logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Kesalahan Fatal yang Menimbulkan Kebencian Berlarut-larut

Sebenarnya, aku mempunyai dua kakak laki-laki. Mereka kembar, Royhan Al Fatih dan Rayhan El Fatih. Kak Roy—Royhan—lahir 10 menit lebih dulu dari Kak Rey—Rayhan—di salah satu rumah sakit di Bandung. Dari kecil kami sangat dekat dan saling menyayangi satu sama lain. Meskipun terkadang kami juga sering bertengkar dan berebut mainan seperti hal nya anak-anak yang lain. Meski begitu, mereka berdua juga selalu melindungiku ketika aku mendapat ejekan teman-teman di sekolah.
Ibu menyekolahkan kami di sekolah elit saat itu. SD Pelita Jaya adalah salah satu sekolah dasar swasta ter-elit di wilayah kami. Siswanya pun beragam, dari berbagai suku dan agama. Rata-rata orang tua siswa di sekolah tersebut bukan warga asli Bandung, tapi pendatang yang akhirnya menetap di Bandung. Jarak antara sekolah dan rumah cukup jauh. Setiap pagi, Ayah lah yang selalu mengantarkan kami berangkat sekolah menggunakan roda empat nya. Setiap pagi pula, Ibu selalu menyiapkan sarapan. Terkadang, jika kami bangun kesiangan, Ibu membawakan bekal sarapan kami untuk kami santap nanti di sekolah.
Keadaan dan susana rumah kala itu masih menyenangkan. Penuh canda dan tawa. Ipu pun masih bersikap hangat kepada kami. Beliau jarang sekali marah meskipun terkadang sifat kekanak-kanakan kami terlalu berlebihan. Ketika aku dan Kakakku bertengkar, Ayah selalu melerai kami dan mengatakan kalau sesama saudara harus saling menyayangi, melindungi dan menghargai. Sementara Ibu hanya tersenyum melihat tingkah kami sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Semua kehangatan mulai hilang dan warna keceriaan keluarga perlahan memudar ketika Kak Rayhan mengidap penyakit mematikan. Kanker darah mulai menggerogoti tubuhnya. Sikap lembut Ibu pun mulai berubah dingin ketika Kak Rayhan meninggal dan keuangan keluarga mulai berangsur surut. Ayah mulai kesulitan mengatur keuangan dan semua usahanya gulung tikar. Aku tahu dan merasakan betapa sedih, terpukul dan sulitnya orang tua kami saat ujian datang bertubi-tubi. Aku yang masih kecil pun tidak tau apa-apa. Aku hanya tau kalau Kak Rey sakit.
Semenjak kelas tiga SD, raut wajah Kak Rey selalu pucat dan daya tahan tubuhnya lebih lemah dari Kak Roy. Dia memang sering sakit dan bolak-balik pergi ke rumah sakit. Aku hanya berpikir kalau kakak mungkin kelelahan, aku pun tidak mengerti tentang penyakitnya. Kami juga belajar dan bermain seperti biasanya. Puncak terparah adalah saat dia kelas empat SD. Aku di ejek temanku di sekolah karena tidak mau berbagi jajanan dengannya. Saat itu, Kak Rey dan Kak Roy datang menghampiriku. Temanku tiba-tiba mendorong Kak Rey dengan keras sampai tubuhnya terpental ke lantai. Dia berusaha bangun lalu keduanya saling baku hantam. Kak Roy berusaha melerai, tetapi sia-sia. Tiba-tiba, Kak Rey jatuh tersungkur dan pingsan. Pihak sekolah menghubungi orang tuaku dan seketika itu langsung dibawa ke RSUD Bandung untuk mendapatkan pertolongan. Aku melihat Ibu begitu paniknya. Dia menangis sejadi-jadinya. Sementara aku dan Kak Roy hanya diam dalam pelukan Ayah.
"Yah, Kak Rey kenapa? Tadi dia cuma pingsan, tapi kok dibawa ke sini?" tanyaku dengan wajah polos.
"InsyaAllah Rey gak papa, Nak. Doain aja ya biar Kak Rey cepet sembuh." Ayah mengusap kepala dan berusaha menenangkanku.
"Rey bisa cepet pulang ke rumah lagi, 'kan, Yah?" pungkas Kak Roy.
"Iya, Nak. Kalian ga usah khawatir, ya." Sekali lagi Ayah berusaha menenangkan kami.
Sementara di ruang pasien yang berisi tiga orang, aku melihat Kak Rey terbaring lemah dengan infus dan selang oksigen yang menempel di hidungnya. Sedari tadi, Ibu tak henti-hentinya menangis. Beberapa saat kemudian Dokter datang dan berbicara dengan kedua orang tuaku. Sepertinya pembicaraan mereka sangat serius. Aku hanya mendengar sedikit pembicaraan mereka.
"Anak Anda harus segera melakukan operasi, atau untuk sementara, kita bisa lakukan radioterapi dulu sampai donor sumsum tulang belakang ada yang cocok." Dokter menjelaskan keadaan Kak Rey yang sepertinya memburuk.
"Kenapa gak kemoterapi seperti biasanya, Dok?" pungkas Ayah.
"Keadaan anak bapak, mohon maaf sudah semakin memburuk, Pak. Kalau ada pendonor yang cocok sebaiknya disegerakan untuk melakukan operasi." Dokter menjelaskan lagi dengan begitu hati-hati.
Sementara itu, Ibu masih menangis. Ayah memeluk Ibu berusaha menenangkan hatinya. Aku tau perasaan Ayah pun hancur mendengar penjelasan Dokter. Namun, Ayah berusaha menyembunyikannya dari kami.
"Kami harus segera memindahkan anak Anda," ucap Dokter.
"Baiklah, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk anak kami." Ayah mempersilakan Dokter dan suster membawa Kak Rey.
Tim medis pun segera memindahkan Kak Rey dan membawanya ke ruangan lain untuk menjalani Radioterapi. Aku merasa kasian melihat kakakku terbaring lemah. Sekujur lengan tangannya penuh luka memar. Matanya masih tertutup, napasnya naik turun dibantu dengan selang oksigen.
Sudah beberapa jam kami menunggu. Akhirnya dokter datang dan berbicara lagi dengan Ayah. Sesaat kemudian Kak Rey keluar dari ruangan tersebut dan masih juga belum membuka mata. Para perawat segera membawanya ke ruang ICU. Dari arah lain, kulihat Om Ferry datang bersama istrinya, Tante Hesty. Kak Roy yang melihatnya langsung berlari dan memeluknya. Tampak wajah bahagia Om Ferry bertemu kami, namun sesaat kemudian berubah ketika bertemu Ayah.
"Haris, Rey kenapa?" Om langsung menanyakan keadaan kakak kepada Ayah.
"Tadi siang dia jatuh di sekolah, Bang. Terus pingsan," jawab Ayah.
"Sepertinya keadaan Rey makin buruk," jelasnya lagi dengan nada khawatir.
"Om, Oma sama Opa gak ke sini ya?" sela Kak Roy.
"Oma belum bisa dateng, Kak. Nanti nyusul katanya," tegas Tante Hesty.
"Semua ini gara-gara kamu!" Tiba-tiba Ibu mengagetkanku, dia berteriak murka menunjuk ke arahku dan menyalahkanku atas keadaan Kak Rey.
"Ibu, astaghfirullah ... kenapa sih? Ga boleh bilang gitu." Ayah mencoba menenangkan Ibu.
"Kalau Rey gak berantem sama temen kamu, dia gak bakal kaya gini." Ibu tampak masih marah dan menyalahkanku.
"Udah, Rissa. Kamu ga bisa nyalahin Serra. Ini udah takdir Tuhan." Om Ferry pun ikut menenangkan Ibu.
"Ga bisa. Koko tau sendiri keadaan Rey gimana kan? Tapi anak ini selalu mencari masalah di sekolah. Rey berantem dengan temennya terus akhirnya kaya gini." Aku hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Tak ku sangka Ibu akan menyalahkanku atas kejadian ini. Aku merasa terpojokkan saat itu. Ayah memelukku dengan erat dan menggendongku.
"Ibu, semua ini salah Roy, Bu. Roy ga bisa misahin Rey waktu mereka berantem," pungkas Kak Roy.
Ibu masih menangis dan tidak mendengar perkataan Kak Roy. Sementara Om Ferry dan Tante Hesty masih berada di dekat ibu untuk menenangkan hatinya.
Sudah beberapa kali Kak Rey menjalani kemoterapi sebelum akhirnya semakin drop. Biaya yang dikeluarkan pun tak sedikit. Untuk satu kali kemoterapi saja saat itu sekitar belasan juta rupiah. Belum lagi biaya rawat inap yang mencapai lebih dari 15 juta, juga belum termasuk obat-obatan dan biaya lainnya. Keadaan keuangan keluarga pun berangsur surut. Rumah makan khas Sunda di daerah Lembang, Bandung akhirnya ditutup dan ayah jual. Showroom jual beli mobil bekas di depan rumah terpaksa harus gulung tikar juga karena Kak Rey pernah menjalani operasi di rumah sakit besar di Jakarta.
Seperti yang dokter bilang, Kakak membutuhkan cangkok sumsum tulang belakang. Walaupun biayanya sangat mahal yang mencapai hampir 100 juta rupiah, Ibu dan Ayah menyanggupi jika memang ada pendonor yang cocok. Semua akan ayah dan ibu lakukan demi kesembuhan kakak.
Sayangnya, meski pengobatan telah dilakukan. Kak Rey hanya bertahan satu tahun. Setelah kejadian yang tidak mengenakkan di sekolah saat itu, kondisi Kak Rey semakin tak tertolong. Akhirnya dia menyerah pada penyakitnya. Ibu sempat beberapa kali pingsan saat wafatnya Kak Rey. Terlebih saat pemakaman tiba, ibu menangis histeris tak terkendali. Semua keluarga besar Ibu dan Ayah berkumpul. Mereka pun ikut merasakan kesedihan yang sama.

Comentário do Livro (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes