logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 VII

Joni bergegas pergi ke kios fotokopi terdekat dari kediamannya. Mesin motornya menyala tanpa perlu diengkol berulang kali. Motor itu paham, majikannya sedang senang bukan main. Jadi, ia tak boleh melakukan kesalahan untuk merusak kesenangan majikannya itu. Ia harus mengantar Joni membeli kertas satu rim berukuran A4

Setelah lewat dua bulan, novel kedua Joni akhirnya rampung meski tanpa dilakukan pengeditan terlebih dahulu. Joni tahu, kelak jika memang novel itu naik cetak, pengeditan akan dilakukan oleh editor penerbit tersebut. Jadi, saat ini ia tak perlu melakukan pengeditan soal PUEBI. Itu adalah tugas editor. Dan kemampuan berbahasanya pun sudah tidak diragukan lagi. Semasa sekolah, kesehariannya adalah membaca buku. Ilmu menulisnya sudah cukup. Pikir Joni begitu.

“Mama boleh baca?” tanya Tika ketika suaminya baru saja pulang dari kios fotokopian dan menjinjing kresek hitam berisi satu rim kertas A4.

“Enggak, Mama boleh baca saat nanti novel yang Papa tulis berada di rak-rak toko buku besar, terutama Gramedia.” Joni menjawab dengan suara yang lantang. Ia yakin seratus persen ceritanya itu akan mendapatkan pinangan dari penerbit mayor. Kemudian, beberapa waktu setelahnya, novelnya akan laris manis dan akan diadaptasi menjadi film oleh salah satu rumah produksi terkenal.

“Pelit banget.”

“Biarin. Biar Mama terus doain novel ini naik cetak.”

“Ya udah kalau enggak boleh baca. Tapi, judulnya Mama boleh tau, kan?”

Joni berpikir sejenak. Telunjuk dan ibu jarinya memegangi dagu yang tidak gatal. Isterinya tak tahu menahu soal cerita yang ditulisnya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Selain ingin menjadi penulis terkenal dan punya banyak uang, ia juga ingin memberikan kejutan kepada isterinya. Memberikannya kemungkinan kalau kisah cinta mereka patut untuk diketahui semua orang.

“Rahasia dong, Ma.”

“Jadi, Mama harus nunggu cerita yang Papa tulis itu diterbitin sama penerbit?”

Joni mengangguk cepat. “Doain Papa, ya, Ma.”

Menyelesaikan cerita yang berjumlah tiga puluh ribu kata dalam kurun waktu tidak sampai enam bulan adalah hal baru bagi Joni. Novel pertamanya yang berjudul ‘Senja’, memakan waktu empat tahun. Itu pun terselesaikan karena Joni tidak ingin bekerja kantoran yang ia lakukan sekarang ini. Mimpinya adalah lulus kuliah, terus hidup dengan menjadi penulis yang meluluhkan hati para pembaca.

“Mama selalu mendoakan yang terbaik, terutama untuk keluarga kita.”
***

Pagi-pagi benar, Joni sudah duduk di meja kerjanya. Hal yang biasanya malas ia lakukan. Tapi untuk kali ini, ia rela melakukannya. Bukan tanpa alasan, Joni sudah membawa serta flashdisk yang berisi draft novelnya dan tak lupa membawa kertas satu rim yang ia beli semalam.

Ia akan mencetak draftnya itu menggunakan mesin printer milik kantor. Memiliki printer bagi seorang karyawan yang upahnya hanya selisih sedikit dari UMR bukan sesuatu yang mudah. Terlebih bagi mereka yang sudah berkeluarga. Printer bukanlah kebutuhan primer. Baginya, kebutuhan primer saat ini adalah apa pun yang diperlukan untuk kebahagiaan Arsa.

“Tumben datang pagi,” sapa Pak Asep yang sudah rapi mengenakan kemeja biru muda.

“Mau numpang print naskah, Pak.”

“Naskah apa, Jon?” Pak Asep penasaran. Lalu dilihatnya beberapa lembar tulisan yang mulai keluar dari mesin print. “Kamu bisa nulis juga?”

“Iya, Pak.”

“Wah, hebat.”

“Ini mimpi saya dari dulu, Pak. Sejak zaman masih kuliah.”

Pak Asep mengangguk mafhum. Di benaknya, anak muda zaman sekarang lebih mudah mencari dan mendapatkan kesempatan. Zaman sudah berubah. Segalanya menjadi dan semakin cepat. Informasi yang diperlukan pun mudah didapat. Hal itu berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan pada masa mudanya: manut pada orang tua atau hengkang dari rumah. Tidak ada pilihan seperti peribahasa sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

“Mumpung masih muda, jalani yang bisa dijalani ya, Jon. Masa sekarang jauh lebih mudah ketimbang masa saya dulu. Meski kita hanya terpaut usia belasan tahun. Tapi teknologi yang ada sekarang ini enggak bisa bohong. Anakmu juga masih kecil. Kebutuhan belum begitu banyak. Kalau nanti sudah sekolah, sebisa mungkin harus bertahan dengan pekerjaan yang ada. Atau kalau orang tua kamu punya usaha, lebih baik melanjutkannya. Hidup kayak saya gini ibarat hidup segan mati tak mau. Hari-hari berlalu karena memang harus dilalui, bukan karena keinginan saya.”

Di usia bapak, saya pasti sudah jadi orang sukses. Saya yakin itu, Joni membatin.

“Hidup ini mudah hanya untuk mereka yang beruntung. Selebihnya, hidup adalah pertarungan setiap hari dan akan berakhir saat kita mati.”

Joni tak mengambil pusing soal ucapan Pak Asep. Dia tahu dirinya sendiri. Dirinya adalah manusia tahan banting dan akan menaklukan dunia kelak dengan tulisan-tulisannya. Makin lama, ke sini-sini, Pak Asep terkesan mengguruinya untuk lebih baik. Yang tahu hidupnya adalah dirinya sendiri. Tulisannya akan memengaruhi banyak orang. Ia yakin akan itu.

Untuk mengakhiri percakapan pagi yang tak mengenakkan hati, Joni menyunggingkan senyum basa-basi untuk menanggapi ucapan Pak Asep. Semakin diam, percakapan yang menjengkelkan ini pasti akan segera berakhir.

Lima menit sebelum jam kerja dimulai, akhirnya novel Joni tersalin pada seratus dua puluh lembar kertas berukuran A4. Cepat-cepat ia menyusun naskahnya itu. Pulang kerja nanti, ia akan memperbanyaknya di kios fotokopi lalu mengirimkannya ke penerbit yang sudah diincar.
***

“Kok bisa selisih sampai banyak gini?!” Suara Pak Alex meninggi.

Selepas makan siang, Joni dipanggil oleh Pak Alex, kepala bagian keuangan. Laporan yang dikerjakannya tadi pagi terdapat beberapa kesalahan. Bahkan bisa merugikan perusahaan puluhan juta jika tidak diperiksa ulang.

“Maaf, Pak. Nanti saya kerjakan lagi,” kata Joni sedikit melesukan suaranya.

“Enggak gini caranya kamu kerja. Harusnya kamu periksa lagi sebelum laporannya dikirim ke pusat. Untung saya inisiatif untuk periksa dulu. Kalau enggak, kamu besok sudah jadi pengangguran!”

Ucapan terakhir Pak Alex membuat Joni begitu sakit hati. Apalagi suara makian Pak Alex terdengar sampai keluar ruangannya. Beberapa telinga rekannya tidak tuli. Sama sekali tidak tuli. Bagi orang dewasa, dimaki-maki di tempat umum adalah sebuah penghancuran harga diri.

Ia mengepal tangan kanannya kuat-kuat. Makin ditekan, tangan kanan itu seakan-akan ingin bergerak sendiri dan melayangkan pukulan tepat di mulut Pak Alex. Perasaan siapa yang tahan mendapat makian seperti itu? Ia merasa tidak layak. Bahkan kedua orang tuanya yang merawatnya sejak kecil pun tidak pernah melayangkan kata-kata kasar seperti itu.

“Kamu pikir mengganti uang puluhan juta itu seperti membalikkan telapak tangan? Gaji kamu setahun penuh pun enggak cukup!”

Joni mengatur napasnya yang makin berat. Dadanya berkecamuk hebat. Ia sudah berjanji, jika sekali lagi ucapan kasar dilayangkan kepadanya, maka jangan salahkan pukulan paling kuat mendarat di wajah Pak Alex.

Pikiran-pikiran terjahat mulai bermunculan di kepalanya seperti membunuh Pak Alex dengan satu pukulan telak di tenggorokan. Atau, menabrakan kepala Pak Alex ke dinding dengan dorongan terkuat. Baginya, lebih baik dipukul berkali-kali daripada hatinya ditikam-tikam dengan perkataan tajam.

“Pokoknya, saya enggak mau tahu––kamu harus selesaikan sebelum jam tiga!” Pak Alex melemparkan berkas tepat ke arah perut Joni.

Untuk beberapa saat, suasana di ruangan seolah berupaya mencekik leher Joni. Untuk mengakhirinya, ia bergegas keluar tanpa persetujuan Pak Alex.

Di muka pintu, beberapa rekan kerja melihat ke arahnya. Wajah Joni berpendar marah. Sorot matanya berubah tajam. Tidak ada yang berani bertanya. Bahkan Pak Asep sekalipun. Semua fokus pada pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan rapat di benak mereka. Sebab, selama bertahun-tahun Joni bekerja. Baru kali ini mereka lihat wajahnya begitu marah dan muntab.

Ia kembali duduk di kursinya. Matanya menatap layar komputer. Kosong. Kepalanya sedang tidak memikirkan apa-apa. Kalau bukan karena Arsa, bisa dipastikan hidung Pak Alex akan patah. Masalahnya, ia sudah memiliki anak. Kalau dipecat atau dimasukkan ke dalam penjara karena kasus penganiayaan, siapa yang akan memberi nafkah?

Perasaannya makin muntab. Buru-buru ia menuju ke kamar mandi dengan setengah berlari. Air keran menyala, mengocor deras. Joni terisak dan menangis dalam dada yang bertambah sesak.

Comentário do Livro (435)

  • avatar
    KhoirilOing

    saya suka dengan novelah ini sangat bagus dan menarik

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Dyan Adriansyah

    sangangat menarik, dan tutur bahawsa nya juga sangat efektif. saya sanganat terhibur sekali dengan novel ini, daripada saya belo buku yg akhirnya menjadi barang bekas lebih baik saya membaca di sini. sangat menghibur sekali pokonya

    23/01/2022

      2
  • avatar
    FaridaqilMuhd

    good the best

    4d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes