logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Dua Orang Kakak Senior

Kamar Mayat
Part 3
***
"Hay! Ahmad! Kamu kok malah bengong gitu? Kamu takut ya dines di sini?" tanya Kak Hardiman sambil menepuk pundakku, membuatku sangat terkejut. Dia terkekeh dengan nada mengejek.
"Masa cowok penakut gitu sih. Gimana nanti kalau kamu dinas malam sendirian di kamar mayat ini, bisa-bisa kamu malah kabur," kata Kak Yono menimpali, juga sembari terkekeh.
Aku hanya tersenyum masam mendengar ejekan kedua kakak senior itu.
[Apa Kak Hardiman sama Kak Yono memang sama sekali nggak punya rasa takut seperti aku ya? Apa karena mereka sudah lama dinas di kamar mayat ini, jadi sudah nggak takut lagi?]
"Udah akh … kasihan Ahmad kalau kita ledek terus. Nanti bisa-bisa dia beneran ngompol di celana," kata Kak Yono. Dia kemudian menuju ke meja yang ada di sudut ruangan, disusul oleh Kak Hardiman. Aku mengikuti mereka dari belakang.
"Jadi sekarang apa yang harus saya kerjakan, Kak?" tanyaku, setelah Kak Hardiman dan Kak Yono duduk.
"Sekarang sih belum ada. Nanti kalau ada jenazah baru yang datang, dan perlu otopsi, baru kita bantu dokter Agung melakukan otopsi," jawab Kak Yono.
"Kamu lihat-lihat aja dulu semua yang ada di ruangan ini, biar paham ada apa saja di dalam kamar mayat ini," titah Kak Hardiman.
"Baik, Kak," kataku.
Aku kemudian mulai melihat sekeliling ruangan kamar mayat tersebut. Di dekat meja dua orang kakak seniorku itu, ada sebuah cermin yang menempel di dinding. Ukurannya lumayan besar. Cermin itu retak di bagian bawahnya. Beberapa saat aku memperhatikan cermin tersebut dan merasa seperti ada hal yang aneh.
"Kak, ini cermin kok ditaruh di sini ya. Memangnya untuk apa?" tanyaku.
Kak Hardiman berhenti menulis, dia lalu menatapku.
"Dari sejak aku sama Yono dinas di kamar mayat ini, cermin itu sudah ada di situ. Dan kami nggak pernah tahu, cermin itu gunanya untuk apa, selain untuk kami ngaca. Kami juga nggak tahu siapa yang menempelkan cermin itu di dinding," jawab Kak Hardiman.
"Udah retak begini, Kak? Kenapa nggak diganti dengan yang lebih bagus saja ya?" tanyaku lagi.
"Kami nggak tahu juga kalau soal itu. Ya kan, Yon," kata Kak Hardiman sembari menoleh ke arah Kak Yono.
"Kalau mau lihat cermin yang bagus, kamu datang aja ke salon. Semua cermin yang ada di sana pasti bagus-bagus. Ada-ada aja kamu, Ahmad," kata Kak Yono sambil geleng-geleng kepala. Mereka kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku diam saja, tak menanggapi ucapan Kak Yono, walaupun dalam hati aku membenarkannya.
[Iya juga sih, apa gunanya menaruh sebuah cermin yang bagus di kamar mayat. Toh tak ada yang mayat yang mau bercermin] Aku tersenyum sendiri membayangkan ada mayat yang sedang bercermin.
Aku kembali memperhatikan cermin tersebut. Tiba-tiba dari dalam cermin itu, aku melihat tiga sosok mayat yang ada di atas brankar bangun dan duduk. Spontan aku menjerit dengan keras saking merasa kaget. Lalu menoleh ke arah mayat itu. Tapi ternyata posisi mereka masih tidur.
"Ssttt … Ahmad! Jangan berisik! Kamu kenapa sih, lihat cermin aja takut!" hardik Kak Hardiman, sambil menaruh jari telunjuknya di bibir.
Sedangkan Kak Yono hanya memandangku dengan heran.
Aku menelan ludah. "Iya, Kak. Saya minta maaf," kataku.
Kenapa tadi di cermin semua mayat ini kelihatan duduk ya, aku membatin seraya menggaruk kepala yang tak gatal.
Hingga menjelang waktu zuhur, tak ada yang aku kerjakan selain melihat-lihat isi ruangan kamar mayat. Pihak keluarga dari ketiga jenazah yang ada di kamar tersebut belum juga ada yang datang untuk mengambilnya.
Aku mulai merasa khawatir dan was-was. Karena kata Kak Hardiman, kalau sampai besok belum juga ada pihak keluarga dari ketiga mayat tersebut yang datang untuk mengambil, maka kami sebagai petugas kamar mayat yang akan menguburkan jenazah tersebut. Diam-diam dalam hati aku berdoa, semoga saja besok pihak keluarga dari ketiga jenazah yang ada di dalam kamar mayat ini segera datang untuk mengambilnya.
"Ahmad, kami mau ke musala dulu ya. Udah masuk waktu zuhur. Kami sekalian mau beli makan siang. Kamu jaga di sini. Nanti gantian," kata Kak Yono. Dia dan Kak Hardiman lalu beranjak dari duduk.
"Tapi, Kak," kataku.
"Tapi kenapa, Ahmad? Apa kamu takut?" tanya Kak Hardiman.
Aku menggeleng ragu. "Nggak kok, Kak. Saya nggak takut."
"Ya sudah kalau gitu kami pergi dulu. Nggak lama kok," kata Kak Hardiman.
Mereka berdua kemudian berlalu dari hadapanku.
[Duh … serem amat ya berada di kamar mayat ini sendirian]
Aku lantas pergi menuju pintu, bermaksud akan menunggu Kak Hardiman dan Kak Yono di luar kamar mayat saja. Sepertinya jantungku tak akan sanggup jika harus berlama-lama di dalam sendirian.
Saat akan membuka pintu, tiba-tiba ada yang membukanya terlebih dulu. Tak lama berselang, dokter Hani masuk.
"Kamu mau ke mana, Ahmad?" tanya dokter Hani, ketika dilihatnya aku sedang berada di depan pintu.
"Eng … saya mau keluar sebentar, Dok," jawabku sambil berusaha tersenyum. Sebab tiba-tiba aku merinding. Entah kenapa.
[Kenapa setiap kali aku bertemu dengan dokter Hani kok merinding ya]
"Ohh … kamu kenapa, Ahmad? Mukanya kok pucet gitu? Kamu takut ya sama saya?" tanya dokter Hani sembari tersenyum.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi. Aku makin merasa merinding melihat senyum dokter Hani. Bulu kuduk di leher dan kedua tangan spontan berdiri, dan degupan jantungku makin berdetak tak karuan.
"Sudah, temani saya dulu di sini. Nanti kalau teman kamu yang lain sudah datang, baru kamu pergi," kata dokter Hani. Dia lalu menuju ke meja-nya. Dan entah kenapa, aku tak bisa menolak permintaan dokter Hani. Aku lalu mengikutinya.
"Dinas di kamar mayat itu nggak boleh takut, Ahmad. Toh yang kita lihat cuma orang yang sudah mati, yang nggak bisa berbuat apa-apa," kata dokter Hani, setelah dia duduk. Apa yang dia ucapkan sama persis seperti yang dikatakan oleh Pak Nengah kemarin.
Aku mengangguk. "I … iya, Dok," kataku gugup, tanpa berani menatap wajahnya. Aku sibuk menenangkan degupan jantung yang seakan baru berlari kencang, berdetak tak karuan.
"Kamu kenapa nunduk gitu, Ahmad? Apa memang benar, kamu takut sama saya?" tanya dokter Hani sembari terkekeh. Membuat aku makin merasa ketakutan. Jantungku seperti mau copot.
"Ahmad … Ahmad … kamu itu lucu sekali. Dinas di kamar mayat, tapi penakutnya bukan main. Ya sudah, kalau gitu saya keluar lagi saja. Biar kamu bisa jadi lebih pemberani, berada di dalam ruangan ini sendirian," kata dokter Hani. Dia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju pintu, masih dengan terkekeh.
Aku hanya diam terpaku, melihat kepergian dokter Hani.
***
Bersambung

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    UtamiSella

    ceritanya bikin merinding 😟😟😟

    19/07/2022

      0
  • avatar
    NAN91CHANEL

    segala Bentuk Kejahatan Akan terungkap Jadi Tuk Saling mengingat Perbuatan Kejahatan Itu akan terpecahakan masalahnya

    03/02/2022

      1
  • avatar
    Ilomfi

    cerita nya bagus dalam hal membongkar suatu misteri dan aku suka karena ada juga pesan moral nya. terimakasih author telah membuat cerita ini.

    30/01/2022

      1
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes