Mas aja. Mas sama sekali nggak rela!" Mas Evan membalas tatapanku.
"Mas sama sekali nggak rela, Ay. Dari awal Mas mau batalin taruhan itu setelah tahu apa yang dia minta. Tapi Bendot nolak. Dia malah bakal kasih tiga kali lipat apa yang Mas mau kalau Mas menang," jelas Mas Evan.
"Emang Mas minta apa?" tanyaku.
"Mas minta tiket bulan madu ke Eropa selama dua minggu ke Beno," jawab Mas Evan cengengesan. Aku berdecak kesal, lalu mencubit perut Mas Evan yang liat itu.
"Kayak nggak punya duit sendiri aja!" omelku.
"Kalau ada yang bayarin, kenapa harus keluar duit sendiri. Iya, kan?" sahut Mas Evan.
Aku tak lagi menyahut, ada kesal sekaligus gemas pada tingkah kekanakan suami tampanku ini.
"Ay, Mas udah nyiapin rencana bulan madu kita, loh." Mas Evan membelai pipiku dengan jempolnya.
"Serius? Tanpa anak-anak?" tanyaku antusias.
"Iya lah, anak-anak titipin dulu di Cirebon. Di sana ada kakek, oma sama opanya. Mereka pasti seneng cucu-cucunya ngumpul," ucap Mas Evan.
"Oke, makasih banyak, ya, suamiku." Aku bergelayut mesra di lengannya yang kokoh.
"Sama-sama, makasih mau tetap bertahan sama Mas meski mantan masih terus menggoda," ucapnya setengah menggoda.
"Nggak akan tergoda, dong," ucapku sambil menatap matanya, "semoga pulang bulan madu aku hamil lagi ya, Mas," ucapku. Mas Evan menggeleng cepat.
"No! Cukup dua anak, aku nggak mau lihat kamu kesakitan lagi. Please ... dua anak aja cukup ya, Ayna"
"Bukannya Mas pernah bilang, punya saudara sedikit itu nggak enak?" godaku.
"Nggak, cukup dua aja, Ay." Mas Evan makin menekuk wajahnya, padahal aku hanya bercanda.
"Iya, Mas, dua anak aja," jawabku.
Mas Evan tersenyum, bibir merahnya sangat menggoda untuk dikecup. Sayangnya aku tak punya keberanian menciumnya di area terbuka seperti ini.
"I love you, Yuna," bisik Mas Evan tepat di telingaku. Bibirnya menempelkan sekilas di ujung bibirku.
"I love you more, Mas Evan." Aku mencintaimu, suamiku, cinta pertama dan terakhirku.
"Kita langsung ngamar ya, Ay," pinta Mas Evan dengan mata yang menggelap.
Astaghfirullah! Mas Evan benar-benar, deh ... tahu saja apa yang kumau, ops!
.
.
.
.
.
TAMAT
Follow aku, ya. Akan hadir cerita tentang Beno, spin off Kisah Yuna.
Terima kasih 🥰

Comentário do Livro (129)

  • avatar
    Ir Ilham

    apk sangat bagus

    10/07

      0
  • avatar
    AhmadNorma

    bagus banget ceritanya

    31/05

      0
  • avatar
    JelexIrli

    seru sekali

    03/05

      0
  • Ver Todos

Fim

Recomendações para você