logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 13 Intrik Dalam Tim Kerja

Malam itu Jingga tak dapat tidur dengan nyenyak. Beberapa kali ia bermimpi buruk dan menangis tersedu-sedu entah untuk alasan apa. Bayangan tentang mimpinya serasa kabur dan tak dapat ia ingat dengan jelas.
Keesokan paginya ia bangun dengan kepala terasa berat. Kalau bukan karena ada tanggung jawab besar menanti di tempat kerjanya, ia sebenarnya ingin izin sakit saja. Sayangnya, job yang dipercayakan padanya sedang dikejar deadline.
Saat sarapan di ruang makan, Jingga hanya meminum susu coklatnya bersama sepotong roti selai. Ibunya yang paling tidak suka ada anggota keluarga yang tidak sarapan, segera menegurnya,
"Ayo, makan nasinya dulu, Ngga! Nggak boleh berangkat kalau nggak sarapan!"
"Duh, maaf, Bu. Sekali ini aja Jingga sarapan roti dan susu, ya. Harus sampai pagi-pagi, nih. Ada yang musti cepet-cepet diselesaikan," jawab Jingga sambil memasukkan kotak bekal makan siangnya yang memang selalu dipersiapkan oleh ibunya di meja makan saat sarapan.
Bukan karena Jingga malas menyiapkannya sendiri. Memang Bu Setyowati yang ingin melakukannya agar dia bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa anak sulungnya itu tidak kekurangan asupan gizi. Beliau pernah mendapati Jingga membawa bekal yang ternyata hanya berupa beberapa potong buah dan dua buah telur rebus. Diet, kata Jingga waktu itu.
"Diet apa? Badan sudah kurus begitu kok mau diet lagi. Nggak ada!" Beliau langsung mengambil bekalnya dan mengganti isinya dengan seporsi nasi, sayur, lengkap dengan lauknya yang ia pisah-pisahkan dalam plastik sebelum dimasukkan ke wadah. Sejak saat itulah Bu Setyowati mengambil alih tugas menyiapkan bekal Jingga.
"Kalau gitu sini, bekal kamu tadi biar ibu tambahin lagi isinya jadi dua porsi."
Jingga membelalak ngeri, "Ish, nggak mau, Bu. Ini aja udah maksa-maksain buat ngabisinnya."
"Wkwkwk, makanya Mbak Jingga tuh jangan kurus-kurus. Gemukin dikit bagus, Mbak. Biar bajunya juga muat buat aku pinjem, hihihi."
"Kurus atau gemuknya bukan masalah, yang penting itu sehat." Pak Suhariadi ikut menyahut setelah menghabiskan isi piringnya.
Sebelum obrolan semakin melebar kemana-mana, Jingga segera berpamitan berangkat kerja.
"Assalamualaikum, Pak, Bu, Ndut." serunya setelah selesai mencium tangan ayah dan ibunya.
"Enak aja Ndut!" protes Nila memelototi kakaknya. Yang dipelototi tak menggubris dan meneruskan langkah keluar, menaiki motor matic biru putih kesayangannya.
* * *
Nindy menyambut kedatangan Jingga dengan sebuah bungkusan plastik hitam besar yang ternyata bunga mawar jingga di rumahnya kemarin.
"Wah, buat aku, nih?" Jingga berseru girang. Matanya yang sedikit tampak sayu karena kurang tidur semalam seketika berbinar senang.
Nindy mengangguk sembari tertawa melihat tingkah Jingga yang kegirangan.
"Aku cerita ke Mbak Ratih kalo kamu suka mawar jingga dan kebetulan namanya juga Jingga. Eh, katanya kasih aja ke kamu,stoknya mau datang lagi, kok, gitu ... Rezeki kamu, deh."
"Waahh, makasih banyak, Mbak Ratih cantiiiik, sampein ya, Ndy."ujar Jingga masih kegirangan, tak menyangka akan diberi bunga yang ia kagumi kemarin.
"Eh, mata kamu kok kayak item gitu?" Nindy memperhatikan Jingga lebih seksama. Ia menyadari wajah Jingga sedikit juga sedikit pucat,
"Pasti semalam kurang tidur, ya?" tebaknya jitu.
Jingga hanya meringis dan mengangguk. Sejujurnya dia agak malu pada Nindy setelah sesi curhat tanpa rahasia semalam. Entah kenapa ia semalam bisa begitu terbuka bercerita hal pribadinya kepada Nindy.
"Duh, jangan capek-capek kalo gitu kamu hari ini, Ngga. Ntar sakit kalo dipaksain," ujar Nindy lagi.
"Kan, beneran deh ini anak lama-lama jadi mirip ibuku,"
"Eeeh, dikuatirin malah ngeledek, sih!"
"Tenang pemirsa, Jingga itu kuat, dia sehat daj gak pernah sakit. Strong woman, gaess," Jingga bergaya seakan memamerkan otot lengannya bercanda.
Mereka tergelak bersama dan mulai bersiap mengerjakan pekerjaan masing-masing setelah Jingga menyimpan bunganya di pojokan bawah meja dengan sangat hati-hati.
"Eh, Ngga. Ditunggu Mbak Intan di Line. Disuruh bawa buku laporanmu juga, ya." Seorang teman dari Line yang Jingga lupa-lupa ingat namanya, entah Eni atau Heni begitu. Ya, Jingga memang secuek itu. Ia jarang ingat nama orang yang tidak begitu sering berinteraksi dengannya.
"Oh, oke. Makasih, ya!" Untuk amannya, Jingga tak menyebutkan namanya.
Ia mencolek Nindy, berpamitan memenuhi panggilan barusan.
Yang dicolek hanya mengangguk, tetap fokus dengan pekerjaannya menyusun bahan per seri. Jingga pun berjalan cepat menuju ke Line.
"Kurang berapa, sih, Ngga?" Belum sampai di depannya, Jingga sudah diteriaki dari kejauhan. Astaga! Masih mode buas rupanya, batin Jingga berdecih kesal.
Raut wajah Mbak Intan tampak merah padam menahan amarah. Jingga belum tahu apa salahnya. Tepat saat mereka berdiri saling berhadapan, barulah ia berkata dengan nada dibuat sesantai mungkin. Ia tak boleh terprovokasi.
"Kekurangan untuk size berapa yang Mbak Intan tanyain?"
"Semuanya, dong. Aku nungguin kamu selesai baru bisa genjot setoranku sendiri, nih." Tetap dengan nada tinggi jawaban yang diterima Jingga.
"Di mejaku tinggal size 36 saja, Mbak, terkecil juga jumlahnya. Tapi ya itu, kekurangan per size yang rusak dan retur ke cutting kan juga banyak, jadi kami masih ngejar itu biar selesai salah satu," jelasnya mencoba tetap tabah.
"Cepetan! Aku mau hari ini beres semua job kamu masuk di Line."
"Aku oke aja, Mbak. Tapi coba Mbak Intan lihat ke cutting ada kesulitan apa. Kenapa retur rusak bahanku belum dibuatkan juga?" Jingga mulai tersulut emosi. Ia tak suka disalahkan untuk apa yang di luar kuasanya.
"Kok aku? Ya kamu, dong."
"Aku udah, Mbak. Dan memang bahannya susah di eksekusi. Banyak yang lembarannya ada cacat, makanya harus cutting bijian. Nggak bisa disuruh cepet-cepet deh jadinya."
"Maksudku, Mbak Intan tuh harusnya cari tahu dulu masalahnya di mana, ikut nyari solusinya kalau bisa. Bukannya cuma marah-marah dan minta selesai segera gitu aja."
"Akun sendiri juga mau cepet-cepet selesai lah, Mbak. Tapi kalau masalahnya di cutting aku bisa apa, coba." Akhirnya Jingga tak tahan untuk tidak mengomeli balik Mbak Intan yang kali ini dirasanya sudah keterlaluan. Sekali-sekali yang tertindas harus melawan asalkan benar.
"Ya udah kamu di sini sebentar. Bantu jalannya setoranku. Aku mau ke cutting dulu," ujar Mb Intan sedikit berubah kalem.
"Nah, gitu, dong. Ngomong biasa nggak pake otot, kan cantik." gurau Jingga mencoba menetralisir suasana.
Mbak Intan mencubit lengan Jingga gemas, "Kamu tuh emang selalu bikin aku darah tinggi,"
"Aww, apaan? Mbak Intan mah emang dari bawaan orok udah hipertensi." Jingga mencibir Mbak Intan yang mulai bisa menarik bibirnya membentuk senyuman dan bukannya cemberut dengan kening ditekuk.
Mbak Intan pun pergi ke arah departemen cutting. Jingga tetap di Line menggantikannya mengawasi jalannya setoran per jam. Beberapa pasang mata di sana tampak tengah saling mencibir ke arah Jingga. Salah satunya Ulfa. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Jingga hanya merasa kalau mereka seakan tidak menyukai dirinya. Padahal rasanya, ia bahkan belum pernah saling bicara dengan mereka. Aneh.
* * *

Comentário do Livro (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    23d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes