logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Putus

Arana menghela napasnya, tersenyum getir. “Bentar, kuambil dulu.”
Galih memberi ruang agar Arana berlalu. Sambil menunggu Arana kembali, Galih memilih duduk. Ada prasangka semrawutan di kepalanya, membuatnya memijit pelan kedua pelipis.
“Ini.” Suara Arana terdengar bersamaan dengan tergeletaknya selembar foto di meja. Galih bergeming, mengambil foto itu dan menatapnya lekat. Seketika hatinya mencelus, serasa ada batu yang mengimpit. Dia alihkan pandangan ke wajah istrinya. Dan saat yang sama, baru dia paham soal sebab kenapa Arana menangis.
“Aku nggak cemburu, ya,” kilah Arana melirik foto itu. Foto dua lawan jenis tengah bertaut bibir yang divisualisasikan oleh Galih dan Gina. “Jangan ge-er.”
“Dapat dari mana?” Galih menatap tajam iris Arana. “Jangan bilang dari Gina.”
Arana tersenyum tipis. “Cari tau sendiri. Yang penting aku bukannya cemburu, sakit hati atau apalah. Aku cuma pengen kamu hargai aku dikit, itu aja. Aku nungguin kamu di rumah, sementara kamu kayak gini. Aku nggak peduli dia siapa dan aku siapa, yang penting aku ini istri sah kamu. Aku lebih berhak. Kalo kamu nggak suka, silakan talak aku.”
Arana berjalan menuju potongan bayam yang sempat dia buat menganggur, kemudian menoleh. “Tenang aja. Aku nggak bakal ngadu.”
Sejak percakapan itu, nggak ada yang bicara hingga mereka kembali ke kamar masing-masing seusai makan.
**
“Galih?”
Gina menatap dua cewek di kiri dan kanannya, mengisyaratkan mereka untuk pergi. Kemudian di wilayah parkir gedung kost itu hanya ada mereka; Galih dan Gina.
Kening Gina berkerut, mendongak memandang wajah datar Galih yang diterpa seluet cahaya mentari pagi.
“Ngapain pagi-pagi ke sini? Tumben.”
“Gue perlu ngomong.”
Mata Gina melebar, melongo tak percaya. Sejak PDKT hingga pacaran Galih tak pernah menyebut dirinya ‘gue’. Tapi sekarang?
Itu kode bahwa ada yang nggak beres.
Sementara itu, Gina berusaha tersenyum menutupi kecemasannya.
“Ngomong apa, hem? Mau main ntar malam? Chat aja kan bisa, nggak harus capek-capek mampir. Kamu kan kuliah, aku juga.”
“Gue sayang sama lo. Gue nggak bisa kita putus. Lo pasti tau ini, ‘kan?”
Walau Gina kaget mendengar itu tiba-tiba, dia hanya bisa mengangguk.
“Tapi anehnya, gue benci kalau lo ikut campur masalah gue.”
“Maksud kamu?”
Galih merogoh saku hoodie hitamnya, menyuguhkan selembar foto yang jadi penyebab kenapa Galih tiba-tiba datang ke sana.
“Maksud lo yang apa.”
Gina mendesah sinis, menggeleng, makin nggak ngerti.
“Emang apa yang salah sama itu foto? Kan kamu yang nyuruh bartender buat fotoin.”
“Ck,” decak Galih menyasak rambutnya, menghela napas lalu mencengkeram bahu Gina, menatap cewek itu lekat. Sebelumnya dia masukkan foto itu ke saku terlebih dahulu. “Lo kasih ini ke Arana. Itu masalahnya!”
“Emangnya kenapa? Itu kan trik supaya Arana minta cerai. Kan kamu sendiri yang dari awal bilang kalo kamu nggak bakal cinta sama dia?”
Galih mengusap wajahnya kasar. “Tapi gue nggak pernah bilang gue bakal cerein dia. Nggak pernah, Gina.”
Gina mengernyit. “Jadi, kamu bakal hidup selamanya bareng dia? Walau nggak cinta?”
Galih tak menjawab.
“Maksud kamu apa Galih!? Terus posisi aku tuh sekarang apa? Kamu sendiri kan yang bilang, kalo perusahaan papa kamu udah di tangan kamu, kamu bakal nikahin aku? Jangan bilang kamu lupa. Nggak lucu, Galih!”
Galih mulai kewalahan menangani Gina yang mulai menangis, mulai berusaha untuk segera pergi. Tapi Galih tak semenyerah itu membiarkan Gina berlalu. Dia punya seribu cara untuk membuat Gina mau mendengarkan penjelasannya.
“Denger dulu.” Galih menggenggam kedua tangan Gina. “Gue inget, nggak bakalan lupa. Tapi coba lo tanya diri lo sendiri. Dari awal gue ngajak lo nikah lo slalu nolak, ‘kan? Pas giliran gue nikahin orang lain lo malah nuntut dinikahin!”
“Kamu kan tau alasannya. Aku nggak bisa nikah muda. Masih kuliah. Kamu juga pernah bilang gitu, ‘kan?”
“Bohong.” Galih tersenyum tipis. “Lo nggak mau gue nikahin alasannya cuma satu; lo nggak mau ninggalin dunia malam lo. Secara kan gue juga tau, cara lo bisa hidupin diri lo sendiri cuma dengan tidur sama hidung belang tiap malam.”
Gina bungkam, menggigit bibir bawah agar air matanya tak turun lebih banyak lagi. Bukan dia banget yang gampang nangis di depan orang, apalagi di depan Galih. Hatinya emang udah bolong dan banyak ditambal. Dan dia paham kalo menyangkut soal pekerjaannya, tambalan di hati itu bakal terkupas dengan sendirinya.
Itu sakit.
“Gue ngajak lo nikah supaya lo bisa ninggalin dunia lo, Gin. Gue bakal ngidupin elo, ngejaga elo. Gue nggak bakal kayak brengsek-brengsek di sana yang cuma manfaatin tubuh lo, trus nyiksa elo sesukanya. Kalo gue sayang, gue bakal tunjukin arti sayang tuh ke elo. Tapi lo sendiri yang nolak kan, Gin?”
Gina mengalihkan pandangan, serempak dengan air yang jatuh dari pelupuk mata.
“Lo sendiri yang milih brengsek-brengsek itu ketimbang gue. Dan sekarang, lo malah nagih janji buat dinikahin. Kalo gue cere sama Arana sekarang, emangnya lo langsung berhenti? Nggak, ‘kan? Karna prioritas lo tuh job lo, Gina. Bukan gue.”
Galih menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu kembali menyasak rambutnya. Dia tatap lekat cewek proporsional yang sedang menangis di depannya. Mendesah kemudian tersenyum.
“Gue akui gue emang bukan cowok baik-baik. Tapi nyakitin cewek itu gue paling pantang. Sejak awal gue berusaha kasar ke Arana, supaya gue nggak khianatin elo terlalu jauh. Tapi lama-lama gue sadar, yang khianat itu nyatanya elo, bukan gue. Dan belakangan ini gue juga ngerasa, Arana bukan orang yang pantas gue sakitin. Kalo kita gini terus, yang ada kita sama-sama nyakitin dan disakitin. Lo paham kan maksud gue?”
Gina menggeleng, melepas genggaman dan meraih lengan Galih seolah memohon. “Plis jangan bilang itu, Galih!”
“Harus, Gin. Nggak adil kalo gue bebasin elo milih, sementara lo tahan gue buat tetep setia. Udah cukup, Gin. Ada baiknya kita putus. Gue urus hidup gue, dan lo urus sendiri job lo.”
“Galih!”
“Tapi kalo mau minta tolong silakan. Gue tetep Galih yang dulu.”
Galih senyum, melepas pelan tangan Gina. Dia masukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie kemudian berlalu menghampiri mobilnya yang terparkir. Sementara yang ditinggalkan tak bisa berkutik, seolah-olah kakinya ditahan oleh akar yang menjerat. Dia menangis, meluapkan gejolak emosi yang tak dia mengerti.
Dia cinta Galih, emang. Tapi, ada seseorang yang lebih dia cintai. Bukan tentang harta. Tapi nyawa. Dan ini dilema.
Ada orang yang harus Gina pertahankan kedudukannya di dunia. Dan Galih tak pernah tahu siapa yang Gina pertahankan hingga harus mengabaikan tawaran spesial dari Galih; tawaran yang mengajaknya untuk menikah.

Comentário do Livro (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    14d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes