logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 12 Calon Ayah

Langkat, Indonesia
“Cik, oper bolanya!”
“Jaga sayap kanan!”
“Kiper! Kiper!”
“Tahan!”
“Wesh! Goool!”
“Asiiik! Menang lagi!”
Rangga tersenyum saat memperhatikan keramaian anak-anak di lapangan sepak bola. Pria itu mengangguk saat seorang laki-laki yang mengendarai sepeda ontel menyapanya dengan senyum. Walau baru beberapa bulan sejak dia dan istrinya tinggal di daerah ini, Rangga cukup dikenal karena usaha dan kepribadiannya yang ramah. Bahkan di bulan-bulan pertama ia tinggal di sini, ada beberapa ibu-ibu yang menyodorkan anak gadis mereka padanya. Saat itu Rangga hanya tertawa kecil dan menjawab bahwa ia sudah diikat oleh istrinya di rumah. Meski kecewa, para ibu hanya bisa tersenyum dan meminta Rangga untuk mengajak istrinya mengikuti kegiatan perwiritan di kampung ini.
Syukurlah, meski tampak sedikit enggan Ika sudah mengikuti kegiatan itu sejak sebulan yang lalu.
"Ini satenya, Mas."
"Berapa semua, Pak?"
"Lima ribu aja, Mas."
Rangga mengeluarkan dompetnya dan memberi sejumlah uang kepada penjual sate. Setelah menyelesaikan transaksinya, Rangga bergegas menuju motor yang diparkir tak jauh dari gerobak sate. Sambil bersenandung pelan dia menghidupkan mesin motor dan melaju menuju rumahnya.
Sudah dua bulan belakangan ini dia sering keluar untuk membeli makanan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Jika tak begitu bisa dipastikan Rangga akan melihat Ika tidak makan seharian. Bukannya tidak ada makanan yang tersedia di rumah, malahan setiap hari ada saja kue yang dibuat istrinya itu sebagai bentuk 'keinginan semata'. Hanya saja Ika yang tak ingin memakan masakan yang dibuatnya. Jadilah Rangga hampir setiap hari keluar rumah untuk membelikan Ika makanan. Uniknya, Rangga sama sekali tidak mengeluh. Pria itu malah merasa langkahnya begitu ringan saat memenuhi semua keinginan sang istri yang tengah mengandung.
Benar, dia adalah calon Ayah.
Rangga tidak tahu bagaimana perasaan suami lain saat mengetahui istrinya sedang hamil, karena Rangga sampai sekarang tak henti-hentinya merasa bahagia dan tak sabar menunggu anaknya lahir ke dunia. Tak masalah anaknya laki-laki atau perempuan, yang pasti akan ada bayi mungil yang nantinya akan memanggilnya dengan sebutan Ayah. Kata itu masih menakjubkan walau hampir setiap hari Rangga mengulangnya dalam hati. Calon Ayah itu tertawa saat mengingat Uminya, Maryam menjulukinya 'kemaruk' karena terlalu berlebihan.
Sesampainya di rumah ada seorang pembeli yang sudah menunggunya. Meski agak bingung kemana Ika yang biasanya mengambil alih kios, Rangga tetap melakukan tugasnya sebagai penjual. Selesai menjuali, barulah Rangga masuk ke dalam rumah.
"Assalamu’alaikum." Pria itu mengerutkan kening saat tak mendengar jawaban. "Ka?" Pria itu membuka pintu kamar dan tak mendapati siapapun di dalamnya. "Ika?" Rangga memeriksa kamar satunya, kamar mandi, dapur, halaman belakang, bahkan sampai mengelilingi rumah. Namun lagi-lagi tak ada istrinya di mana-mana.
Rangga meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja makan dan memutuskan untuk mengelilingi rumah sekali lagi. Sebelum pria itu pergi membeli sate, mertuanya yang baru kali ini berkunjung ke rumah mereka tengah menemani Ika. Rangga tidak tahu masalah apa yang membebani Ibu mertuanya sebelum datang ke sini, yang jelas wajah Mamah terlihat muram. Senyum yang biasa tampak di wajahnya ketika melihat Rangga pun tak ada.
Berpikir sang mertua memiliki masalah dan ingin bicara berdua saja dengan Ika, Rangga pun pamit untuk membeli sate. Karena memang berniat memberi ruang untuk ibu dan anak itu, Rangga sengaja pergi agak lama. Mungkin sekitar 45 menit? Rangga tidak membawa jam, jadi pria itu tak tahu waktu pastinya. Yang jelas, sesampainya di rumah baik itu istri dan mertuanya sudah tak ada.
Rangga duduk di depan televisi yang mati sambil berpikir. Kemana Ika dan Mamah? Walau kadar perhatian Ika sering kurang padanya, Ika selalu pamit pada Rangga bila ingin keluar rumah. Wanita itu belum pernah menghilang secara tiba-tiba seperti ini. Rangga bukan jenis pria yang terlalu protektif pada wanitanya, tapi entah kenapa perasaannya tidak enak sejak mengetahui sang istri tak ada di rumah. Dia khawatir terjadi sesuatu dengan Ika dan bayi mereka. Apalagi matahari sudah hampir tenggelam.
Menghela nafas dan menenangkan diri, Rangga memutuskan untuk mandi dan bersiap melaksanakan Shalat Maghrib dan Isya di Masjid. Mungkin setelah Rangga selesai jama'ah, Ika dan Mamah sudah kembali. Dengan pikiran positif Rangga menutup kios dan menyelipkan kunci di bawah pot bunga. Hal ini dimaksudkan agar Ika bisa langsung masuk tanpa menungguinya setelah sampai.
Namun hingga Rangga selesai melaksanakan ibadah Shalat Isya pun Ika belum kembali. Pintu masih tertutup rapat dan kunci masih setia di bawah pot. Rangga menenangkan detak jantungnya yang menderu dan meraih telepon rumahnya. Menekan beberapa tombol yang sudah diingatnya di luar kepala Rangga segera menelepon rumah mertuanya.
"Halo, Assalamu’alaikum. Dengan siapa ya?"
"Wa’alaikumussalam, Aida. Ini Abang Rangga. Mamah sudah pulang, dek?"
"Oh Abang Rangga. Sudah, Bang. Mamah sudah balik dari tadi."
Sudah pulang dari tadi? Rangga menekan perasaan khawatirnya dan kembali bertanya pada adik iparnya itu dengan nada setenang mungkin. "Ada Kak Ika di sana dek?"
"Kak Ika? Eum…." Aida terdengar ragu sejenak membuat Rangga bertanya-tanya apa yang salah.
"Da?"
"Nggak, Bang. Eh, ada. Duh, enggak! Nggak ada Kak Ika di sini!"
Mendengar jawaban Aida, Rangga semakin yakin bahwa ada sesuatu yang salah. Walau Rangga dan kedua adik iparnya tidak begitu dekat, dia tahu Ika ada di rumah mertuanya setelah mendengar cara bicara Aida. Gadis itu terdengar gugup. Kecuali seseorang itu memang sudah mahir berbohong sedari lahir, Rangga yang sudah banyak berinteraksi dengan orang lain bisa tahu kapan seseorang jujur dan kapan mereka berbohong hanya dengan mendengar cara bicaranya.
"Oke, dek. Terimakasih. Abang ke rumah sana sekarang."
"Ha? Oh, jangan Bang! Kak Ika nggak ada di sini!"
"Abang tutup ya, Da. Assalamu’alaikum."
"Ab-!"
Tut tuuut
Rangga sudah menutup telepon tanpa menunggu balasan Aida. Melepas peci, baju koko, dan sarungnya, Rangga memilih pakaian kasual pertama yang dilihatnya di lemari. Pria itu sedang mengancingkan kemejanya saat menyadari bahwa pintu lemari Ika tak terkunci dengan benar. Bermaksud membuka untuk kemudian menutupnya, gerakan Rangga terhenti saat melihat kondisi lemari pakaian sang istri.
Jantung pria itu sempat berhenti sebentar sebelum kembali berdebar dengan kecepatan ekstra. Dengan hati yang penuh kebingungan, Rangga memeriksa satu-satu pakaian yang tersisa di sana. Lebih dari setengah dari keseluruhan pakaian Ika yang Rangga ingat sudah lenyap. Yang tersisa hanya sejumlah kecil pakaian yang kesemuanya dibeli saat mereka berdua sudah menjadi suami-istri.
Batin Rangga mencelos. Hatinya menjadi resah tak karuan. Dia mencoba memikirkan kesalahannya dan menyerah saat tak mendapati satupun hal yang salah. Menutup pintu lemari dengan kebingungan yang terus meningkat, Rangga menyambar jaket dan kunci motornya.
Setelah memastikan pintu rumah terkunci, pria itu langsung mengemudikan motornya menuju rumah sang mertua. Jarak yang biasanya ditempuh dalam satu jam dipangkas Rangga hanya dengan dua puluh lima menit. Tubuhnya kedinginan karena berkendara dengan kecepatan tinggi. Meski begitu, hatinya membara karena haus penjelasan. Seberapa keras pun Rangga berusaha berpikir positif, hal-hal negatif terus saja berseliweran di benaknya.
Rangga mengatur kondisi internalnya sejenak sebelum beranjak turun dari motor. "Assalamu’alaikum." Rangga mengetuk pintu dan menunggu.
Tak ada jawaban atau tanda-tanda pintu akan dibuka.
"Assalamu’alaikum!" Rangga kembali berseru lebih keras.
Masih tak ada tanggapan.
"Assalamu’alaikum! Ika! Ini Bang Rangga!"
Lagi-lagi tak ada suara yang menjawab. Rangga mendongak dan memperhatikan sekeliling. Lampu yang menyala dan suara samar dari televisi membuktikan bahwa ada orang di dalam rumah. Rangga menghela nafas dan kembali mengetuk pintu. "Ka? Kamu di dalam kan? Tolong keluar dulu. Kita harus bicara! Abang nggak tau di mana salah Abang, Ka. Kamu nggak boleh pergi tanpa menjelaskan apapun." Ketukan di pintu semakin keras. Rangga tidak bisa menunggu lebih lama lagi dalam kebingungan. Semakin lama waktu berlalu, semakin menipis pula kesabarannya. "Zulaikha! Keluar! Abang ini suami kamu, Ka! Surgamu ada pada Abang! Kita harus bicara. Kamu kan tau, apa yang akan terjadi kalau kamu melanggar perintah suamimu? Allah akan-"
"KALAU BEGITU TALAK SAJA IKA!"
Balasan yang ditunggu namun tak pernah diharapkan itu datang dari Jamilah, ibu mertua Rangga yang kini menatapnya dengan tatapan berapi-api.
--₪₪₪--

Comentário do Livro (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    3d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    9d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes