logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 4

Aku Menyerah
Bab 4
Kubiarkan mereka sarapan sambil bersenda gurau, sesekali aku melirik mas Yanto yang mencuri pandang ke mbak Ajeng.
Bahkan yang dipandang pun terlihat malu-malu. Ada apa denganku, kenapa aku hanya berdiam diri melihat hal yang tidak pantas mereka lakukan.
Akhirnya selesai juga mi instan yang kumasak untuk sarapan. Kutarik kursi di sebelah mas Yanto, lalu duduk dan mulai menikmati isi piringku.
"Oiya, Yan nanti kalau berangkat sekalian antarkan Ajeng pulang ya? Kasihan pulang sendiri pagi-pagi jalanan masih sepi," bujuk ibu sambil melirikku dan tersenyum sinis. Sudah kebal aku, Bu.
"Rumahnya mana, Mbak?" tanya mas Yanto menoleh ke mbak Ajeng.
"Jalan Kemuning 3, Mas," jawab gitu saja pakai suara mendayu-dayu. Dasar genit!
"Nah tuh, searah sama tempat kerja kamu, Yan. Jadi, kalau Nak Ajeng main ke sini bisa nebeng Yanto saja," tukas ibu sambil senyum nggak jelas. Huh!
"Ehem ... Memang Mbak Ajeng nggak punya kendaraan ya? Harus gitu nebeng sama Mas Yanto?" geramku jengkel, sekali-sekali marah pun tak apa. Dikasih hati terus malah ngelunjak. Tuman alias kebiasaan nanti.
"Kamu kenapa, Dik? Ngomongnya kok gitu?" timpal mas Yanto, kaget mungkin? Jarang banget aku ngomong sinis selama pernikahan ini.
"Halah, nggak usah didengerin tuh omongan istrimu. Nggak penting. Sudah sana berangkat nanti kesiangan lagi," perintah ibu sambil mendorong kursinya dan berlalu ke depan.
Kulihat mas Yanto ke kamar mungkin mengambil tas kerjanya. Biarlah aku menunggu di sini, jika memang tidak ada apa-apa di antara mereka, pasti dia berpamitan padaku.
Ternyata impian tidak seindah ekspektasiku. Mas Yanto ke luar kamar hanya melambaikan tangan dan berlalu pergi.
"Bagaimana? Masih ingin lanjut dengan pernikahan kalian?" Tiba-tiba ibu sudah di depanku lagi dan sepertinya ada gelagat tidak baik.
"Sudahlah, Bu. Biarkan aku sendiri, jangan ganggu rumah tangga kami. Kalau memang Ibu pengen cucu, kan sudah ada Tata.
Doain saja, Bu semoga kami cepat diberi momongan. Bukankah itu juga tugas Ibu sebagai orang tua, mendoakan rumah tangga anaknya." sanggahku panjang lebar.
"Mau didoain pun kalau mandul ya mandul, mana bisa punya anak?!" ketus ibu mertua.
"Tapi, kan Ibu tahu sendiri hasil tes tahun lalu, kalau aku dan mas Yanto sama-sama sehat?" belaku mengingatkan ibu.
"Halah, kalau sehat pasti sudah hamil kamu. Lha, ini sudah lima tahun lho!? Aku juga pengen nimang cucu dari Yanto! Harus nunggu kamu berapa tahun lagi?" sentaknya sambil berkacak pinggang.
"Lalu, Ibu maunya gimana?" Bahkan kurang baik apa aku, Bu. Mau diajak kompromi.
"Ya aku tetep mau jodohin Ajeng sama Yanto, suka nggak suka harus terima! Kalau keberatan silakan minta cerai." ancamnya.
"Astaghfirullah, setega itu demi cucu Ibu menghancurkan rumah tanggaku?" Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya meluncur begitu saja.
"Terserah kamu bilang apa? Tapi, aku yakin Yanto pasti nurut sama aku!" ucap ibu mertua mencebik sinis.
"Terserah apa kata Ibu, yang jelas aku tidak mandul dan aku tidak mau dimadu!" desisku menahan marah. Kutinggalkan ibu di dapur dengan piring yang masih kotor teronggok di meja.
Kudengar ibu masih berteriak memanggilku kembali ke dapur dan menyuruhku membereskan semuanya. Maaf, Bu aku lagi males.
Biar nanti kalau hatiku sudah membaik pasti kubereskan. Sebencinya aku padamu, selama ini tak pernah aku membantah semua perintahmu.
Tapi, kali ini ibu sangat keterlaluan, tidak mudah hidup bersama selama ini. Banyak pengorbanan, kecewa, sedih, tidak cukup air mata saja terkadang fisik jadi sasaran.
Aku masih bertahan dan terima, tapi untuk di madu aku tidak sanggup ya Allah. Haruskah aku bertahan lagi demi keutuhan rumah tangga. Tapi, sampai kapan lagi?
*****
Hari ini, aku ingin ke salon. Bukan untuk perawatan tapi inilah bisnis yang sedang kugeluti dengan Tari, sahabatku.
Alhamdulilah, selama setahun berjalan, usaha kami mengalami perkembangan yang baik.
Dulu sewaktu masih di kota, aku kerja di perkantoran yang mengelola di bidang produk kosmetik dan alat-alat kecantikan.
Dari segala produk kecantikan berupa perawatan kulit dan rambut di kirim ke toko-toko kosmetik dan salon-salon kecantikan.
Seringnya mengetahui seluk beluk segala perawatan, bahkan terkadang ikut survey ke toko dan salon, membuatku tertarik belajar lebih jauh tentang bisnis kecantikan.
Sedikit banyak aku mendalami bisnis ini, dengan segala pengetahuan dan belajar terus akhirnya aku berani membuka usaha sendiri. Terbatasnya dana, aku memutuskan mengajak Tari bergabung demi mensukseskan rencanaku.
Semuanya aku lakukan diam-diam karena tahu bagaimana karakter ibu dan iparku. Bahkan, mas Yanto pun tak mengetahui usahaku ini. Kusimpan rapat-rapat demi masa depanku sendiri, bukan karena aku perhitungan dengan suami.
Tapi, memang dari awal ibu tidak menyukaiku tanpa tahu sebabnya, didukung suami yang tidak bisa tegas. Semuanya dilakukan demi ibu dan kakaknya, sekalipun itu menyakitiku.
Jadi, kuputuskan tidak memberi tahu mereka agar aku siap jika tiba-tiba mereka mencampakkanku. Terbukti ketakutanku selama ini, mereka berencana menyingkirkanku dengan mendatangkan madu untuk suami.
Tiba di salon, langsung kaki ini melangkah menuju ruang kerja. Setelah menyapa beberapa karyawan dengan ramah. Aku ke dalam ruanganku dan mengerjakan semua pembukuan yang berhubungan dengan produk dan keuangan.
Semuanya memang kulakukan sendiri, bukan karena tidak bisa mempercayakan pada karyawan untuk menanganinya, tetapi karena aku suka berkutat dengan pekerjaan.
Dengan begitu aku bisa menyibukkan diri dan melepas sejenak peliknya rumah tangga yg kujalani. Terkadang aku ingin menyerah tapi rasa ini masih melekat erat untuk suami.
Saking asyiknya melamun, terdengar suara gaduh dari luar yang membuat konsentrasiku terpecah.
Kusibak gordyn ruang kerjaku, terlihat seorang wanita marah-marah sambil menunjuk-nunjuk jarinya ke wajah karyawanku yang tertunduk takut.
Bukankah itu mbak Ajeng? Ngapain dia marah-marah seperti itu? Haruskah semarah itu? Atau separah apakah karyawanku melakukan kesalahan? Ada apa sebenarnya di sana? Jika aku ke luar dia pasti tahu siapa aku? Bagaimana ini?
Tok ... tok ...
Suara pintu ruanganku diketuk seseorang. Selang beberapa detik pintu terbuka setelah mendengar kupersilakan masuk.
Asty, karyawanku masuk ruangan dan melaporkan kalau ada customer yang mengatakan ingin bertemu dengan pemilik salon.
Kutanyakan alasannya kenapa ingin bertemu denganku, ada apa? Jawaban Asty kalau tamu tersebut menginginkan ganti rugi, gara-gara perawatan hairspa kemarin alih-alih bukannya menjadi berkilau, malah jadi mengalami kerontokan.
Sebenarnya, aku tahu paham betul modus-modus seperti ini di berbagai salon belahan dunia. Hanya saja, aku khawatir justru orang-orang seperti itu kelak akan menuai kritikan.
Kusuruh Asty ke luar dan mengatakan kalau saya sedang sibuk tidak bisa diganggu. Kusuruh sekalian menanyakan apa wanita tersebut punya bukti kalau penyebab masalahnya memang dari perawatan salon ini.
Aku tidak boleh ke luar sekarang atau bisa hancur nanti rencanaku.
Bersambung...

Comentário do Livro (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes