logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 33 Momen yang Aneh

Dua tenda telah berdiri. Satu untuk Yusri dan Agus, yang satu lagi tentu untuk Raka dan Bima. Setelah mendirikan tenda, mereka berbagi tugas. Raka dan Bima mempersiapkan makan malam untuk mereka berempat. Sore ini jadwal mereka berdua karena keadaan Bima masih terlihat lemah. Sedangkan Yusri dan Agus mengerjakan pekerjaan yang berat. Mencari kayu bakar. Mengangkat air dari sumber mata air yang keluar dari sela-sela bebatuan dan mendirikan tenda yang sudah dikerjakan oleh dua pemuda asli dari Desa Nagalingga.
Raka dan Bima memasak nasi dan air untuk persiapan nanti malam jika mereka ingin membuat kopi. Mereka sudah dibekali oleh Mba Mirna sambal teri kering yang bisa dimakan malam ini dan harus dihabiskan besok. Karena sambal teri sudah menginap satu malam di rumah Yusri. Mereka masih punya kesempatan dua hari lagi untuk menikmati sambal teri yang enak.
Tadi, sewaktu di shelter 3, mereka makan nasi bungkus yang sengaja dibawa. Setidaknya makanan yang mereka nikmati tadi, cukup mengganjal perut walaupun seadanya. Malam ini mereka ingin makan lebih enak dari yang tadi dan dengan tenang, tentunya.
Bima menggoreng sosis dan nugget yang dibawa dari Tanjung Leidong, sedangkan Raka memasak sayur bening. Kentang, wortel dan sedikit toge menghiasi sayur bening itu. Dan… walah… dalam satu jam mereka telah menyelesaikan semua. Hidangan sudah ada di depan mata. Raka telah menyiapkan tempat sederhana untuk lesehan.
“Aku panggil Yusri dan Agus untuk makan ya. Keburu dingin jika terlalu lama. Udara di sini membuat kita pengen makan yang hangat-hangat.” Raka berdiri dan berjalan menuju ke tempat kedua temannya yang lain sedang duduk santai. Yusri dan Agus sedang bercengkrama dengan pendaki lain.
Bima mengangguk dan mengulaskan senyum kecil untuk Raka.
Tak berapa lama, Raka telah membawa kedua teman mereka.
“Wah… enak nih. Sambal teri kering. Sayur Bening. Sosis dan Nugget. Cukuplah untuk mengganjal perut sore ini,” ujar Yusri sambil duduk di hamparan terpal yang di-setting oleh Raka tadi.
“Lumayanlah untuk makanan pertama kita di puncak Gunung Sibuaten,” sambut Agus yang mengambil posisi duduk di samping Yusri.
“Oke… langsung gaskan,” celetuk Raka menirukan logat Yusri dan Agus.
Yusri melirik ke arah Raka, tapi tidak berkomentar. Pemuda ini mungkin sudah terlalu lapar dan tidak ingin membuang waktu untuk mengomentari Raka.
Bima… yang sedari tadi duduk di hadapan makanan, mengambil piring kaleng. Dengan sigap menyendokkan nasi ke dalam piring itu. Mengambil lauk-pauk dan sayur yang telah disediakan. Pemuda itu tak mengeluarkan satu katapun.
“Kamu udah sehat, Bim?” tanya Yusri. Tangannya dengan cepat mengambil centong nasi yang menganggur di dalam mangkok plastik yang berisi nasi.
Bima melihat ke arah Yusri. Diam sesaat. Lalu dia berkata,”Ya.” Melanjutkan makannya. Menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan tangan kanan.
Yusri terdiam.
Raka melirik ke arah Bima.
Agus tak ingin mengucapkan apapun. Semuanya capek. Jadi, dia merasa bahwa keadaan canggung ini biasa saja baginya.
Mereka menikmati makanan mereka pertama kali di puncak Gunung Sibuaten yang sering disebut dengan Puncak Pilar.
Selesai menyantap makanan, mereka melihat keindahan langit yang berwarna oranye. Langit di ufuk Barat yang akan menyembunyikan matahari ke dalam peraduan.
***
Terdengar suara gemeretuk biji jagung yang masih berada di tungkulnya ketika masak terbakar api. Yusri mengelak sedikit ke samping untuk menghindari jagung yang menjadi popcorn, mencelat dan menyerang wajah pemuda yang berwarna kulit sawo matang. Dia tertawa kecil.
“Ini hasil dari kebunmu?” Raka membuka suara setelah mereka berempat duduk di depan perapian, dari 10 menit yang lalu.
“Ya. Dan aku menanamnya dengan tanganku sendiri. Aku merawatnya dan aku beri nama,” ujar Yusri melirik ke arah Bima yang duduk di antara Agus dan dirinya. Pemuda itu menunggu respon dari Bima.
“Boleh aku tau siapa namanya?” Raka yang bertanya karena tak ada respon dari Bima.
“Ah… kau nanya kayak bintang film pula lek. Baku kali bahasa kau.” Yusri mengalihkan pandangan ke Raka. Ternyata orang lain yang merespon guyonan yang akan dilemparnya.
“Jagung kau kasi nama pula.” Agus menyambar.
“Ya iyalah… masa’ tukang kedelai hitam di iklan tuh aja yang bisa ngasi nama ke tanamannya. Aku juga bisa,” jawab Yusri dengan tegas.
“Jadi… siapa nama jagung-jagung ini?” tanya Agus sambil memakan jagung bakar yang sudah dibakarnya sendiri.
“Maliki,” jawab Yusri. Dia melirik ke Bima yang sedang membakar jagung. Jagung itu berada di ujung sebilah kayu.
Bima tak bergeming. Pemuda itu melihat perapian yang menjilat-jilat ke badan jagung.
Yusri agak kecewa. Dia hanya mendapatkan senyum tipis dari Raka dan dengusan kecil dari Agus. Bukan itu yang diharapkan.
Yusri terdiam. Memakan jagung yang dibakarnya dengan perlahan.
Raka melirik ke arah Bima yang masih menatap ke arah api. Sejak dari shelter 4, Bima lebih sering diam, tak banyak bicara.
“Malam ini, kita cepat istirahat. Besok kita bangun untuk melihat sunrise,” nyata Agus sambil melihat ke arah Yusri.
“Ah… taunya aku arti sunrise itu, mata kau biasa aja ngeliat aku lek,” cetus Yusri.
Agus tertawa. “Okelah, aku tinggal kalian ya. Aku mau istirahat,” ujar pemuda yang masih memakai koplok yang sama. Dia membersihkan tangan dan bajunya dari remah-remah jagung bakar.
“Ya, bentar lagi aku nyusul. Capek juga badanku. Lebih capek lagi pas aku tau, tak ada susu yang kau janjikan di puncak ini,” ujar Yusri sambil tertawa.
“Yang adanya susu itu, kalau kau cari harimau di sekitar sini. Jadi… kau carilah itu.” Agus menyeletuk sambil tertawa dan meninggalkan mereka bertiga di api unggun yang sengaja dihidupkan.
“Matilah aku sebelum susu itu ku dapatkan,” kata Yusri.
Raka tertawa kecil.
“Bim… ngelamun aja kau. Jagung kau tuh udah gosong ku tengok.” Agus menegur Bima.
Bima terkejut. Menarik tangannya. Mendekati jagung ke arah mulutnya. Menghembus jagung itu beberapa kali. Memakannya derngan perlahan karena terasa panas. Tiba-tiba dia terbatuk.
“Bim… kamu enggak apa-apa? Aku ambillkan air ya,” ujar Raka dengan cepat.
“Jangan. Aku bisa ambil sendiri.” Bima langsung bangkit dan melangkah beberapa kali. Mengambil botol minuman dan kembali lagi duduk di tempat semula.
Yusri menoleh ke arah Raka.
Raka hanya terdiam melihat wajah Yusri.
Sambil memakan jagung di depan api unggun, mereka menghangatkan tubuh. Raka dan Yusri bercerita tentang masa kuliah dirinya dan Bima. Sedari Masa Orientasi Kampus sampai tamat. Yusri menceritakan kisah lucu yang mereka alami berdua. Raka tertawa mendengar cerita Yusri dan dia semangat mendengarkan kisah mereka berdua yang akhirnya menjadi sahabat.
Bima lebih banyak terdiam. Raka dan Yusri tak mau menganggu Bima. Mungkin dia memang sedang lelah. Jam 10 malam Bima izin untuk masuk ke tenda. Raka mempersilahkan Bima masuk terlebih dahulu karena dia masih ingin mendengar cerita Yusri tentang kampung Nagalingga.
***
Setelah setengah jam Bima masuk ke dalam tenda, Raka baru menyusul. Cerita Yusri membuatnya ingin terus menghabiskan malam di depan api unggun, tapi mereka berdua kelelahan, akhirnya terkalahkan dengan kondisi tubuh dan dinginnya malam.
Raka dan Yusri meninggalkan bara api di wadah api unggun yang dibuat mereka setelah maghrib. Malam yang dingin membuat mereka betah duduk berlama-lama di depan api unggun. Tapi mereka harus beristirahat, masih ada satu hari lagi untuk menikmati api unggun di puncak Gunung Sibuaten. Mereka membiarkan bara api itu untuk menghangatkan mereka, walaupun mereka berada di dalam tenda.
Raka membungkukkan badan ketika masuk ke dalam tenda. Merayap masuk ke dalam selimut dengan perlahan agar tidak menganggu Bima yang sudah tidur di balik selimut tebal.
Raka menoleh ke arah tubuh Bima yang membelakanginya. Ada yang terasa aneh dengan sikap Bima sedari shelter 4 tadi. Raka merasakan itu dengan jelas. Dia tak ingin bertanya dengan Raka. Menyimpan pertanyaan itu untuk nanti ketika karakter Bima sudah kembali normal.
Malam di Puncak Pilar begitu dingin. Selimut tebal yang dipakai oleh Raka masih bisa dikalahkan oleh udara dingin. Tapi, inilah kenikmatan sang pendaki. Tidur di atas puncak gunung dengan udara dingin. Mencapai puncak merupakan hal paling istimewa. Dan bonusnya begitu banyak di antaranya adalah menikmati sunset dan sunrise.
Hitungan menit Raka sudah larut di dalam tidurnya. Mimpi indah telah menghiasi tidur.
Terdengar bunyi gesekan kain berbahan parasut di dalam tenda secara perlahan. Bima membalik badannya ke samping. Mendekati Raka dan memeluk pemuda yang mirip dengan Park Seo Joon itu. Kehangatan di hati dan seluruh tubuhnya bisa dirasakan oleh Bima.
***

Comentário do Livro (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes