logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 11 Sakit Tak Terkira

Kuala Lumpur, Malaysia
Fitri menatap kosong pemandangan di depannya. Jantungnya berdenyut pelan, seolah tak memberikan ruang bagi pihak lain untuk mencampuri perdebatan dua saudara dengan suara sekecil apapun. Meski Fitri tidak bisa mengartikan percakapan dengan bahasa China itu, dia tidak bodoh untuk tahu bahwa dari wajah memerah Afia dan Hilman, pembicaraan mereka tidaklah sebagus angan Fitri. Gadis itu mengelus perutnya yang masih datar, mencoba menguatkan diri dengan keadaan yang tidak mendukung.
Sejak Fitri melihat bagaimana raut wajah Hilman saat menatapnya ketika tiba di rumah ini, gadis itu memiliki firasat buruk, tidak, firasat terburuk sepanjang hidupnya. Tidak ada tatapan penuh cinta seperti terakhir kali mereka bertemu. Jangankan menyapa, Hilman tampaknya benar-benar enggan berlama-lama berada di ruangan yang sama dengan Fitri.
Apa artinya itu?
Fitri tidak bodoh untuk mengetahui bahwa lelaki itu berniat lepas tangan. Sungguh perilaku tercela tak berhati. Bagaimana mungkin Fitri jatuh cinta dan berharap masa depan bahagia dengan lelaki ini? Bagaimana mungkin Fitri terbuai oleh rayuan setan berujung penyesalan tak berujung seperti ini? Ya Allah…
"Saye tak nak! Cici tahu sangat saye dah punya bakal isteri! Pernikahan dah di depan mate! Māmā dan Bàba tak akan izinkan!"
Calon istri? Pernikahan yang sudah di depan mata? Netra Fitri membelalak. Jantungnya yang tadi kehilangan semangat dalam sekejap berubah haluan. Darahnya terpompa begitu cepat, kepalanya mendidih, dan tangannya gatal ingin menghajar lelaki bernama Hilman ini.
"Tapi Fitri dah mengandung anak awak! Beraninya awak tinggalkan mereka?! Lelaki macam apa awak ni Hilman?! Dimana hati awak ditempatkan?!" Afia yang sedari awal teguh membela Fitri tampak teramat marah dengan jawaban sang adik. Wanita itu pikir dia sudah mengenali adiknya luar-dalam. Dia pikir walau Hilman bukanlah seorang anak dan adik yang baik budi pekertinya, Hilman adalah lelaki yang bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Awalnya Afia tak ingin percaya jika adiknya lah yang sudah menghamili Fitri. Dia tahu bagaimana Māmā dan Bàba mereka keras terhadap kehormatan keluarga. Māmā dan Bàba tak akan menerima pernikahan karena 'kecelakaan' seperti ini. Tapi mengingat bagaimana watak Fitri selama bekerja di sini, dan kenyataan bahwa hanya Hilman, laki-laki selain suaminya yang sering berada di rumah ini, ditambah kesaksian Intan bahwa Hilman dan Fitri memang sedang menjalin kasih, Afia tak memiliki pilihan selain bertemu adiknya dan meminta penjelasan.
"Cici betul-betul percaya cakap perempuan ni? Lebih percaya diorang daripada saye? Adik awak sendiri?!" Hilman menunjuk Fitri tanpa sekalipun menatap sang gadis. "Belum tentu anak yang diorang kandung, anak saye! Bila itu anak lelaki lain macam mane? Saye akan merugi bila-"
Plakk!
Tamparan itu memutus rangkaian kata yang hendak diucapkan Hilman. Lelaki itu memegang pipinya dan langsung beralih menatap Fitri yang menjadi pelaku kekerasan barusan. Mata lelaki itu memicing penuh intimidasi. "Beraninya awak-"
Plakk!
Fitri sudah mengayunkan tamparan kedua sebelum Hilman selesai bicara. Tatapan intimidasi Hilman tak berefek apapun terhadap Fitri yang sedang dikendalikan amarah. "Siapa kamu berhak mengucapkan kalimat tolol semacam itu?!" Gadis yang sudah kehilangan kegadisannya itu menggeram murka. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Hilman sudah mati berkali-kali karena terbelah oleh tatapan Fitri. "Bukan anak kamu? Anak lelaki lain? Kamu merasa rugi?!" Fitri menarik kerah kemeja Hilman. Matanya yang bersinar menakutkan membuat lelaki itu tak bisa berucap sepatah katapun.
"Apa kamu pikir saya sudi hidup dengan lelaki semenjijikkan kamu?! Kamu pikir saya rela anak yang akan saya kandung selama sembilan bulan memanggil lelaki nggak punya hati kayak kamu dengan sebutan 'Ayah'?!" Fitri beralih menjambak rambut Hilman dan menendang selangkangan lelaki itu dengan kekuatan luar biasa. Selama ini mungkin Hilman hanya mengetahui sisi Fitri yang lemah lembut saat merawat Aden, dan tak pernah membayangkan Fitri berubah menjadi gadis bar-bar. Fitri tidak dijuluki bebal tanpa alasan. Hilman salah besar jika berniat mengeksploitasi kesabaran gadis itu.
Fitri boleh rendah diri karena keluarganya berada di level terendah bila dibandingkan dengan keluarga Hilman, tapi harga diri gadis itu jauh lebih besar dari rasa rendah dirinya.
Membiarkan dirinya dihina oleh manusia hina seperti Hilman tanpa melakukan apa-apa? Memangnya Fitri sudah kehilangan pikirannya! "Saya kasihan sama calon istri kamu. Bagaimana mungkin dia akan menikah dengan orang seperti kamu? Kamu itu bukan manusia!" Fitri kembali menendang lelaki itu tanpa ampun. "Nggak punya hati! Nggak punya otak! Dasar sampah! Kenapa kamu nggak mati aja, ha?!"
Fitri belum puas menyiksa Hilman. Namun isakan Afia yang memanggil nama adiknya di belakang Fitri menyurutkan sedikit emosi gadis itu. Fitri kembali memandang Hilman yang wajahnya membiru karena tendangan mautnya. "Saya nggak butuh laki-laki pengecut macam kamu di hidup saya! Kamu nggak mengakui janin di dalam kandungan saya kan? Oke! Nggak masalah! Saya ibunya, saya bisa merawatnya sendiri! Saya akan merawat anak saya dengan baik supaya dia nggak memiliki perangai seperti kamu! Manusia sampah!" Fitri menyeka tangis yang hendak turun dari matanya dengan kasar. Dia menolak memperlihatkan kesedihannya di depan Hilman. "Saya berdoa semoga Allah membuat kamu hidup lama supaya balasan yang akan kamu terima dari menyakiti saya hari ini berlipat-lipat dan berkesinambungan!" Fitri memberi tendangan terakhir dan berlalu ke kamar yang selama sembilan bulan ini ditempatinya.
Pilihan yang buruk karena kenangan 'malam itu' langsung terputar bagai kaset rusak saat ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Fitri terduduk lemas di balik pintu kamarnya yang sudah terkunci. Seolah ada yang merenggut nafasnya secara paksa, gadis itu mencengkeram dadanya dengan kuat. Fitri mencoba memejamkan mata untuk menghalau kenangan menyesakkan itu, namun sia-sia. Bukan matanya yang melihat, tapi kepalanya yang mengingat. Beribu andai menyambangi pikirannya yang penuh. Berharap bisa memutar waktu agar kenyataan ini beralih menjadi mimpi. Tapi tidak bisa. Realita menyakitkan ini memang miliknya. Hasil dari malam itu sedang tumbuh di rahimnya.
Fitri terisak hebat.
Dia marah pada kenyataan yang membuatnya kesakitan. Dia menyesali hari dimana dia mempercayai Hilman. Dia kecewa kepada dirinya yang sempat mengharapkan lelaki bajingan itu. Fitri tak henti menghapus air matanya, namun seperti banjir bandang, tangisnya malah semakin deras.
Tak peduli seberapa kuat Fitri saat berhadapan dengan Hilman, hatinya bukan baja yang tetap keras saat digempur habis-habisan. Fitri manusia biasa. Dia gadis yang akan membalas saat disakiti namun tetap menangis ketika menyendiri. Bayangan akan masa depan membuat Fitri gentar. Memikirkan akan mempunyai anak tanpa suami, mencari nafkah seorang diri, dan mendengar bagaimana tanggapan keluarga serta orang-orang di sekitarnya membuat semangat Fitri turun.
Dia tidak yakin mampu menghadapi situasi yang ada dalam bayangannya. Namun hidup tetap berjalan tak peduli dia siap atau tidak menjalaninya. Bagi Fitri, mengaborsi janin atau menikahi laki-laki lain bukanlah jawaban. Meski Hilman, selaku ayah biologis anaknya tak mau mengakui, Fitri sudah menganggap anak ini adalah bagian dari dirinya. Menggugurkannya sama saja dengan membunuh Fitri.
Sementara menikahi laki-laki lain … Fitri tidak mau berjudi dengan nasibnya dan nasib anak yang ada dalam kandungannya. Tidak lagi. Dia enggan merasakan sakit yang tak terlihat dasarnya seperti ini lagi. Cukup sekali. Karena jika ada kali kedua Fitri merasa seperti ini, dia pasti akan hancur lebur tanpa sisa.
Masih terisak, Fitri menyeret kakinya menuju lemari. Dipandanginya sebentar pakaian yang tersusun rapi di dalam sebelum mengambil tas. Fitri sempat berhenti menggerakkan tangannya saat memikirkan betapa besar kekecewaan yang akan dirasakan kedua orang tuanya ketika dia pulang dengan kondisi berbadan dua tanpa seorang pun lelaki yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Tapi dia cepat-cepat menyingkirkan kekhawatirannya itu dan mengeraskan hati. Dia tak diterima di sini. Selain rumah orang tuanya yang hangat, dimana lagi Fitri bisa pulang?
Mengenai kemarahan dan kekecewaan kedua orang tuanya, Fitri akan menyimpan masalah itu untuk nanti. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah berberes, berpamitan tanpa merendahkan harga dirinya, dan pulang.
Harusnya dia senang, tapi untuk alasan yang rumit, air mata Fitri enggan berhenti.
--₪₪₪--

Comentário do Livro (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    3d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    9d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes